Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Salat itu jika tidak mampu berdiri, maka boleh duduk.
Jika tidak mampu duduk, maka boleh berbaring miring (‘alā janbin).
Jika tidak mampu, maka boleh terlentang (mustalqiyan).
Seperti ini kemudahan untuk melaksanakan perintah ketaatan.
Beda dengan perintah meninggalkan maksiat.
Mana ada tingkatan-tingkatan meninggalkan maksiat?
Tidak ada-–misalnya–ajaran yang berbunyi,
“Kalau tidak mampu meninggalkan kebiasaan zina berkali-kali dalam sebulan, lakukan satu kali saja sebulan.”
Atau,
“Kalau tidak mampu meninggalkan godaan zina hakiki, lakukan zina majasi saja yang lebih ringan (mencium, meraba, melihat yang tidak halal, mengkhayal dan semisalnya).”
Inilah bedanya melakukan ketaatan dan meninggalkan larangan.
Sesungguhnya MENINGGALKAN LARANGAN ITU LEBIH BERAT daripada melakukan ketaatan!
Sebab ketaatan itu bertingkat-tingkat dan perintahnya dilakukan sesuai kemampuan masing-masing, sementara meninggalkan larangan itu sifatnya mutlak, tidak disesuaikan dengan kemampuan tiap orang!
Ahmad berkata,
Artinya,
“Sesungguhnya larangan itu lebih berat daripada perintah.” (Jāmi’ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam juz 1 hlm 255)
Coba tanyakan sejumlah pejabat, lebih sulit mana antara menyumbang harta untuk anak yatim, atau menghindar dari godaan uang suap?
Tanyakan kepada sejumlah artis, lebih sulit mana membangun masjid atau menutup aurat dengan sempurna?
Coba tanyakan kepada sebagian wanita, lebih sulit mana antara mengucapkan subhānallah ataukah menahan diri untuk menggunjing orang lain?
Coba tanyakan sebagian ustaz, lebih sulit mana antara baca kitab beberapa jam atau menahan godaan maksiat dari ukhti-ukhti yang mendekati (atau membuka diri) dengan smooth, “santun” dan elegan?
Memang, meninggalkan maksiat itu lebih berat daripada melaksanakan ketaatan.
Rasulullah ﷺ sendiri mengisyaratkan hal ini.
Saat beliau melarang sesuatu, maka beliau melarang secara mutlak. Tidak peduli dorongan syahwat pas lemah atau kuat, pas situasi mendukung atau tidak mendukung, pokoknya haram ya haram dan tidak ada pengecualian. Kalaupun boleh melakukan haram seperti makan babi misalnya, maka itu untuk menjaga nyawa saja, bukan dorongan syahwat untuk berlezat-lezat.
Tetapi saat memerintahkan sesuatu, beliau mengikatkan perintah itu dengan kemampuan (istiṭā‘ah). Artinya, melaksanakan perintah itu lebih ringan, lebih lembut dan lebih kondisional.
Seperti salat tadi. Memang hukum asalnya wajib berdiri, tapi jika tidak mampu ya duduk tidak mengapa. Jika tidak mampu ya berbaring dan seterusnya. Dalam kondisi memberatkan, perintah itu kadang diringankan seperti salat 4 rakaat yang boleh dijamakkan dan diringkas menjadi 2 rakaat. Bahkan dalam kondisi tidak mampu, perintah itupun bisa digugurkan! Misalnya seperti haji yang hukum asalnya wajib, tetapi jika tidak mampu maka gugur kewajiban. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Jika aku melarang kalian sesuatu maka jauhilah. Jika aku memerintahkan kalian sesuatu maka laksanakan semampu kalian.” (H.R. al-Bukhārī)
Seorang polisi bisa tahan dan tangguh bertahun-tahun meniti karir hingga mencapai pangkat tinggi tertentu, tapi menahan godaan berselingkuh dengan istri orang, dia menjadi lemah sehingga akhirnya dipecat secara tidak hormat.
Seorang jenderal bisa tahan dan tangguh mengukir prestasi dan karirnya sejak muda hingga mencapai jabatan tertinggi, tapi menahan nafsu untuk membunuh orang yang dijengkelinya dia gagal. Akibatnya hancur leburlah seluruh karirnya selama ini.
Dari sini wajar jika para ulama sampai mengatakan bahwa meninggalkan maksiat itu lebih besar pahalanya daripada melakukan ketaatan. Tentu saja ketaatan yang dimaksud di sini adalah ketaatan nawafil.
Malahan ada atsar yang mengajarkan bahwa amalan meninggalkan maksiat itu bisa membuat seorang hamba menyalip derajat hamba saleh yang lain yang amalannya adalah tekun beribadah.
Diriwayatkan Aisyah berkata,
Artinya,
“Barangsiapa ingin bahagia dengan menyalip ahli ibadah yang tekun, maka hendaknya dia menahan dirinya untuk melakukan dosa. Sebab tidak ada bekal terbaik saat menemui Allah selain sedikitnya dosa.” (al-Zuhdu li Ibn al-Mubārak hlm 22)
وكره إلينا الكفر والفسوق والعصيان
واجعلنا من الراشدين
21 Rabi’ul Akhir 1444 H/18 November 2022 pukul 10.29