Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Selain menyebut Ibnu ‘Arabī sebagai syaikh bejat dan penghalal zina, ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām juga menilai Ibnu ‘Arabī sebagai każżāb/pendusta.
Mengapa kok sampai disebut pendusta juga?
Kejadian apa yang membuat Ibnu ‘Arabī dinilai ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām sebagai pendusta?
***
Patut dicatat, seorang ulama besar ketika menilai sesuatu terkait tokoh itu tidak mungkin asal bunyi. Sudah pasti ada bukti meyakinkan sebelum memberikan vonis. Sebab ini terkait kehormatan muslim yang haram untuk dilanggar. Jika faktanya Ibnu ‘Arabī bukan pendusta, lalu sampai dinilai pendusta, maka itu bermakna ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām telah memfitnahnya. Fitnah seperti ini disebut dalam dalil dengan istilah buhtān (البهتان). Dosanya jauh lebih besar daripada dosa gibah. Fitnah termasuk kabā’ir/dosa besar. Seperti orang-orang munafik yang memfitnah Aisyah telah berzina dengan Ṣafwān bin al-Mu’aṭṭal. Ini dosa besar yang membuat Allah murka sampai Allah menurunkan ayat khusus untuk membela Aisyah dan menghukum para penyebar fitnah itu dengan hukuman cambuk 80 kali.
Jadi, menilai buruk seorang muslim harus didasarkan hujah kuat yang bisa dipertanggungjawabkan di hadapan Allah di hari penghisaban kelak. Sebab memvonis buruk adalah tindakan yang keluar dari hukum asal, yakni kewajiban membela kehormatan muslim. Dengan asas fikir seperti ini kita bisa memahami mengapa ulama hadis sebesar al-Bukhārī demikian berhati-hati saat menilai para perawi. Karena kita tahu semua perawi hadis pastilah ulama. Jika sampai dinilai “hafalannya buruk”, “lemah”, “lemah sekali”, “pendusta” atau “pemalsu hadis”, maka sudah pasti ada hujah pasti yang melatar belakanginya, walaupun para kritikus hadis tersebut tidak menjelaskan detail alasan vonis tiap-tiap perawi.
Oleh karena itu, bagi ulama sebesar ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām yang disebut sudah mencapai derajat mujtahid, sungguh mustahil dan tidak masuk akal jika beliau serampangan memvonis Ibnu ‘Arabī sebagai każżāb/pendusta. Sudah pasti beliau punya hujah pasti yang melatarbelakanginya walaupun beliau tidak menjelaskan panjang lebar alasan vonis tersebut.
***
Hanya saja, ada riwayat yang cukup lugas menjelaskan alasan ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām memvonis Ibnu ‘Arabī sebagai pendusta. Alasan tersebut ringkasnya adalah sebagai berikut.
Ibnu ‘Arabī dengan akal filsafatnya berpendapat mustahil dan tidak mungkin ada manusia yang menikah dengan jin. Sebab menurutnya, jin itu materi halus sementara manusia adalah materi kasar. Mustahil ada persetubuhan dan percampuran di antara keduanya.
Anehnya, suatu hari saat Ibnu ‘Arabī terluka di bagian wajah atau kepalanya, ia mengaku bahwa itu adalah hasil bertengkar dengan istrinya. Dia mengaku menikah dengan jin wanita, lalu punya tiga anak. Lalu suatu hari bertengkar dengan istri jinnya, kemudian sang istri marah dan memukul Ibnu ‘Arabī dengan tulang yang mengakibatkan luka pada wajah atau kepalanya itu!
Pengakuan seperti inilah (dan mungkin banyak lagi kisah serupa yang tidak diriwayatkan) yang membuat ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām tegas menilai Ibnu ‘Arabī sebagai pendusta. Karena mustahil punya 3 anak dalam waktu singkat. Juga kontradiktif dengan pendapatnya. Di satu sisi menolak kemungkinan perkawinan manusia dengan jin, lalu di kesempatan yang lain mengaku menikah dengan jin!
Saat ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām ditanya oleh ‘Ibnu Daqīq al-īḍ apa iya Ibnu ‘Arabī juga seorang każżāb/pendusta, maka Sang Sulṭānul ‘Ulama ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām menjawab,
Artinya,
“Ya (Ibnu ‘Arabī memang seorang pendusta). Suatu hari kami berdiskusi di masjid Jāmi’ di Damaskus tentang pernikahan dengan gadis jin. ‘Ibnu ‘Arabī berkata, ‘Ini asumsi mustahil karena manusia adalah materi kasar sementara jin adalah roh halus. Tidak mungkin materi kasar akan menggauli roh halus’. Tak lama kemudian, saya melihat ada luka pada wajah/kepalanya. Lalu aku menanyainya kenapa itu. Dia menjawab, ‘Aku menikah dengan wanita jin lalu aku punya 3 anak darinya. Kebetulan suatu hari kami berdebat lalu aku membuatnya marah. Lalu dia memukulku dengan tulang hingga menimbulkan luka pada wajah/kepalaku ini. Akupun pergi dan tidak pernah bertemu lagi dengannya setelah itu.” (al-‘Iqdu al-Ṡamīn, 2 hlm 289)
Al-Żahabī menafsirkan kisah ini sebagai jenis khayalan neurosis Ibnu ‘Arabī sebagai akibat laku sufi yang mengakibatkannya seperti setengah gila.
22 Februari 2024/ 12 Sya’ban 1445 H pukul 09.19