Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Hadirnya seorang mujtahid di tengah-tengah kaum muslimin di satu zaman itu adalah rahmat dan nikmat besar dari Allah kepada hamba-hambaNya yang butuh bimbingan.
Terutama sekali jika muncul satu tokoh yang kontroversial atau membingungkan atau samar hakikatnya.
Sebab, tidak mungkin orang awam itu dituntut untuk mengkaji detail sebuah paham sebelum menilai tokoh atau kelompok. Itu sungguh di luar kemampuan mereka.
Untuk memahami kebatilan Syiah, orang awam cukup berpegang kepada penilaian mujtahid mutlak semisal al-Syāfi‘ī yang mengatakan bahwa syiah itu ahlul bid’ah, ahli dusta dan “syarru ‘iṣābah” (kelompok terburuk).
Tidak perlu para awam dituntut untuk mengkaji kitab-kitab Syiah yang jumlahnya ribuan sebelum menentukan sikap terhadap syiah. Atas nama obyektivitas dan sikap fair misalnya. Sebab, itu mustahil dan tidak mungkin Allah membebani hambaNya di luar kuasanya. Ajakan obyektif kepada orang awam itu hanya retorika yang tidak ada realitanya. Yang bisa diajak obyektif dan mengkaji pemikiran langsung dari sumber primer hanya mujtahid, atau ulama yang berspesialisasi pada faham yang hendak dinilai tersebut.
Jadi, para mujtahid adalah hujjah Allah di muka bumi setelah Rasulullah ﷺ wafat, yang dengan mereka para awam diperintahkan untuk bertanya dan bersikap terkait tokoh atau aliran sesat.
***
Demikian pula sikap terhadap Ibnu ‘Arabī.
Mustahil para awam dituntut mengkaji al-Futūhāt al-Makkiyyah, Fuṣūṣ al-Ḥikam dan semua kitab-kitab Ibnu ‘Arabī yang konon berjumlah 800 lebih (atau 150-an yang ditemukan sebagaimana hitungan Brockelmann) itu.
Oleh karena itu, jika para awam kaum muslimin bertaklid kepada ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām saat menilai Ibnu ‘Arabī, maka itu adalah taklid yang sah, syar’i dan sudah sesuai dengan jalan hidup generasi saleh sejak zaman nabi, Sahabat, Tabi’in, tabi’ut tabi’in dan generasi selanjutnya.
Sebab, ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām telah mencapai derajat mujtahid sebagaimana ditegaskan oleh muridnya yang bernama Ibnu Daqīq al-‘īd dan ulama yang lainnya. Jadi, beliau bisa menjadi hujah Allah di muka bumi bagi para awam yang tidak sanggup meneliti pelik-pelik persoalan dalam din.
Al-Żahabi menukil ucapan beliau sebagai berikut,
Artinya,
“Beliau (‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām ) berkata tentang Ibnu ‘Arabī: Syaikh bejat, pendusta, berpendapat alam itu qadim dan tidak mengharamkan kemaluan wanita-ajnabi-” (Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 23 hlm 49)
Jadi, walaupun ada nama-nama besar yang membela Ibnu ‘Arabī semisal al-Haitamī, al-Suyūṭī, al-Yāfi‘ī dan lain-lain, namun jika berhadapan dengan pendapat mujtahid seperti ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām, maka yang lebih bertakwa adalah mengikuti nasihat ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām. Sebab ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām telah mencapai derajat mujtahid, sementara para pembela Ibnu ‘Arabī belum mencapai derajat mujtahid.
Jika dalam satu kasus ada sejumlah mujtahid yang berbeda pendapat, maka orang awam dituntut memilih mujtahid yang dipandangnya lebih berilmu dan lebih bertakwa. Sebagaimana di zaman tābi’in jika orang mengetahui perbedaan pendapat antara Ibnu Mas’ūd dengan Abū Mūsā al-Asy’arī, maka mereka akan memilih pendapat Ibnu Mas’ūd karena beliau dipandang lebih berilmu daripada Abū Mūsā al-Asy’arī.
Ini contoh mentarjih perkara dalam din bagi orang awam memakai murajjiḥ syar’ī.
29 Februari 2024/ 19 Sya’ban 1445 H pukul 08.19