Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Penipu yang mengaku ketemu Nabi Khidir dan mendapat ilmu darinya, tujuannya sederhana sebenarnya; Agar dimaklumi jika melanggar syariat! Setelah itu dia bebas menunggangi tengkuk pengikutnya dan dikendalikan kemanapun dia mau atas nama ilmu Nabi Khidir tersebut.
Nalarnya begini,
Dalam Al-Qur’an, beberapa tindakan Nabi Khidir diceritakan lahirnya bertentangan dengan syariat Nabi Musa, misalnya tiba-tiba membunuh anak kecil, melubangi geladak kapal milik orang miskin yang ditumpangi, dan memperbaiki tembok yang hendak roboh tanpa meminta upah.
Dari situ lalu disimpulkan ada jenis ilmu yang langsung berasal dari Allah, yang seperti diberikan kepada Nabi Khidir dan lahirnya bertentangan dengan syariat tapi itu kebenaran. Ilmu seperti itu dinamakan ilmu ladunni (اللَّدُنِّيُّ), yakni ilmu yang didapat tidak melalui jalan belajar, tapi langsung diajari Allah.
Tentu itu adalah kesimpulan batil yang muncul karena kejahilan.
Itu cara keliru memahami kisah Nabi Khidir.
Nabi Khidir itu melakukan segala sesuatu atas perintah Allah untuk sebuah hikmah yang dikehendaki Allah. Bukan dari pikiran beliau sendiri. Yang seperti ini kasusnya seperti Nabi Ibrahim diperintah Allah untuk menyembelih putranya. Tidak boleh dengan alasan Nabi Ibrahim menyembelih putranya, lalu kita ramai-ramai menyembelih anak-anak kita dalam rangka berkurban supaya Allah rida!
Ini pemahaman sesat dan tafsir sesat tanpa ilmu.
Kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir diceritakan dalam Al-Qur’an itu dengan maksud diambil hikmah dan ibrahnya. Ada banyak ibrah yang bisa diambil. Tapi tidak ada satupun hikmah dan ibrah itu yang kesimpulannya penghancuran terhadap syariat Nabi Muhammad ﷺ atau syariat Nabi Musa!
Semua ibrah itu harus diambil dalam konteks menguatkan syariat Nabi Muhammad, bukan malah mengancurkannya.
Contoh ibrah kisah Nabi Musa bersama Nabi Khidir misalnya,
PERTAMA,
Kadang Allah mewafatkan anak yang masih kecil karena rahmat-Nya kepada orang tuanya dan pada anak itu sendiri. Sebab, bisa jadi jika dia sampai dewasa akan menjadi buruk bagi anak tersebut sebagaimana juga menjadi ujian berat bagi orang tuanya. Jadi orang tua yang diuji anaknya wafat kecil jangan suuzan kepada Allah. Berhusnuzanlah, karena Allah menjanjikan surga jika tabah dan belum tentu dapat surga jika anaknya sampai besar.
KEDUA,
Kadang kita dikasih Allah musibah kecil untuk menghindarkan kita dari musibah yang lebih besar. Seperti pemilik kapal yang geladaknya dirusak Nabi Khidir, ternyata Allah bermaksud membuat pemilik kapal selamat dengan musibah yang lebih besar yakni dirampasnya kapal tersebut oleh orang zalim
KETIGA,
Kesalihan orang tua kadang bermanfaat untuk anak cucunya. Seperti kisah ayah anak yatim yang ayahnya saleh, ternyata itu membuat Allah mengurus anak yang ditinggalkannya, hingga seorang nabi sampai diperintahkan Allah untuk melakukan sesuatu yang menjadi kemaslahatan untuk sang anak. Ini contoh berkah orang tua saleh.
KEEMPAT,
Prinsip tawaduk. Meskipun Nabi Musa seorang nabi dan punya massa besar, tapi beliau tidak gengsi berguru kepada hamba Allah yang tidak terkenal dan tidak punya massa besar. Berguru pada orang yang keutamaannya di bawah Anda bukan aib. Justru ini menunjukkan kerendah-hatian Anda.
KELIMA,
Keutamaan menuntut ilmu. Buktinya seorang nabi pun masih mengejarnya. Mekipun sudah diberi ilmu Allah, tapi beliau selalu haus menambah ilmu dan bersedia menambah ilmu saat Allah memberi kesempatan menuntut ilmu tidak melalui jalan wahyu.
KEENAM,
Menuntut ilmu harus berjuang. Tidak bisa enak-enakan. Nabi Musa saja harus melakukan safar jauh, membawa bekal, ditemani salah satu muridnya, sempat keliru menempuh jalan, capek, letih, haus, lapar dan seterusnya.
KETUJUH,
Menuntut ilmu itu tidak dibatasi umur, status, kedudukan dalam din, dan seterusnya. Meskipun kyai besar, bahkan wali besar sekalipun maka tetap wajib menuntut ilmu dan terus menambah pengetahuan. Sebagaimana Nabi Musa meskipun seorang nabi besar, seorang ulul azmi, beliau tetap semangat menuntut ilmu tanpa merasa gengsi.
KEDELAPAN,
Prinsip adab terhadap guru. Jika guru membuat aturan yang mubah, maka adab yang baik adalah menaati aturan guru tersebut dan menghormatinya.
KESEMBILAN,
Prinsip sabar menuntut ilmu. Kata Nabi ﷺ, seandainya Nabi Musa bisa bersabar lebih lama, niscaya beliau akan mendapatkan ilmu lebih banyak lagi.
KESEPULUH,
Luasnya ilmu Allah. Seluruh ilmu yang kita ketahui hakikatnya hanya setetes dari ilmu Allah seluas samudra. Seluruh ilmu Nabi Musa dan Nabi Khidir, dan ilmu seluruh makhluk dijadikan satu sekalipun hakikatnya cuma setetes itu.
KESEBELAS,
Tidak menjadi keharusan menguasai seluruh ilmu guru. Karena bisa jadi Allah memudahkan satu ilmu pada hamba tapi tidak dimudahkan dalam ilmu yang lain. Ada yang dimudahkan dalam ilmu akidah misalnya, tapi sangat lemah dalam ilmu bahasa. Ada yang dimudahkan ilmu bahasa misalnya, tapi lemah dalam ilmu sejarah. Ada yang dimudahkan dalam ilmu sejarah tapi lemah dalam ilmu fikih. Bahkan yang dimudahkan dalam ilmu fikih sekalipun masih bertingkat-tingkat. Ada yang dimudahkan memahami topik ibadah, tapi kesulitan memahami tema-tema waris, talak, haid-istihadah, jual beli-syirkah dan seterusnya
KEDUABELAS,
Jika orang ingin menguras ilmu gurunya, maka dia harus sabar menghadapi tindakan dan aturan gurunya.
KETIGABELAS,
Menuntut ilmu itu tidak harus ada bangunan pondok, gedung mewah, fasilitas lengkap. Sangat fleksibel. Dalam safar bisa, saat di kampung bisa. Saat naik kendaran bisa. Di sela-sela kerja juga bisa.
KEEMPATBELAS,
Penuntut ilmu tidak boleh sombong. Datangilah ilmu, jangan minta didatangi selama mampu datang
KELIMABELAS,
Allah memuliakan dengan ilmu, sebagaimana Allah memuliakan Nabi Khidir dengan ilmu sehingga seorang nabi pun jadi muridnya.
KEENAMBELAS,
Di antara adab murid yang baik adalah minta maaf jika melakukan kesalahan dan berkomitmen tidak mengulang, sebagaimana Nabi Musa tidak sombong meminta maaf ketika melakukan kesalahan kepada gurunya.
KETUJUHBELAS,
Diberi ilmu Allah adalah salah satu bentuk rahmah “ātaināhu raḥmatan min ‘indinā” , karena itulah Rasulullah ﷺ banyak meminta rahmah selain magfirah
KEDELAPANBELAS,
Menuntut ilmu harus punya sifat tangguh/ṣabr (الصبر). Dalam kisah nabi Khidir, kata ṣabr itu diulang sampai 7 kali. Ini menunjukkan orang menuntut ilmu tidak boleh gampang putus asa. Tidak boleh semangat hanya sesekali. Tidak boleh gampang bilang “capek”. Tidak boleh punya sifat gampang bosan. Tidak boleh punya sifat gampang mengeluh “aduh sulit”, dan seterusnya. Bukan penuntut ilmu sejati yang mentalnya “gampang cuklek” dalam bahasa jawa. Dikit-dikit mental health-mental health misalnya.
KESEMBILAN BELAS,
Guru jangan melihat jumlah murid. Satu murid serius lebih baik daripada 1000 murid yang niatnya tidak jelas.
KEDUAPULUH,
Guru boleh menolak murid yang dipandangnya tidak layak belajar kepadanya, karena Nabi Khidir saat mengetahui niat Nabi Musa belajar, beliau memprediksikan nabi Musa tidak akan tahan. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan guru boleh menilai muridnya dan memutuskan apakah menerima, menolak, atau menerima dengan syarat.
Dan masih banyak lagi.
Tapi di antara semua hikmah itu, tidak ada satu pun yang bermakna bahwa kita boleh meninggalkan syariat dengan alasan telah mencapai hakikat, atau mencapai makrifat, atau mencapai fanā’ atau maqom apapun yang dianggap lebih “wah” dari itu. Ini jelas gagasan setan.
Di antara bukti batilnya menjadikan kisah nabi Khidir untuk mengagungkan hakikat dan meremehkan syariat adalah ketika nabi Musa kembali ke kaumnya, maka beliau tetap konsisten melaksanakan syariat yang diturunkan Allah kepada beliau.
Beliau tidak melanggar syariat dengan alasan sudah dapat ilmu hakikat dari nabi Khidir dan juga tidak akan membiarkan umatnya melanggar syariat dengan alasan yang sama.
Jadi kalau ada orang yang zahirnya syirik ya tetap akan dihukum mati.
Orang yang zahirnya berzina ya tetap akan dihukum rajam.
Demikian pula nabi Muhammad saat membacakan kisah ini di tengah-tengah para sahabat. Setelah kisah ini diajarkan kepada umat Islam, beliau tetap teguh menjalankan syariat dan menghukum tegas siapa pun yang melanggar syariat.
Allah memerintahkan kita mengikuti Nabi Muhammad ﷺ , bukan nabi Khidir.
Allah memerintahkan kita mengikuti syariat nabi Muhammad, bukan syariat nabi Khidir
Allah akan menanyai kita terkait sikap kita terhadap risalah Nabi Muhammad ﷺ , bukan menanyai kita tentang ilmu nabi Khidir.
Kisah Nabi Khidir dalam Al-Qur’an diceritakan bukan untuk menghancurkan syariat nabi Muhammad, tapi agar menjadi ibrah dan pelajaran yang menguatkan syariat nabi Muhammad.
Nabi Khidir dengan asumsi sekarang masih hidup sekalipun, maka harus dipahami beliau mendapatkan perintah untuk hikmah yang dikehendaki Allah sebagaimana hamba Allah yang lain dikalangan malaikat juga diperintah Allah sesuai dengan hikmah yang dikehendaki-Nya. Bukan untuk dirindui, bukan agar kita penasaran bertemu dengannya, apalagi untuk mengikuti syariatnya.
Oleh karena itu jika diajak bertasawuf atau bertarekat, berhati-hatilah dengan para penipu dan penyesat yang mengatas namakan dapat ilmu dari nabi Khidir.
Perhatikan betul kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Sunah.
Jika terlihat melanggar, maka langsung tinggalkan.
Mumpung belum terlambat.
Cara mengecek benar tidaknya klaim mendapatkan informasi dari nabi Khidir adalah dengan melihat pembawa berita. Jika beliau orang yang berilmu, menguasai syariat, berpegang teguh dengan syariat, dan klaim berita dari Khidir itu menguatkan syariat Nabi Muhammad ﷺ , maka dalam batas tertentu boleh dihusnuzani. Tapi jika sampai meremehkan syariat, menghina para fukaha/ahli fikih, merendahkan kitab-kitab ulama, sudah begitu orangnya jahil syariat lagi, maka tidak diragukan orang tersebut adalah di antara para peyesat dan penipu di akhir zaman.
Ibnu ‘Āsyūr menasihati supaya waspada jika ketemu orang yang mengaku mendapatkan ilmu dari nabi Khidir, karena itu memang bisa menyesatkan. Beliau berkata,
Artinya,
“Berhati-hatilah kalian dengan orang yang mengatakan, “Khidir bilang pada saya…” (al-Taḥrīr wa al-Tanwīr, juz 16 hlm 16)
Terakhir, dari mana tasawuf dan tarekat abal-abal mendapat keyakinan batil dan konsep keliru tentang Nabi Khidir?
Dari tasawuf Ibnu ‘Arabi!
Yang pernah membaca kitab al-Futūhāt al-Makkiyyah akan mengetahui pembahasan tentang Nabi Khiḍir dan konsepsi “al-Waḥyu al-Ilhāmī”(الوحي الإلهامي) di sana yang menjadi dasar seluruh keyakinan batil dan menyesatkan tentang nabi Khidir dan dasar semua prinsip penghancuran syariat.
Oleh karena itulah sejak awal saya menulis topik tasawuf, sudah saya tegaskan sejak awal bahaya dan haramnya menyebarkan tasawuf Ibnu ‘Arabī, termasuk yang semakna dengan itu seperti tasawuf al-Ḥallāj, Ibnu Sab‘īn, Ibnu al-Fāriḍ, ‘Abdul Karīm al-Jīlī, Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Siti Jenar, Ranggawarsita dan semisalnya. Mereka yang mudah tertipu oleh penipu jahil berkedok tarekat terkait masalah nabi Khidir ini biasanya tasawufnya mengadopsi tasawuf Ibnu ‘Arabi atau tokoh sufi falsafi yang melanjutkannya atau berusaha mensinkretiskan tasawuf yang sahih dengan tasawuf Ibnu ‘Arabī ini.
2 April 2022/30 Sya’ban 1443 H