Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Umar pernah mengusulkan kepada Rasulullah untuk mendoakan umatnya supaya kaya. Namun usul itu ditolak.
Bagaimana bisa?
Berikut kisahnya.
Suatu saat Rasulullah ﷺ tidak berkenan dengan istri-istrinya karena melihat sesuatu dari mereka yang membuat beliau menjadi sedih. Akhirnya beliau memutuskan untuk men-ta’dib (mendidik) istrinya dengan tindakan. Beliau putuskan tidak tidur bersama mereka dalam waktu sebulan penuh. Rasulullah ﷺ memutuskan tidur sendirian di sebuah kamar yang kecil dan tidak ada seorangpun yang diizinkan membersamai beliau.
Umar bin Al-Khattab panik dengan keputusan Rasulullah ﷺ itu. Beliau menyangka Rasulullah ﷺ demikian marah kepada istri-istrinya sampai memutuskan menceraikan mereka semua. Lebih tidak enak lagi di perasaan Umar, salah satu istri Rasulullah ﷺ yakni Hafshah adalah putrinya. Beliau benar-benar sungkan jika putrinya menjadi penyebab Rasulullah ﷺ demikian bersedih sampai melakukan tindakan tersebut.
Akhirnya Umar memutuskan untuk menghadap Rasulullah ﷺ di kamar itu. Begitu Umar melihat kondisi Rasulullah ﷺ di kamar itu, trenyuhlah hati beliau. Dilihatnya bilur-bilur bekas tikar pada punggung Rasulullah ﷺ dan tidak ada barang mewah apapun dikamar itu. Yang ada hanyalah wadah yang terbuat dari kulit yang belum selesai disamak, segenggam gandum di pojok ruangan dan daun qarazh, padahal Rasulullah ﷺ adalah “raja” orang Arab.
Maka, tak tahan Umar dengan kondisi itu, sehingga beliau meneteskan air mata lalu mengusulkan,
“Wahai Rasulullah ﷺ, tidakkah baginda berkenan mendoakan umat Islam supaya dibuat kaya nan luas hartanya. Aku melihat Romawi dan Persia itu kaya, padahal mereka adalah kaum yang tidak menyembah Allah”
Mendengar usulan ini, Rasulullah ﷺ bangkit kemudian menegur Umar dengan lembut,
“Hai Umar, apakah kamu berada dalam keraguan?! Kenikmatan dunia yang mereka rasakan itu hanyalah kenikmatan yang disegerakan untuk mereka di dunia (di akhirat mereka tidak dapat apa-apa kecuali neraka).”
Terkejut Umar mendengar respons Rasulullah ﷺ. Segera saja beliau menyadari kesalahannya dan buru-buru beliau berkata,
“Wahai Rasulullah ﷺ, mintakan aku ampun kepada Allah (karena usulanku yang tak sepatutnya tadi)
Kisah ini di antaranya diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahihnya. Al-Bukhari meriwayatkan,
ثُمَّ رَفَعْتُ بَصَرِي فِي بَيْتِهِ، فَوَاللَّهِ مَا رَأَيْتُ فِيهِ شَيْئًا يَرُدُّ البَصَرَ غَيْرَ أَهَبَةٍ ثَلاَثَةٍ، فَقُلْتُ: ادْعُ اللَّهَ فَلْيُوَسِّعْ عَلَى أُمَّتِكَ، فَإِنَّ فَارِسَ وَالرُّومَ وُسِّعَ عَلَيْهِمْ، وَأُعْطُوا الدُّنْيَا وَهُمْ لاَ يَعْبُدُونَ اللَّهَ، وَكَانَ مُتَّكِئًا فَقَالَ: «أَوَفِي شَكٍّ أَنْتَ يَا ابْنَ الخَطَّابِ أُولَئِكَ قَوْمٌ عُجِّلَتْ لَهُمْ طَيِّبَاتُهُمْ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا»، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، اسْتَغْفِرْ لِي، (صحيح البخاري (3/ 134)
Artinya,
“…lalu aku mengangkat pandanganku ke kamar beliau. Demi Allah, aku tidak melihat apapun yang bisa dijangkau pandangan selain tiga wadah yang terbuat dari kulit yang belum tuntas disamak. Lalu aku katakan: “Mintalah kepada Allah agar melapangkan (dunia) buat ummat baginda karena bangsa Persia dan Ramawi saja dilapangkan (dunia) untuk mereka padahal mereka tidak menyembah Allah.” Saat itu Beliau sedang berbaring lalu (bangkit seraya) berkata: “Apakah kamu ragu wahai Ibnu Al Khaththab? Mereka itulah kaum yang telah disegerakan kenikmatan mereka dalam kehidupan dunia ini.” Aku katakan: “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampun buatku.” (H.R. Al-Bukhari)
Mari kita renungkan.
Barangkali di antara kita sempat merasakan seperti yang dirasakan oleh Umar. Kita sedih jika melihat umat Islam hartanya sempit nan kekurangan. Kita ingin umat Islam kaya sehingga mulia dan berwibawa. Kita seperti tidak rela melihat kaum yang menyembah Allah malah “terhina dengan kemiskinan sementara kaum yang tidak menyembah Allah malah ”dimuliakan” dengan kekayaan.
Menurut pertimbangan akal rasional yang dibuktikan dengan kenyataan hidup sehari-hari, kaya itu memang jelas lebih enak daripada miskin.
Orang kaya itu dihormati
Orang kaya itu dimuliakan
Orang kaya itu jika melamar diterima
Orang kaya itu jika bicara didengarkan
Orang kaya itu punya power
Orang kaya bisa melakukan banyak hal
Orang kaya itu itu punya “wibawa”
Orang kaya itu berpengaruh di masyarakat
Orang kaya itu semua tentang dia yang tidak pentingpun bisa menjadi dianggap penting
Dan seterusnya
Mungkin karena pertimbangan-pertimbangan seperti inilah akhirnya Umar mengambil kesempatan untuk mewujudkan harapan tersebut. Beliau tahu Rasulullah ﷺ adalah hamba Allah yang jika berdoa pasti akan dikabulkan oleh Allah karena demikian dekatnya kepada Allah. Umar tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.
Tapi respons dan jawaban Rasulullah ﷺ justru malah mengagetkan beliau.
Umar ditegur,
“Apakah engkau dalam keraguan wahai Umar?!”
Tahukah Anda keraguan apa yang dimaksud oleh Rasulullah ﷺ?
Sederhana saja.
Ragu bahwa kaya di akhirat itu lebih baik daripada kaya di dunia.
Ragu bahwa kenikmatan yang dirasakan orang-orang kafir itu adalah kenikmatan yang dipercepat di dunia sementara di akhirat mereka hanya dapat siksa saja.
Ragu bahwa Allah sudah membagi-bagi rezeki, sesuai dengan hikmah yang dikehendaki-Nya.
Ragu bahwa orang yang memilih hidup dengan kenikmatan sedikit di dunia itu sesungguhnya hakikatnya memperbesar bagian kenikmatannya di akhirat.
Ragu karena terlihat mengagungkan gemerlapnya dunia padahal itu bukan sifat seorang hamba beriman yang meniti jalan kenabian dan orang-orang salih.
Itulah data yang akan kita dapatkan jika mengkaji syarah para ulama yang menjelaskan hadis ini.
Jadi, berdasarkan riwayat ini, ada satu kesimpulan yang cukup menakutkan sebenarnya. Orang-orang yang ingin umat Islam kaya dan berwibawa agar “tidak kalah” dengan umat-umat di luar Islam itu sesungguhnya dikhawatirkan berada dalam keraguan akan janji Allah! Ragu akan janji Allah ini urusannya sudah terkait dengan iman dan pemahaman terhadap konsep-konsep dasar dalam Islam!
Wajar jika Umar tergopoh-gopoh karena takut dan segera saja meminta kepada Rasulullah ﷺ untuk memintakan ampun kepada Allah.
Umar minta istighfar karena apa?
Tentu saja takut murka Allah.
Takut murka Allah karena berani memberi usul seperti itu dihadapan Rasulullah ﷺ.
Takut usulannya terhadap Rasulullah ﷺ itu benar-benar cerminan kelemahan iman atau keraguan dalam iman.
Takut masuk dosa menggerutu terhadap takdir Allah.
Takut dosa tidak rida dengan pembagian Allah atau memiliki rida yang lemah dengan pembagian Allah.
Bagaimana?
Sekedar menggagas umat Islam SEBAIKNYA kaya saja sudah mendapat teguran seperti ini, lalu bagaimana dengan gagasan umat Islam HARUS kaya?
Apakah sudah tidak selayaknya mereka yang menyebarkan seruan “Muslim Harus Kaya” memiliki rasa takut seperti yang dirasakan Umar ini dan segera bertaubat meminta ampun kepada Allah?
CATATAN
Uraian dalam catatan ini sebenarnya masih “percikan” kecil dari tulisan lengkap tentang mendudukkan kaya dan miskin dalam ajaran Islam yang hendak saya publikasikan.
Ini belum kupasan tuntas. Tapi, paling tidak catatan ini saya harap bisa memberi gambaran kepada kita bahwa memandang soal harta, materi dan kekayaan itu tidak sesederhana logika dan rasionalitas akal kita. Harus hati-hati benar agar sikap kita terhadap dunia benar-benar seperti yang diajarkan Rasulullah ﷺ.
Jangan sampai karena salah memahami konsepsi soal kaya dan materi ini lalu kita menjadi santapan paham materialisme, kapitalisme dan malah memuja kekayaan.
Lebih buruk dari itu adalah jika sudah mulai tumbuh dalam hati sifat CINTA DUNIA, kemudian distempel dengan istilah-istilah islami supaya kelihatan syar’i! Itu jauh lebih berbahaya daripada orang kapitalis dan materialis asli.
Seruan “MUSLIM HARUS KAYA” sama berbahayanya dengan seruan “MUSLIM HARUS MISKIN”. Pemahaman terhadap konsepsi ini harus ditata betul agar proporsional dan tidak melampaui batas.