Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Tanda-tanda Lailatul Kadar yang lain adalah tanda yang terkait dengan kondisi cuaca dan keadaan benda langit. Di antaranya adalah suhu di malam itu tidak panas dan tidak dingin. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ. [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 331)]
Artinya,
“(Malam itu) tidak panas dan tidak dingin” (H.R. Ibnu Khuzaimah)
Riwayat senada ada dalam Musnad Ahmad,
« لَا بَرْدَ فِيهَا، ولَا حَرَّ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya,
“Tidak ada dingin di malam itu dan tidak ada panas” (H.R. Ahmad)
Juga riwayat Abū Dāwūd al-Ṭayālisī,
لَا حَارَّةٌ، وَلَا بَارِدَةٌ. [«مسند أبي داود الطيالسي» (4/ 401)]
Artinya,
“(Malam itu) tidak panas dan tidak dingin” (H.R. Abū Dāwūd al-Ṭayālisī)
Juga riwayat al-Ṭabārānī,
لَا حَارَّةٌ وَلَا بَارِدَةٌ. [«المعجم الكبير للطبراني» (22/ 59)]
Artinya,
“(Malam itu) tidak panas dan tidak dingin” (H.R. al-Ṭabarānī)
Ciri yang lain adalah langitnya cerah. Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
« إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya,
“Sesungguhnya tanda Lailatul Kadar adalah bahwa malamnya itu cerah” (H.R.Ahmad)
Riwayat senada ada dalam al-Mu‘jam al-Kabīr karya al-Ṭabarānī,
وَلَا سَحَابَ فِيهَا، وَلَا مَطَرَ، وَلَا رِيحَ. [«المعجم الكبير للطبراني» (22/ 59)]
Artinya,
“Tidak ada awan di malam itu, tidak ada hujan juga dan tidak ada angin” (H.R. al-Ṭabarānī)
Ciri yang lain adalah tidak ada bintang jatuh. Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
« وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya,
“Tidak halal bintang dilemparkan di malam itu hingga waktu pagi” (H.R. Ahmad)
Riwayat senada ada dalam al-Mu‘jam al-Kabīr karya al-Ṭabarānī,
وَلَا يُرْمَى فِيهَا بِنَجْمٍ. [«المعجم الكبير للطبراني» (22/ 59)]
Artinya,
“Tidak ada bintang dilemparkan di malam itu” (H.R. al-Ṭabarānī)
Ciri yang lain adalah bulan di malam itu seperti piring yang dibelah. Muslim meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: « تَذَاكَرْنَا لَيْلَةَ الْقَدْرِ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَيُّكُمْ يَذْكُرُ حِينَ طَلَعَ الْقَمَرُ، وَهُوَ مِثْلُ شِقِّ جَفْنَةٍ ». [«صحيح مسلم» (3/ 174 ط التركية)]
Artinya,
“Dari Abu Hurairah, ia berkata: Kami teringat dengan malam Lailatul Qadr di sisi Rasulullah ﷺ, maka beliau pun bersabda: “Siapakah di antara kalian yang teringat ketika bulan muncul seperti belahan piring?.” (H.R.Muslim)
Ciri yang lain, di pagi harinya matahari terbit dengan kebulatan sempurna. Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
« وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً ». [«مسند أحمد» (37/ 425 ط الرسالة)]
Artinya,
“Di antara tanda Lailatul Kadar adalah bahwasanya matahari di pagi harinya terbit bulat sempurna” (H.R. Ahmad)
Dalam riwayat lain, matahari bentuknya digambarkan seperti ṭastun (baskom). Al-Nasā‘ī meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
كَأَنَّهَا طَسْتٌ ». [«السنن الكبرى – النسائي – ط الرسالة» (3/ 402)]
Artinya,
“Seakan-akan dia (matahari) itu baskom” (H.R. al-Nasā’ī)
Warna cahaya matahari yang terbit di pagi itu digambarkan berwarna putih. Al-Nasā‘ī meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
تَطْلُعُ فِي صَبِيحَتِهَا بَيْضَاءَ. [«السنن الكبرى – النسائي – ط الرسالة» (3/ 402)]
Artinya,
“Matahari terbit di pagi harinya dalam keadaan berwarna putih” (H.R. al-Nasā’ī)
Riwayat lain menyebut warnanya merah lemah. Ibnu Khuzaimah meriwayatkan,
تُصْبِحُ الشَّمْسُ يَوْمَهَا حَمْرَاءَ ضَعِيفَةً». [«صحيح ابن خزيمة» (3/ 331)]
Artinya,
“Matahari terbit di hari itu dalam keadaan berwarna merah lemah” (H.R. Ibnu Khuzaimah)
Riwayat senada dalam Musnad Abū Dāwūd al-Ṭayālisī berbunyi,
تُصْبِحُ شَمْسُهَا صَبِيحَتَهَا ضَعِيفَةً حَمْرَاءَ». [«مسند أبي داود الطيالسي» (4/ 401)]
Artinya,
“…Matahari terbit di pagi harinya dalam keadaan lemah berwarna merah” (H.R. Abū Dāwūd al-Ṭayālisī)
Dua informasi yang lahirnya kontradiktif ini mungkin dikompromikan dengan memahami: Awalnya terbit dengan warna merah lemah, lalu setelah naik sedikit menjadi putih.
Hanya saja, tanda-tanda terkait cuaca ini tidak bisa dijadikan tanda tetap. Apalagi di negeri-negeri yang cuacanya tidak stabil karena posisinya terhadap matahari yang khas atau pengaruh tangan manusia. Bisa jadi ada yang mengalami malam terus, siang terus, sering hujan, cerah terus, dingin terus, panas terus dan seterusnya.
Lebih-lebih ada riwayat sahih bahwa Lailatul Kadar di zaman Nabi ﷺ pernah terjadi saat malam hujan deras. Waktu itu Rasulullah ﷺ mengabarkan dirinya sujud di atas air dan lumpur. Jika Rasulullah ﷺ mendapati Lailatul Kadar dalam keadaan bersujud di atas air dan lumpur, maka hal itu menunjukkan langit tidak cerah, tapi justru berawan dan hujan deras sehingga terjadi kebocoran pada atap Masjid Nabawi yang membuat lantai masjid menjadi becek. Al-Bukhārī meriwayatkan,
عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ ، وَكَانَ لِي صَدِيقًا، فَقَالَ: «اعْتَكَفْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعَشْرَ الْأَوْسَطَ مِنْ رَمَضَانَ، فَخَرَجَ صَبِيحَةَ عِشْرِينَ فَخَطَبَنَا، وَقَالَ: إِنِّي أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ، ثُمَّ أُنْسِيتُهَا، أَوْ: نُسِّيتُهَا، فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ فِي الْوِتْرِ، وَإِنِّي رَأَيْتُ أَنِّي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ. [«صحيح البخاري» (3/ 46 ط السلطانية)]
Artinya,
“Dari Abu Salamah berkata: Aku bertanya kepada Abu Sa’id Al Khudriy yang merupakan salah seorang sahabat karibku, maka dia berkata: “Kami pernah ber’i’tikaf bersama Nabi ﷺ pada sepuluh malam pertengahan dari bulan Ramadlan. Kemudian Beliau keluar pada sepuluh malam yang akhir lalu memberikan khuthbah kepada kami dan berkata: “Sungguh aku diperlihatkan (dalam mimpi) tentang Lailatul Qadar namun aku lupa atau dilupakan waktunya yang pasti. Namun carilah pada sepuluh malam-malam akhir dan pada malam yang ganjil. Sungguh aku melihat dalam mimpi, bahwa aku sujud diatas tanah dan air (yang becek)” (H.R.al-Bukhārī)
Riwayat senada ada dalam Musnah Ahmad sebagai berikut,
«عَنْ جَابِرِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” الْتَمِسُوا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فِي وَتْرٍ، فَإِنِّي قَدْ رَأَيْتُهَا فَنُسِّيتُهَا، هِيَ لَيْلَةُ مَطَرٍ وَرِيحٍ “، أَوْ قَالَ: ” قَطْرٍ وَرِيحٍ “». [«مسند أحمد» (34/ 473 ط الرسالة)]
Artinya,
“Dari Jabir bin Samurah ia berkata: “Rasulullah ﷺ bersabda: “Seriuslah mencari lailatul qadar di sepuluh hari terakhir Ramadan di bilangan ganjil. Sungguh aku menyaksikannya dan mengenalinya dengan hujan di malam harinya disertai angin -atau beliau bersabda- hujan dan angin.” (H.R.Ahmad)
Adapun tanda-tanda seperti ada pohon tumbang lalu berdiri lagi, air asin menjadi tawar, tidak ada anjing menggonggong, terdengar suara salam di mana-mana, gambar tiga masjid terlihat di langit (masjidil haram, masjid nabawi, masjidil aqsa), langit terbelah lalu menurunkan hujan disertai kilat dan petir maka ini semua tidak ada dasar dalilnya sehingga tidak bisa dijadikan pegangan.
(selesai)
22 Ramadan 1443 H/24 April 2022 pukul 13.15