Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara fenomena menarik tentang Bani Israel adalah kepercayaan mereka tentang nama Tuhan. Selama berabad-abad, hingga hari ini mereka TIDAK TAHU nama asli atau nama eksklusif (personal name) dari Tuhan yang mereka sembah.
Tentu jangan membayangkan yang demikian itu terjadi sejak zaman Nabi Musa. Kita yakin Nabi Musa pasti tahu nama Tuhan yang mengutus beliau dan tentu beliau juga mengajarkan nama tersebut kepada Bani Israel yang hidup di zaman itu. Al-Qur’an sendiri menceritakan dengan tegas bahwa Allah mengajarkan nama-Nya saat memanggil Nabi Musa di sebuah gunung untuk menerima wahyu pertama kali. Tetapi nampaknya seiring berjalannya dengan waktu, nama Tuhan yang asli itu lama-lama terhijab dari hati mereka. Tepatnya, kebutaan nama Tuhan yang asli ini terjadi sejak tahun 70 AD/masehi.
Di kitab Exodus/Keluaran 3: 13-15 ada narasi yang memberi kesan justifikasi ketidaktahuan Bani Israel terhadap nama Tuhan yang asli itu. Di sana diceritakan bahwa saat Nabi Musa dipanggil Allah ke gunung Horeb, beliau bertanya kepada Tuhan siapa nama-Nya agar bisa dikabarkan kepada Bani Israel, Tuhan menjawab “Aku adalah Aku”. Bibel terjemahan versi KJV (King James Version) mengungkapkannya dengan kalimat “I AM THAT I AM”. Jawaban demikian memberi kesan bahwa Tuhan memang sengaja menjaga namanya tetap rahasia dan selalu misterius.
Tentu saja ini adalah keyakinan batil dalam pandangan Islam, karena Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah itu memberitahukan namanya dengan jelas kepada Nabi Musa dalam peristiwa tersebut sebagaimana diceritakan dalam Surah al-Qaṣaṣ,
Artinya,
“Maka, ketika dia (Musa) mendatangi (api) itu, dia dipanggil dari pinggir lembah di sebelah kanan (Musa) dari (arah) pohon di sebidang tanah yang diberkahi. “Wahai Musa, sesungguhnya Aku adalah Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S. al-Qaṣaṣ: 30)
Malah kita bisa berhipotesis bahwa kisah dalam Exodus itu bisa jadi ini termasuk yang di-taḥrīf oleh lapisan intelektual Bani Israel sejak setelah tahun 70 AD demi memberi justifikasi ketidaktahuan karena sudah tidak tahu nama Tuhan yang asli.
Mereka bisa menulis nama Tuhan yang asli itu dalam bahasa Ibrani yaitu kombinasi huruf yud/yod, hei, vav, dan hei (יהוה). Empat huruf ini diistilahkan dengan sebutan The Tetragrammaton. Tetapi, kumpulan empat huruf ini hanyalah konsonan atau semivokal/harf illat. Belum ada vokalnya. Jika diberi berbagai penanda vokal yang disebut dengan istilah niqqūd dalam bahasa Ibrani (bahasa Arab menyebutnya harakat), maka empat konsonan itu bisa dibaca Yahveh, Yahova, Yehuva, dan lain-lain. Yang jelas, sejak tahun 70 AD, sudah tidak ada yang tahu bagaimana cara pelafalan orisinil dari tulisan tersebut.
Apologi yang biasanya dipakai untuk membenarkan ketidaktahuan nama Tuhan ini adalah ide kesucian Tuhan. Nama asli Tuhan dipandang terlalu suci sehingga Tuhan berkehendak untuk melindunginya dengan cara mencabut pengetahuan tentangnya. Lalu diciptakanlah syariat baru yang berbunyi, “Barangsiapa mencoba melafalkan empat huruf yang suci itu, maka dia dianggap melecehkan kesucian nama Tuhan dan dianggap telah menghina Tuhan! Kata mereka: “Mengetahui sifat Tuhan jauh lebih penting daripada nama-Nya yang asli, agar kita bisa meniru sifatnya. Nama apapun yang kita panggil, Dia pasti tahu dan pasti menghargai kita selama kita tulus menyembah-Nya.”
Kemudian mereka menciptakan nama baru untuk menyebut Tuhan. Mereka memakai kata Elohim (Tuhan), Adonay (Tuan), atau Hāsyīm (Sang Nama). Di manapun di kitab suci saat mereka menemukan The Tetragrammaton, maka mereka akan membacanya dengan nama-nama pengganti ini.
***
Mengapa mereka seakan-akan sengaja dihijab Allah untuk mengetahui nama-Nya?
Dalam Al-Qur’an Allah menceritakan bagaimana Bani Israel mensifati Allah sebagai kikir, miskin, punya anak bernama Uzair, dan lain-lain. Di Talmud bahkan mereka menggambarkan Allah bermain-main dengan ikan paus dan menari bersama Hawa!
Maha Suci Allah dari segala apapun yang mereka deskripsikan!
Subḥanallāhi ‘ammā yaṣifūn!
Jika seperti ini watak mereka, maka hukuman yang pantas jika mereka dihijab sehingga tidak dizinkan untuk mengetahui nama Allah Yang Maha Suci.
Jika terhijab dari nama-Nya adalah jenis hukuman, maka itu adalah hukuman di dunia yang mengerikan. Jika nama yang benar saja tidak tahu, bagaimana bisa mengenal-Na lebih dalam lalu menyembah-Nya dengan benar?
Pelajaran penting bagi umat Islam: Jika tidak ingin kita dihijab dari nama-Nya, sekali-kali jangan meniru sifat Bani Israel yang tidak sopan kepada Allah. Sekali-kali jangan pernah mensifati Allah dengan sifat yang tidak menghormati-Nya. Atau menyebut nama Allah dengan tanpa penghormatan sama sekali. Apalagi dipakai bercanda atau nyinyir. Baik dalam diskusi maupun pembicaraan sehari-hari. Sekali-kali jangan mensifati Allah dengan sifat-sifat yang berasal dari gambaran khayal kita atau gambaran keinginan kita. Jangan pula melakukan berbagai kemaksiatan Bani Israel yang diceritakan dalam Al-Qur’an yang membuat mereka dicap Allah sebagai kaum yang dimurkai oleh-Nya.
Dari sini juga terasa betul betapa sabarnya Allah dan betapa pengasihnya Dia saat memberi kesempatan kembali kepada Bani Israel supaya beriman kepada Rasulullah ﷺ untuk memperoleh kembali pengetahuan yang benar tentang Allah.
Tapi sayang. Bani Israel sudah diberi kesempatan, tetapi malah memilih dunia dan memilih kufur lalu mengingkari Nabi Muhammad ﷺ. Akhirnya Allah mengunci mati hati mereka, mencap mereka sebagai bangsa yang menutup diri dan menyegel nasib mereka di neraka, kekal selamanya di dalamnya.
2 Muharram 1445 H/ 20 Juli 2023 pukul 12.27