Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Satu pertanyaan yang cukup mengganggu terkait pemikiran Nur Muhammad kira-kira begini,
“Jika benar pemikiran Nur Muhammad itu asalnya adalah gagasan emanasi dalam filsafat Neoplatonisme, yang kemudian diadopsi oleh Kristen untuk mengonstruksi keilahian Yesus, lalu diadopsi Syiah Rafidah Bāṭiniyyah kira-kira abad ke 4 H, lalu dipopulerkan al-Ḥallāj, lalu ditempa oleh Ibnu ‘Arabi dengan filsafat, bagaimana bisa ada sebagian ulama-ulama sunni yang terpengaruh olehnya?”
Ini benar-benar pertanyaan menarik dan saya belum tahu ada ulama yang membahasnya hingga hari ini.
***
Teori atau hipotesis saya begini,
Bagi akal-akal cerdas, filsafat adalah “mainan” yang sangat menarik.
Kita bisa mencoba meraba nikmatnya masuk pemikiran itu dengan melihat bagaimana pernyataan al-Gazzālī yang terihat begitu excited saat masih terjun di dunia itu.
Sayangnya, orang yang sudah masuk ke sana, tidak semua sanggup keluar dengan bersih dan selamat.
Akal-akal jenius seperti al-Syāfi‘ī atau Abu Hanifah masih punya kemampuan demikian, yakni sanggup keluar dari jeratan nalar filsafat dengan bersih dan selamat. Buktinya dengan mudah beliau membungkam lelaki ahli filsafat bernama Hafs al-Fard (حَفْصُ الْفَرْدُ) saat berdebat dalam ilmu kalam memakai nalar filsafat. Ini menunjukkan al-Syāfi‘ī sudah menguasai ilmu tersebut sebelum terjun ke fikih.
Tapi akal yang levelnya belum mencapai akal al-Syāfi‘ī, nampaknya agak kesulitan benar-benar membuangnya. Seperti al-Gazzālī. Walaupun beliau bisa digolongkan manusia jenius juga, tetapi murid beliau sendiri yang bernama Ibnu al-Arabi (bedakan dengan Ibnu Arabi sufi yang tanpa alif lam) bersaksi bahwa sang guru ingin memuntahkan filsafat seluruhnya, tetapi gagal.
Karena itulah kita masih merasakan bagaimana gaya tulisan dan cara bernalar al-Gazzālī dalam beberapa kitab masih kental nuansa filsafatnya.
Adapun yang akalnya di bawahnya lagi , maka itu lebih sulit lagi untuk benar-benar lepas.
Orang ketika masuk ke filsafat, setelah melalui proses berpikir, mengonstruksi konklusi dari premis-premis, terkadang sampai pada satu kondisi di mana dia sangat meyakini kesimpulannya seperti keyakinan dia bahwa 2+2 adalah 4 dan bahwa api itu panas. Oleh karena itu, terkadang secara tidak sadar ia mendahulukan akalnya daripada wahyu. Lalu jika bertentangan dengan sengaja dia akan menakwil wahyu supaya sesuai dengan akalnya.
Mereka sering keseret menjustifikasi pikiran filsafat dengan dalil, yang bahkan selevel al-Gazzālī sekalipun terkadang tidak sanggup keluar darinya. Ibnu al-Ṣalāḥ berkata,
Jadi, sekali lagi, orang yang terjun ke filsafat dan terbiasa memakai nalar filsafat, sudah terbelenggu nalar silogisme dalam segala hal, sungguh tidak mudah baginya untuk memuntahkannya secara total dan melepaskan diri sepenuhnya darinya. Al-Ẓahabī berkata,
Ibnu Taimiyyah juga berkata,
Ibnu Taimiyah saja yang sangat kritis dengan filsafat sangat terlihat bagaimana pengaruh pembahasan filsafat saat menerangkan sifat Allah dan membantah kelompok yang beliau pandang menyesatkan. Sehingga saat Ibnu Taimiyyah muncul dengan gaya filsuf karena ingin membantah pemikiran kalam, seakan-akan hilang semua gaya nalar tasyri’i beliau sebagaimana yang dicontohkan al-Syāfi‘ī dalam al-Umm misalnya.
Seperti inilah kira-kira yang terjadi pada sebagian ulama Sunni yang mempercayai pemikiran Nur Muhammad atau terfitnah dengannya walaupun sudah terbukti tidak ada satu pun dalil dalam Al-Qur’an maupun Sunah yang bisa membenarkan pemikiran tersebut sebagai akidah. Akhirnya mereka rela memunguti hadis-hadis palsu dan riwayat-riwayat daif demi menjustifikasi keyakinan batil tersebut.
Jadi, yang terpengaruh gagasan Nur Muhammad adalah yang pernah terjun ke filsafat atau kagum dengan ulama yang pernah terjun ke filsafat.
***
Memang betul ada beberapa ulama Sunni yang terkesan membenarkan pemikiran Nur Muhammad. Misalnya Ibnu Hajar al-Haitamī sebagaimana tampak dalam fatwa beliau. Juga Mulla ‘Alī al-Qāri sebagaimana tampak dalam sebagian syarahnya. Juga al-‘Ajluni dalam Kasyful khafa’.
Tapi saya memberi uzur kepada beliau-beliau karena mereka bukan konseptor, tapi hanya terpengaruh. Nampaknya terjun dalam filsafat membuat susah lepas untuk memuntahkan pemikiran rusak demikian,
Saya memandangnya sebagai di antara zallah ‘alim yang semoga Allah menguburnya dengan jasa mereka yang lebih banyak untuk umat Islam.
Termasuk para kyai, gus dan para ulama lokal yang diketahui seperti membenarkan gagasan Nur Muhammad. Saya berhusnuzan beliau-beliau belum sempat meneliti mendalam sejarah pemikiran ini, dampak-dampaknya dan konsekuensinya yang sangat berbahaya.
***
Inilah hipotesis saya mengapa sebagian ulama Sunni bisa terjatuh dalam pemikiran semisal Nur Muhammad.
Mustahil orang yang dominan ilmu riwayatnya dan kuat nalar tasyri’i-nya semisal an Nawawi dan al-Syāfi‘ī akan menerima paham semisal Nur Muhammad ini.
30 Agustus 2024 / 25 Safar 1446 pada 14.17