Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Hājar, istri Nabi Ibrahmi adalah pribadi yang bisa diteladani muslimah dalam hal kesabaran serta ketabahan wanita yang dipoligami.
Normalnya wanita dipoligami sudah pasti berharap mendapatkan pembagian malam yang adil dari suaminya. Banyak wanita dipoligami yang menyimpan amarah, kecewa dan sakit hati kepada suami yang tidak bisa adil dan tidak becus membagi waktu untuk istri-istrinya. Mungkin juga marah, kecewa dan sakit hati kepada madunya yang dianggap mendominasi dan lebih “menguasai” suaminya.
Nah, Hājar ini hanya mendapatkan nikmat pembagian malam selama beberapa tahun saja.
Setelah itu Allah mengujinya dengan perpisahan dengan suaminya selama bertahun-tahun dan tidak tahu sampai kapan ujian itu berakhir.
Setelah dinikahi Nabi Ibrahim, lalu hamil Ismā‘īl lalu melahirkan dan masih dalam keadaan menyusui bayinya, Allah memerintahkan Nabi Ibrahīm supaya membawa Hājar dan putranya ke Mekah dan ditinggal di sana!
Berpisah tapi tidak dicerai!
Harus cari nafkah sendiri!
Menghidupi anak sendiri!
Mendidik anak sendiri tanpa peran suami secara langsung!
Namanya berpisah, berarti lenyap sudah harapan mendapatkan jatah bermalam.
Hājar harus sabar menerima ketentuan Allah itu sampai batas waktu yang belum diketahui.
Malahan, ada riwayat yang memberi kesan bahwa sampai Hājar wafat di Mekah, persatuan dengan Nabi Ibrahim belum terealisasi juga!
Rahimakillāh wahai Hajar.
Engkau dipoligami, berbahagia bersama suami “hanya” beberapa tahun, setelah itu diuji ketabahan dan kesabarannya puluhan tahun sampai wafatmu.
Adakah wanita yang dipoligami bisa mengambil ibrah dari ujian Allah kepada Hājar ini?
***
Hanya saja harus digaris bawahi, perpisahan Hājar dengan Nabi Ibrahīm adalah atas perintah Allah. Artinya ini adalah ujian yang tak terhindarkan dan harus dihadapi.
Adapun wanita yang dipoligami kemudian tidak mendapatkan jatah yang adil dalam pembagian waktu, maka dia berhak menuntut diganti jatah waktunya, bahkan berhak minta diceraikan jika itu menjadi masalah besar baginya.
Hanya saja, bisa jadi seorang wanita dinikahi lelaki saleh yang sudah berusaha menjadi suami yang baik dan selalu berusaha meningkatkan kualitas iman dan amalnya. Walaupun demikian, sebagai manusia biasa tentu sangat mungkin beliau melakukan kesalahan sesekali di sana dan di sini sehingga bersikap tidak adil dalam pembagian waktu atau dipandang kurang adil dalam membagi waktu.
Dalam kondisi seperti inilah seorang wanita layak untuk berteladan kepada Hājar yang diuji puluhan atau ratusan kali lebih berat daripada dirinya. Yakni diuji tidak punya waktu lagi bersama suami secara permanen padahal statusnya masih istri. Dia bisa mencoba lebih bersabar dengan kelemahan suaminya seraya terus mendoakannya. Juga masih bisa bersyukur karena walaupun tidak ideal mendapatkan jatah waktu, akan tetapi masih mendapatkan kenikmatan yang tidak didapatkan oleh Hājar dalam hal waktu dengan suaminya.
15 Zulhijah 1444 H/ 3 Juli 2023 pukul 09.42