Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kelak, di hari ketika manusia dibangkitkan, mereka semua akan berdiri menunggu. Mereka semua telanjang bulat tanpa beralas kaki. Yang laki-laki dalam keadaan belum bersunat. Mereka berdiri berdempet-dempetan. Bersusun paku bagaikan anak panah yang dijejalkan rapat dalam tabungnya.
Lalu matahari didekatkan sampai mereka berkeringat. Di antara mereka ada yang keringatnya mencapai mata kaki. Ada yang mencapai lututnya. Ada yang mencapai pinggangnya. Bahkan ada yang mencapai mulutnya. Megap-megap dia karena keringat yang hendak menenggelamkannya.
Mata mereka semuanya menatap ke langit tanpa berkedip. Menunggu apa yang akan dilakukan Allah terhadap mereka. Allah tidak berkenan berbicara dengan mereka. Jadi merekapun menunggu terus. Menunggu dalam waktu yang lama. Bukan satu jam atau dua jam, tetapi 40 tahun!
Padahal ini belum dihisab. Itu masih masa menunggu sebelum dihisab!
Itulah masa menunggu yang disebutkan Allah dalam Al-Qur’an, “Yauma yaqūmun nāsu lirabbil ‘ālamīn” (hari di mana manusia berdiri untuk menunggu Tuhan Alam Semesta).
Perjalanan manusia masih panjang.
Setelah masa menunggu usai, barulah Allah menghisab dan mengadili manusia satu persatu dengan detail. Semua diulik dan dikorek amalnya sampai sekecil-kecilnya. Sampai senyum dan tertawapun dihisab. Untuk apa engkau tersenyum dan untuk apa engkau tertawa. Senyummu apakah dosa ataukah senyum yang berpahala. Entah berapa milyar atau triliun manusia yang dihisab dan hanya Allah yang tahu berapa lama waktu yang dihabiskan untuk mengadili seluruh manusia semenjak zaman Adam sampai manusia terakhir saat itu.
Setelah itu barulah manusia diperintahkan melewati jisr (jembatan) . Ini perjalanan lama lagi. Ribuan tahun jika didasarkan pada atsar sebagaimana saya tulis dalam catatan yang berjudul “Cahaya Orang Mukmin Di Hari Kiamat”.
Bisakah Anda membayangkan beratnya perjalanan di hari itu?
KABAR GEMBIRA BAGI ORANG MUKMIN
Meskipun demikian, ada kabar gembira bagi hamba-hamba yang beriman. Rasulullah ﷺ mengabarkan bahwa perjalanan yang demikian lama di akhirat itu nanti akan dipercepat oleh Allah bagi mereka yang beriman. Lama waktu yang dirasakan orang mukmin pada hari itu hanyalah sekitar 5 atau 10 menit saja karena Rasulullah ﷺ menggambarkan durasinya seperti orang melihat matahari bergelantung menjelang terbenam sampai menjadi tenggelam penuh. Abū Ya‘lā meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ مِقْدَارَ نِصْفِ يَوْمٍ مِنْ خَمْسِينَ أَلْفَ سَنَةٍ، فَيَهُونُ ذَلِكَ الْيَوْمُ عَلَى الْمُؤْمِنِ كَتَدَلِّي الشَّمْسِ لِلْغُرُوبِ إِلَى أَنْ تَغْرُبَ» مسند أبي يعلى الموصلي (10/ 415)
Artinya,
“Dari Abū Hurairah, dari Nabi ﷺ beliau bersabda, ‘Manusia berdiri menunggu Tuhan alam semesta selama setengah hari dari ukuran 50.000 tahun. Hari itu terasa ringan bagi orang-orang mukmin seperti matahari yang hendak terbenam sampai dia benar-benar terbenam” (H.R. Abū Ya‘lā)
Riwayat lain menyebut durasinya seperti orang salat wajib saja.
Masalah besarnya adalah, “Apakah kita termasuk yang beriman hakiki?”
Itu yang seharusnya membuat kita takut. Sebab tidak ada surat turun dari langit yang menegaskan bahwa kita benar-benar beriman seperti yang dikehendaki Allah. Keimanan kita di dunia adalah keimanan pernyataan kita sendiri dan keimanan yang disaksikan hamba Allah yang lain. Adapun pengakuan keimanan dari Allah, maka semua itu gaib dan hanya Allah yang tahu.
Iman itu ada dua macam, yakni iman ẓāhir dan iman ẓāhir-bāṭin. Iman ẓāhir adalah iman kita semua yang telah menyatakan beriman. Asalkan kita percaya kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir, maka kita secara hukum dunia sudah sah disebut beriman. Akan tetapi, jika kita ingin tahu apakah sudah memiliki iman hakiki (mu’minūna haqqan) atau iman ẓāhir-bāṭin, maka kita tidak bisa memastikan dan seharusnya hal ini selalu membuat kita merasa takut. Kuatir bahwa kita terlalu gila rasa, magrūr dan ‘ujub, tapi ternyata iman kita tidak diakui Allah. Dalam Al-Qur’an kita diberi petunjuk ciri-ciri orang yang memiliki iman hakiki ini, misalnya jika disebut nama Allah maka akan gemetar hatinya karena takut. Akan tetapi itu tetap tidak bisa dipastikan menjadi jaminan diterimanya iman kita. Sejauh-jauhnya hanyalah bisa menjadi dasar berharap bahwa Allah menerima dan mengakui iman kita.
Kalau begitu, adakah jalan untuk menuju iman sejati itu?
JALAN MENUJU IMAN SEJATI
Alhamdulillah. Allah memberikan nikmat ilmu yang luar biasa yang memberi petunjuk bagaimana seorang hamba menuju iman sejati nan hakiki. Petunjuk jalan menuju iman sejati tentu saja sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Hanya saja, untuk meringkasnya dan menghimpunnya dalam satu penjelasan ringkas yang sistematis, tidak semua orang sanggup melakukannya. Oleh karena itu, kita butuh ilmunya para mujtahid, sebab merekalah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah dimudahkan memahami din ini.
Salah satu ajaran terindah yang saya temukan terkait jalan menuju iman sejati adalah wejangan Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah salih yang keilmuannya mencapai level mujtahid. Beliau menjelaskan, bahwa untuk mencapai iman sejati itu intinya kerjakan empat perkara. Jika seorang hamba sanggup mengerjakan empat perkara itu, maka sempurnalah imannya. Jika lemah atau kurang maka demikianlah kondisi imannya; lemah dan tidak sempurna. Keempat perkara tersebut adalah,
1. Farā’iḍ (الفرائض)
2. Syarā’i‘ (الشرائع)
3. Ḥudūd (الحدود)
4. Sunan (السنن)
Makna farā’iḍ adalah semua kewajiban. Seorang hamba yang ingin mencapai iman sejati harus berusaha maksimal melaksanakan kewajiban sebatas kemampuannya. Salat, membayar zakat, puasa Ramadan, berhaji, berbakti kepada orangtua, silaturrahmi, memuliakan tamu, jujur, amanah dan semua kewajiban yang dimampuinya dan sesuai dengan kondisi yang diberikan Allah kepadanya.
Makna syarā’i‘ adalah semua keyakinan yang diajarkan Rasulullah ﷺ kepada umatnya untuk diimani. Jadi, seorang hamba yang ingin mencapai iman sejati wajib mempelajari ilmu jenis ini agar bisa meyakininya semampu dia dan berpengaruh pada amalnya. Ilmu tentang mengenal Allah dengan segala sifat keluhuran dan keagungan-Nya, Ilmu tentang malaikat, tentang sejarah masa lalu, tentang hari kiamat dengan segala rinciannya, ilmu tentang takdir dan lain-lain.
Makna ḥudūd adalah semua larangan. Seorang hamba yang ingin mencapai iman sejati harus berusaha menjauhi larangan. Tanpa membedakan apakah larangan tegas maupun tidak. Ia berusaha menghindarinya sekeras-kerasnya dan semampu dia. Tidak mabuk, tidak makan makanan haram, tidak mencuri, tidak berzina, tidak makan riba, tidak makan harta anak yatim, tidak melakukan sihir, tidak berbohong, tidak berkhianat dan semua hal yang dibenci Allah.
Adapun makna sunan, maka itu adalah semua jenis taṭawwu‘, nawāfil dan mandūbat. Semua yang disunahkan dan dianjurkan dikerjakan masuk dalam kategori ini. Salat tahajud, salat rawatib, puasa Dawud, sedekah, hadiah, senyum, berjabat tangan, berwajah ramah dan semua hal yang disunahkan akan menyempurnakan iman seorang hamba.
Al-Bukhārī meriwayatkan,
وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ العَزِيزِ إِلَى عَدِيِّ بْنِ عَدِيٍّ: «إِنَّ لِلْإِيمَانِ فَرَائِضَ، وَشَرَائِعَ، وَحُدُودًا، وَسُنَنًا، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ (صحيح البخاري (1/ 11)
Artinya,
“Umar bin Abdul Aziz menulis surat kepada Adi bin Adi (pegawainya), “Sesungguhnya iman itu memiliki Farā’iḍ , Syarā’i‘ , Ḥudūd, dan Sunan. Barangsiapa menyempurnakannya maka sempurnalah imannya. Barangsiapa tidak menyempurnakan maka iman yang tidak sempurna” (H.R. Al-Bukhārī)
Hanya saja, melaksanakan keempat perkara itu tidak gampang. Tidak semua hamba sanggup melakukannya. Itu adalah perjuangan keras. Perjuangan “berdarah-darah”. Seorang hamba bisa jatuh bangun sepanjang hidupnya. Kadang berhasil, kadang gagal. Kadang lari cepat kadang terkapar. Kadang tersandung, kadang melesat. Semua itu tergantung taufik dari Allah dan Allah hanya memberi tafik mereka yang serius dan bertawakal kepadanya, “wallażīna jāhadū fīnā lanahdiyannahum subulanā”.
Amal saleh itu punya saudara. Jika kita melakukan amal saleh dengan benar dan ikhlas, maka biasanya itu akan memberi petunjuk pada amal saleh lainnya. Jadi, orang yang berada di jalan yang benar menuju Allah biasanya semakin hari akan semakin hebat amal salehnya.
Sebaliknya maksiat juga punya saudara. Jika kita melakukan maksiat, maka biasanya satu maksiat akan menuntut pada maksiat yang lain sampai seorang hamba bisa terjerumus pada maksiat besar dan terakhir jatuh pada kekufuran atau suul khatimah, na’ūżu billāhi min żālik.
Maksiat juga bisa menutup pintu taufik. Orang yang melakukan maksiat, biasanya dihukum sehingga tidak bisa melakukan amal saleh yang dia rencanakan atau ia niatkan. Ada saja yang menghalanginya. Kalaupun tidak ada penghalang, maka dia merasakan seakan-akan ada beban berat dalam dada sehingga dia seperti malas luar biasa atau tidak sanggup melakukan amal tersebut.
Maksiat yang mempengaruhi amal saleh seorang hamba ini juga bisa berbeda-beda tingkat pengaruhnya. Seorang hamba yang bersih dan dekat dengan Allah, bisa dihukum keras hanya karena maksiat “kecil” yang melakukannya. Sebaliknya, hamba yang masih kotor dan baru menapaki jalan kesucian, bisa jadi hukumannya tidak sekeras mereka yang sudah punya kedudukan tinggi.
Al-Tsaurī adalah contoh indah bagaimana kita harus berhati-hati dengan maksiat, karena bisa menghalangi amal saleh yang kita rencanakan. Dikisahkan Al-Tsaurī tidak sanggup salat malam selama lima bulan bulan hanya karena satu dosa yang beliau lakukan. Ketika beliau ditanya apa dosa itu, beliau menjawab “Aku melihat orang yang sedang menangis, lalu aku berkata dalam hati, orang ini riyā’!”
“Hanya” dosa suuzon seperti ini pengaruhnya. Lalu bagaimana dengan dosa riya’, sum’ah, ujub, ghurur, mengunjing orang, memfitnah, memaki, dan melaknat?
اللهم اجعلنا من المؤمنين حقا
2 Comments
Muhammad Thomas
Aamiin,
Jazakallahu khoiron ilmunya ustad
Admin
wa iyyakum