Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kalau menurut Karen Armstrong, pengarang buku “A History of God” (sebuah sejarah tentang tuhan), iya, Humanisme itu memang agama. Tepatnya agama tanpa tuhan dan tanpa ritual menyembah tuhan. Sesuatu yang disebut agama itu sendiri memang tidak harus bersifat teistik. Agama Buddha dan Shinto misalnya. Kita menyebutnya agama, meskipun di sana tidak ada kepercayaan terhadap tuhan dan tidak ada pembahasan tentang tuhan sebagai pencipta alam semesta.
Karen Armstrong menulis,
“Humanism is itself a religion without God.” (Humanisme sendiri adalah agama tanpa tuhan)
Pengakuan yang sama ditegaskan oleh Potter yang menulis buku bersama istrinya Clara Cook Potter tahun 1930 berjudul “Humanism: A New Religion” (Humanisme: suatu agama baru).
Jika humanisme diakui sebagai agama, berarti paham ini ada “akidah”-nya, ada “syariah”-nya, ada ”kitab suci”-nya, ada “nabi”-nya dan ada “tukang dakwah”-nya juga.
“Akidah” utama humanisme adalah keyakinan bahwa manusia punya kekuatan sendiri untuk menemukan kebenaran. Cukup dengan akalnya, dia sudah bisa menentukan baik dan buruk. Tidak perlu tuhan. Wajar, jika humanisme rata-rata menyeret pada ateisme, minimal agnostisisme. Jika kita ingin menyebut sesuatu yang disembah, maka paham ini pada hakikatnya “menyembah” manusia. Tepatnya menyembah hawa nafsunya sendiri.
Oleh karena itu, “Syahadat” paham ini berbunyi,
“Humans are the measure of all things” (manusia adalah ukuran segala sesuatu)
Paham ini juga meyakini filsafat naturalisme yang menolak semua supernaturalis.
Contoh “akidah-akidah” cabang yang lahir dari paham ini,
- Tuhan hanyalah ide dan proyeksi kebutuhan manusia
- Manusia bukan ciptaan Tuhan, tapi hasil evolusi
- Tidak ada kehidupan setelah mati
- Malaikat, setan, surga, neraka semua mitos
- Dan lain-lain.
Adapun “syariah”-nya, maka sumbernya dua yaitu AKAL dan SAINS.
Berdasarkan pertimbangan akal dan sains, lalu mereka merumuskan tujuan hidup. Bagi mereka tujuan hidup adalah: makan, minum, berhubungan seks dan bersenang-senanglah sepuasmu sebelum mati. Dengan kata lain tujuan hidupnya adalah kebahagiaan duniawi.
Contoh produk cabang “syariah” mereka,
- Seks bebas boleh
- Kumpul kebo boleh
- Homoseksual boleh
- Lesbianisme boleh
- Kawin-cerai bebas (karena semua orang berhak bahagia)
- Bunuh diri boleh
- Aborsi boleh
- Eutanasia boleh
- Menista agama bukan tindakan kriminalisme
- Nahi mungkar itu kekerasan
- Razia pelaku maksiat itu melanggar HAM
- dll
Semua “fatwa” tentang kemanusiaan, seolah-olah hanya sah dan otoritatif jika muncul dari para penganut paham humanisme ini. Mereka ingin muncul sebagai kelompok elit intelektual baru yang menguasai akal manusia dan “ditaati fatwa-fatwa”-nya, mengalahkan fatwa majelis ulama.
Contoh “lembaga fatwa” mereka di Inggris adalah “British Humanist Association”. Banyak orang Inggris memilih konsultasi ke lembaga ini daripada berkonsultasi kepada para pastur.
Kalau “kitab suci”-nya mungkin Manifesto Humanisme. “Nabi” resminya mungkin juga susah ditunjuk, tapi Kardinal Pelagius barangkali bisa dianggap sebagai pelopor pertama paham ini.
Contoh “dai-dai” humanisme: Erasmus, Thomas More, Francois Rabelais, Francesco Petrarch, Giovanni Pico della Mirandola, F.C.S. Schiller, Charles Francis, Salman Rushdi, Claire Raynes, Paul Kurtz, Robert G. Ingersoll, dan lain-lain.
SEJARAH SINGKAT
Istilah humanisme tercipta mulai tahun 1808. Tapi sebagai sebuah paham, barangkali pelopornya adalah Kardinal Pelagius. Ini ironis sebenarnya. Paham yang menggiring orang untuk memusuhi agama justru lahir dari kalangan agamawan sendiri. Pelagius menggagas ide bahwa manusia bisa berkembang sendiri tanpa tuhan. Bisa mengetahui baik-buruk cukup dengan akal, tidak perlu wahyu.
Mula-mula paham ini dimusuhi di kalangan Katolik. Tapi di kalangan Protestan ia dirangkul. Akhirnya, lahirlah Christian Humanism/Humanisme Kristen. Teologi kristen yang sudah menerima humanisme akhirnya berorientasi kemanusiaan.
Lama-lama, humanisme meninggalkan agama, lalu berbalik memaki dan mencibir agama. Paul Kurtz dan Potter dikenal sebagai penganut humanisme radikal yang sudah lama ingin menghabisi agama. Alasan permusuhan mereka, agama masih mengandung intimidasi. Beda dengan humanisme yang bebas dari intimidasi. Dari sini lahirlah humanisme sekuler.
Humanisme sekuler ingin agama hanya boleh di ruang privat, ukuran moral di ruang publik adalah konsensus publik. Tidak boleh agama.
Jadi bisa disimpulkan, awal gerakan paham ini sebenarnya “hanya” ingin mensekulerkan agama. Lama-lama dia ingin menjadi agama tersendiri, yakni menjadikan sekularisme sebagai agama.
Humanisme ini memang paham yang lebih ngeri daripada pluralisme. Sebab, pluralisme “hanya” ingin menyamakan semua agama, sementara humanisme ini sudah ingin meniadakan tuhan dalam hidup.
Rupanya, ada yang ingin umat Islam meniru sejarah umat kristen itu. Syibran bi syibrin, wa żirā‘an bi żirā‘in.
Awalnya berusaha mengawinkan humanisme dengan Islam, lalu lama-lama Islam akan dicemooh. Akibatnya muncullah orang yang KTP-nya Muslim tapi hakikat agamanya sudah humanisme sekuler. Mereka benci dengan ucapan takbir, risih dengan “ana wa antum” dan sinis dengan segala simbol agama.
Catatan:
Saya mendapatkan data informasi yang banyak sekali dari tulisan al-Ustaz Prof. Hamid Fahmi Zarkasyi terkait topik ini. Jadi tumpuan validitas datanya adalah tulisan beliau. Rahimahullah rahmatan wasi’ah.
5 Shafar 1443 H/ 12 September 2021 jam 20.34