Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Dahulu kala, pernah hidup seorang lelaki yang banyak melakukan dosa. Demikian banyak dosa yang ia lakukan, sampai-sampai ia merasa bahwa siksaan yang akan ia dapatkan pada hari pembalasan adalah siksaan yang sangat mengerikan, yang tidak akan dialami makhluk Allah manapun selain dia.
Menjelang wafat, dia berpesan kepada anak-anaknya supaya jasadnya nanti dibakar, lalu digiling, kemudian ditaburkan bersama angin di tengah-tengah lautan. Dengan cara begini dia merasa aman, karena dia merasa bahwa ketika tubuhnya hancur lebur ke mana-mana, maka jasadnya tidak akan “ditemukan” lagi sehingga dia menganggap tidak bisa dihidupkan lagi oleh Allah.
Ketika dia mati, anak-anaknya menjalankan wasiat itu dengan baik.
Kemudian Allah menyatukan lagi bekas-bekas jasadnya, lalu dihidupkan kembali, lalu Allah bertanya kepadanya,
Artinya,
“Apa motivasimu melakukan itu?”
Apa jawaban lelaki itu?
Dia menjawab begini,
Artinya,
“Karena takut kepadamu wahai Tuhanku”
Akhirnya Allah mengampuninya!
Kisah di atas tercantum dalam hadis sahih yang diriwayatkan Muslim dan sejumlah ahli hadis yang lain. Rasulullah ﷺ menceritakannya kepada umatnya agar menjadi ibrah dan pelajaran penting dalam beragama.
Ada banyak pelajaran penting yang bisa ditarik dari hadis di atas. Hanya saja, ditinjau dari paradigma dan cara pandang terhadap metode memahami sifat-sifat Allah, minimal ada dua pelajaran yang bisa kita tarik.
PERTAMA: Kesalahan memahami sebagian sifat Allah karena kejahilan adalah kesalahan yang bisa diharapkan untuk dimaafkan.
Lelaki itu jelas jahil dengan sifat Allah yang qodir (Maha Kuasa) dan rohim (Maha Penyayang). Dia menyangka bahwa jika tubuhnya dikremasi dan dibakar habis, lalu ditumbuk halus, kemudian ditaburkan di atas lautan sehingga bercampur dengan angin dan air sampai tak terlacak lagi, maka Allah tidak akan kuasa mengumpulkan abu jasadnya untuk dihidupkan lagi. Dia juga jahil bahwa Allah Maha Penyayang dan Maha Pengampun. Karena dia merasa dosanya sedemikian banyak dan besar, maka saat bertemu dengan Allah dia menduga kuat nanti dia pasti akan disiksa dengan siksakan paling mengerikan dan tidak ada peluang sedikitpun untuk dimaafkan.
Orang yang jahil dengan sifat Allah (bukan mengingkarinya) maka tetap disebut mukmin dan tidak boleh dikafirkan. Ini adalah pendapat final Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. An-Nawawi berkata (mengutip pendapat sekelompok ulama),
Artinya,
“(Orang) tidak kafir karena jahil terhadap sifat Allah. Dia juga tidak keluar dari area iman karena sebab itu. Berbeda dengan orang yang mengingkari sifat Allah. Abu Al-Hasan Al-Asy’ari berpendapat baru seperti ini dan ini adalah pendapat final beliau” (Syarah An-Nawawi ‘Ala Muslim, juz 17 hlm 71)
Ibnu Taimiyyah juga menjelaskan senada. Beliau menegaskan bahwa jahil terhadap sebagian sifat Allah bukan perkara yang mengkafirkan. Ibnu Taimiyyah berkata,
Artinya,
“Makna maksimal yang terkandung dalam hadis ini adalah bahwasanya dia adalah seorang lelaki yang tidak mengetahui semua sifat Allah yang berhak dimilikiNya dan tidak mengetahui rincian sifat Allah bahwa Dia itu Maha Kuasa. Kebanyakan orang-orang beriman kadang-kadang tidak mengetahui yang seperti itu. Jadi itu tidak membuat dia menjadi kafir” (Majmu’ Al-Fatawa, juz 11 hlm 411)
KEDUA: Ilmu tentang Allah yang paling menyelamatkan adalah ilmu tentang mengesakan-Nya.
Lelaki di atas, meskipun jahil sebagian sifat Allah, tetapi dia sangat takut kepada Allah. Artinya, dia tahu hanya Allahlah satu-satunya ilahnya. Dia tahu hanya Allahlah satu-satunya Tuhan yang layak disembah. Dia tahu bahwa tidak ada yang layak ditakuti dan dicintai kecuali hanya kepada Allah. Dia tahu bahwa semestinya seorang hamba hidup semata-mata hanya untuk mengabdi kepada-Nya, berbuat hanya untuk-Nya, dan mengejar ridha-Nya. Dia sadar bahwa saat dirinya bermaksiat berkali-kali bahwa dirinya salah karena membuat Allah murka. Dia sadar bahwa selama hidup dia tidak berhasil menghindari maksiat. Tetapi dia tahu bahwa maksiat yang ia lakukan adalah karena kalah oleh hawa nafsu, bukan mengingkari Allah sebagai satu-satunya ilahnya yang wajib ia sembah. Oleh karena itu, dia takut sekali saat mati Allah nanti akan menyiksanya dengan siksaan yang dahsyat tak terperi, sehingga dia berfikir menyelamatkan diri dengan cara minta mayatnya supaya dikremasi.
Jadi, lelaki itu benar-benar memegang hakikat tauhid yang muncul dalam bentuk rasa takut yang dahsyat kepada Allah. Ternyata pengetahuan dan kesadaran seperti ini yang menyelamatkannya! Tauhid memang tidak main-main. Sebutir debupun dalam hati seorang hamba sudah cukup untuk menyelamatkannya di sisi Allah.