Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
“Tsarid” (الثريد) adalah makanan yang terbuat dari roti yang diremukkan kemudian dibasahi/dicampur dengan kuah daging. Lafaz “tsarid” berasal dari kata “tsaroda” yang bermakna “meremukkan”. Jadi makna bahasa “tsarid” adalah “sesuatu yang diremukkan” karena wazan “fa’iil” kadang-kadang memang bisa bermakna “isim maf’ul” seperti kata qotiil (القتيل). Al-Fayyumi berkata,
““tsarid” adalah bentuk “wazan fa’iil” yang bermakna “maf’uul” dan kadang diungkapkan dengan lafaz “matsruud”. Dalam ungkapan dikatakan, “Aku meremukkan roti dengan serius” yang wazannya sama dengan lafaz ‘qotala’. Makna meremukkan di sini adalah memecah-mecahnya kemudian membasahinya dengan kuah. Isimnya disebut “tsurdah” (Al-Mishbah Al-Munir, juz 1 hlm 81)
Kadang-kadang daging disertakan dalam penyajian “tsarid” ini. Bahkan, bisa dikatakan bahwa umumnya “tsarid” memang dihidangkan dengan disertai daging. Justru adanya daging ini yang malah membuat “tsarid” jadi istimewa, karena orang Arab dalam membuat makanan hampir tidak mungkin tidak melibatkan daging. Kadang “tsarid” juga dicampur sayur-sayuran, seperti yang diceritakan dalam hadis bahwa Rasulullah ﷺ menyantap “tsarid” yang dibubuhi “dubba’” (labu).
“Tsarid” adalah makanan yang paling istimewa bagi orang Arab karena komposisi utamanya terdiri dari roti dan daging. Kata Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah, roti adalah makanan pokok terbaik sementara daging adalah lauk terbaik. Jika dua jenis makanan ini bertemu, maka tidak ada makanan lain yang bisa menandinginya.
Hasyim, kakek buyut nabi Muhammad ﷺ adalah Arab Quraisy yang dikenal pertama kali membuat “tsarid” untuk orang-orang Mekah yang kelaparan di masa paceklik sebagaimana pernah saya singgung dalam catatan yang berjudul “I’tifad, Tradisi “Harakiri” Arab Jahiliyyah ”
Makanan yang berupa “tsarid” ini muncul dalam sejumlah riwayat hadis.
Di antaranya peristiwa di mana Rasulullah ﷺ dilayani budaknya dengan disajikan makanan berupa “tsarid” yang mengandung labu yang diletakkan di sebuah piring besar (qosh’ah).
Termasuk juga peristiwa Asiyah saat menjamu kerabatnya yang berta’ziyah. Di ceritakan dalam riwayat itu, Aisyah menjamu dengan membuatkan “tsarid” yang dituangi semacam kuah berwarna putih yang dibuat dari tepung yang kadang dicampuri susu dan madu. Kuah putih semacam ini dinamakan “talbinah” (التلبينة).
Ada juga riwayat saat Rasulullah ﷺ dihidangi “tsarid” yang mengandung daging lengan kaki kambing. Beliau mengambil lengan kambing itu, menyantapnya sambil mengajar, yakni menceritakan bagaimana kedudukan beliau pada hari kiamat yang akan menjadi pemuka seluruh umat manusia.
Ada juga riwayat kisih Abdullah bin Sirjis yang menceritakan pernah makan “tsarid” bersama-sama dengan Rasulullah ﷺ.
Ada juga kisah bagaimana Rasulullah ﷺ memerintahkan shahabat makan “tsarid” dari pinggirannya, jangan dari tengahnya karena berkah itu turun dari bagian atasnya.
Hanya saja, riwayat yang paling terkenal yang menyebut “tsarid” adalah hadis yang menyebut keutamaan Aisyah ketika diserupakan Rasulullah ﷺ dengan keutamaan “tsarid”. Al-Bukhari meriwayatkan,
“Dari Abu Musa radhiallahu anhu, beliau berkata, ‘Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Banyak di kalangan lelaki yang mencapai kesempurnaan (dalam kesalihan) tetapi tidak ada di kalangan wanita yang mencapai kesempurnaan (dalam kesalihan) kecuali Asiyah istri Firaun dan Maryam binti Imron. Sesungguhnya keutamaan Aisyah dibandingkan dengan wanita-wanita adalah seperti keutamaan “tsarid” dibandingkan dengan makanan-makanan yang lain” (H.R. Al-Bukhari)
Mengapa “tsarid” disebut Rasulullah ﷺ sebagai makanan yang paling utama di antara makanan-makanan yang lainnya?
Mengapa Aisyah diserupakan dengan “tsarid” dan disebut Nabi ﷺ lebih utama dibandingkan istri-istrinya yang lain atau lebih utama dibandingkan para wanita yang sezaman dengan beliau atau lebih utama dibandingkan para wanita muslimah sampai akhir zaman?
Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini adalah sebagai berikut.
Sesungguhnya “tsarid” itu lebih utama daripada makanan-makanan yang lainnya di Arab karena manfaatnya nyata, manfaatnya banyak, gampang disantap, mudah dicerna, cepat mengenyangkan, mencukupi kebutuhan lapar dengan cepat, cukup sebagai asupan energi, tidak merepotkan, murah bergizi, dan enak dimakan. Mayoritas makanan orang Arab di zaman nabi adalah “tsarid” ini. Bahkan kata At-Turibisyti, “tsarid” adalah makanan terbaik dan yang paling disukai orang Arab. Secara umum, semua makanan yang diolah dalam bentuk “tsarid” (yakni yang diremukkan kemudian dimakan bersama kuah) memang terbaik karena lebih mudah disantap dan dicerna. Misalnya seperti paha bebek. Antara yang digoreng biasa dengan yang digoreng dengan disertai peremukan akan lebih mudah disantap yang sudah diremukkan.
Aisyah diserupakan dengan “tsarid” karena beliau memiliki banyak keistimewaan jika dibandingkan dengan istri-istri Nabi ﷺ yang lain atau wanita muslimah pada umumnya seperti cantik, cerdas, satu-satunya istri yang perawan, akhlaknya yang mulia, bahasanya yang fasih, banyak manfaatnya untuk umat dan lain-lain.
Istri semacam ini jelas “sempurna”,
- Jika ia dibutuhkan aspek kewanitaannya untuk memenuhi hasrat suami, maka dia bisa hadir melayani
- Jika suami penat dan ingin refreshing dengan kecantikan istri, maka dia bisa mendapatkannya di rumah
- Jika dibutuhkan sebagai teman ngobrol, maka enak diajak ngobrol karena nyambung dengan kecerdasannya
- Jika dibutuhkan pertimbangan kebijaksanannya, maka dia bisa hadis dengan solusi-solusi cemerlang yang menenangkan pikiran suami
- Jika dibutuhkan untuk menyampaikan ilmu suami ke umat, maka dengan fasih dia bisa melakukannya dengan baik
Wajar, istri dengan kualifikasi seperti ini menjadi istri yang paling dicintai Rasulullah ﷺ dibandingkan dengan istri-istri yang lain, sebagaimana orang-orang Arab lebih memfavoritkan “tsarid” dibandingkan makanan-makanan yang lain.
Demikianlah “ngaji tsarid” dalam kesempatan hari ini, dan sebagai penutup, berikut ini kami cantumkan salah atau contoh gambar variasi “tsarid” yang menurut kami mewakili sebagian deskripsi ulama ketika mendefinisikan “tsarid”,