Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ini lanjutan kisah mesum al-Ḥallāj sebelumnya.
Setelah al-Ḥallāj gagal menyetubuhi wanita yang jadi menantunya karena kepergok duluan, maka dia pun pergi. Sang menantu lanjut tidur. Ditemani putri al-Ḥallāj. Putra al-Ḥallāj yang jadi suami menantunya sedang di kota lain.
Paginya, al-Ḥallāj turun dari tempatnya. Mungkin lokasi tidur al-Ḥallāj di lantai atas atau ruang yang lebih tinggi dari tempat tidur sang menantu sehingga dalam riwayat disebut “turun”.
Begitu sang putri melihat ayahnya turun, dia berkata kepada sang menantu,
“Sujudlah kepada ayahku!”
Tentu saja sang menentu keheranan. Dengan nada mengingkari dia berkata,
“Masa sujud kepada selain Allah?”
Al-Ḥallāj yang mendengar percakapan itu mengomentari,
“Ya. Tuhan di langit dan tuhan di bumi.”
Al-Żahabī menulis ucapan menantu al-Ḥallāj yang mengisahkan peristiwa tersebut sebagai berikut,
Artinya,
“Tatkala tiba waktu pagi sementara aku waktu itu bersama putrinya (al-Ḥallāj), maka al-Ḥallāj turun. Putrinya berkata, “Bersujudlah kepadanya”. Aku bertanya, ‘Apakah (boleh) sujud kepada selain Allah?’ Dia (al-Ḥallāj) mendengar ucapanku kemudian berkata, ‘Ya, tuhan di langit dan tuhan di bumi’.” (Siyaru A‘lāmi al-Nubalā’, juz 14 hlm 338)
Tampak dari kisah di atas bahwa al-Ḥallāj “sukses” mendoktrin putrinya tentang “kemuliaan” dan “keagungan” sang ayah sampai level memandang bahwa sang ayah layak disujudi!
Tampak pula dari komentar al-Ḥallāj yang mengatakan “Ya” saat sang menantu bertanya mengingkari, bahwa al-Ḥallāj punya paham boleh sujud kepada selain Allah. Sebab kata na’am dalam bahasa Arab itu memperkirakan pengulangan pertanyaan dalam bentuk afirmasi. Misalnya orang mengatakan, “Hal anta ṭālib?” (apakah kamu mahasiswa?) jika dijawab, “na’am”, maka itu bermakna “Na’am, anā ṭālib” (ya, saya mahasiswa). Jadi ketika al-Ḥallāj mengatakan na‘am saat mengomentari pertanyaan menantunya, maka itu bermakna, “Na‘am, yusjadu ligairillāh.” (ya, boleh sujud kepada selain Allah)
Makna yang lain lebih ngeri. Ucapan al-Ḥallāj yang berbunyi,
Artinya,
“Tuhan di langit dan tuhan di bumi.”
Kalimat di atas memberi kesan al-Ḥallāj mengaku sebagai tuhan!
Sebab, seakan-akan dia mengatakan begini,
“Iya, wahai menantuku. Boleh kok sujud kepada selain Allah. Karena pada hakikatnya engkau itu bukan sujud kepada makhluk, tapi engkau sujud kepada Allah juga. Saat engkau salat, maka engkau sujud kepada Tuhan yang ada di langit. Saat engkau sujud kepadaku, maka engkau sujud kepada Tuhan yang telah menitis pada ragaku. Jadi hakikatnya engkau sujud kepada Tuhan juga, hanya saja Tuhan yang berada di bumi. Aku ini sudah mencapai level kerohanian yang sangat tinggi, sudah makrifat, sudah fanā’, sehingga lebur ke”aku”anku pada diri tuhan sehingga sudah tidak ada bedanya lagi antara aku dengan Tuhan!”
Ucapan al-Ḥallāj mengomentari menantunya ini mengkonfirmasi paham ḥulūl yang dinisbahkan kepadanya. Konsepsi dasar ḥulūl itu memang inkarnasi. Penitisan. Mula-mula mungkin roh nabi-nabi yang dianggap menitis. Lama-lama jika dianggap sudah mencapai level kerohanian tertinggi, maka Allah lah yang dianggap langsung menitis sehingga jasad yang dirasuki layak untuk disujudi dan layak disembah!
Karena itu dalam tulisan sebelumnya saya sudah mengingatkan bahaya kelompok yang mengajarkan penitisan roh Nabi Muhammad ﷺ atau keluarga beliau pada pemimpin kelompok tersebut atau keluarganya atau murid-muridnya. Itu pelan-pelan akan menggiring pada kemusyrikan.
Perbuatan sujud kepada manusia seperti itu jelas sebuah kebodohan. Al-Nawawī tegas mengatakan dalam al-Majmū’, bahwa mereka orang-orang tolol yang melakukan perbuatan seperti itu. Sujud kepada manusia, meskipun pada mursyid agung, syaikh sufi yang dianggap wali dan semisalnya adalah perbuatan haram secara pasti tanpa mempedulikan apakah niatnya sujud kepada Allah maupun tanpa niat apapun. Sebagian bentuk sujud kepada selain Allah adalah kekafiran jika sifatnya menyembah selain Allah atau bertaqarrub kepadanya. Al-Nawawī berkata,
Artinya,
“Apa yang dilakukan sejumlah orang tolol yang sujud di depan masyayikh, itu adalah haram secara pasti dalam kondisi apapun. Sama saja apakah menghadap kiblat atau selain kiblat. Sama juga apakah, memaksudkan sujud kepada Allah atau dengan hati lengah. Dalam beberapa kondisi sujud bisa mengantarkan pada kekafiran atau mendekatinya. Semoga Allah Yang Maha Mulia menjaga kita dari hal itu.” (al-Majmū‘, juz 4 hlm 69)
Saudara-saudara sekalian.
Beginilah kondisi al-Ḥallāj.
Apakah belum menjadi pelajaran?
15 Ramadan 1443 H/17 April pukul 10.30