Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Untuk memahami makna sebuah lafaz secara akurat dalam sebuah dalil, maka urut-urutannya adalah sebagai berikut.
- Pertama, makna syar’i / haqiqoh syar’iyyah (الحقيقة الشرعية)
- Kedua, makna urfi / haqiqoh urfiyyah (الحقيقة العرفية)
- Ketiga, makna lughowi / haqiqoh lughowiyyah (الحقيقة اللغوية)
Maksudnya begini.
Jika kita bertemu sebuah lafaz yang “muhtamal” (memiliki kemungkinan makna lebih dari satu) dalam sebuah dalil, maka pertama-tama kita harus memaknai lafaz itu dari makna syar’inya dulu. Jika dimaknai secara syar’i tidak mungkin, maka kita pindah ke urutan berikutnya yaitu makna urfi. Jika dimaknai secara urfi juga tidak mungkin, maka kita berpindah ke makna berikutnya yakni makna lughowi. Jadi, jangan langsung dimaknai secara lughowi atau suka-suka dalam memaknai dan pilih-pilih sesuai selera. Memaknai sebuah lafaz “muhtamal” dalam nash harus dimaknai dulu secara syar’i selama ada makna tersebut dan jika tidak ada atau tidak mungkin karena qorinah menunjukkan ketidakmungkinan itu, barulah berpindah kepada pemaknaan urfi dan berlanjut ke pemaknaan lughowi sebagai alternatif terakhir.
Maksud dari makna syar’i adalah makna yang dikenalkan oleh syara’, baik dinyatakan dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah.
Yang dimaksud makna ‘urfi adalah makna tradisi, yakni makna istilah dalam bahasa yang dipakai sebagai makna populer dan mengalahkan makna aslinya. Adapun makna lughowi, maka yang dimaksud adalah makna bahasa, yakni makna asli sebuah lafaz yang dikenal oleh penutur bahasa.
Contoh penerapan kaidah urut-urutan di atas adalah sebagai berikut.
Misalnya kita bertemu ayat berikut ini,
“Dirikanlah salat”
Dalam ayat di atas kita diperintahkan Allah untuk mendirikan salat.
Pertanyaannya, “Apa makna salat (الصَّلَاة) dalam ayat di atas?”
Nah di sini bisa kita praktekkan kaidah tiga urutan yang dijelaskan sebelumnya. Aturan kaidah pemaknaan lafaz dalam dalil adalah pertama-tama sebuah lafaz harus dimaknai dengan makna syar’inya. Lafaz “ash-sholah” secara bahasa bermakna “doa”. Adapun secara syar’i, maknanya adalah “perbuatan ibadah yang mengandung doa yang diawali takbir dan diakhiri salam” sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ. Berarti lafaz “ash-sholah” itu memiliki makna syar’i dan makna lughowi.
Oleh karena aturan pertama adalah harus memaknai sebuah lafaz dalam dalil dengan makna syar’i, maka lafaz “ash-sholah” dalam ayat di atas wajib dimaknai “perbuatan ibadah yang mengandung doa yang diawali takbir dan diakhiri salam”. Dengan demikian, arti dari ayat di atas dalam bahasa yang panjang adalah “ Dirikanlah perbuatan ibadah yang mengandung doa yang diawali takbir dan diakhiri salam (sebagaimana yang dicontohkan Muhammad ﷺ utusan-Ku)”. Inilah cara pemaknaan yang benar. Sudah tidak boleh ayat di atas dimaknai secara bahasa sehingga perintah di dalamnya difahami “dirikanlah perbuatan berdoa”. Pemaknaan lafaz “ash-sholah” dengan makna bahasa akan mengakibatkan pelaksanaan ayat yang tidak sesuai dengan kehendak Allah dan mengacaukan pemahaman beragama. Bayangkan jika ada orang yang memaknai lafaz ‘ash-sholah’ di atas dengan makna berdoa saja. Bisa-bisa dia meninggalkan salat lima waktu karena dianggap tidak wajib dan mencukupan diri dengan “bersemedi” suka-suka dengan alasan berdoa. Kalau sampai dia menganggap salat 5 waktu tidak wajib, maka murtadlah dia dan keluar dia dari Islam.
Jika pemaknaan dengan makna syar’i tidak mungkin maka kita beralih pada urutan berikutnya, yakni pemaknaan dengan makna urfi. Misalnya kita membaca ayat berikut ini,
“(jika kalian sakit, atau safar) atau baru datang dari ‘gho-ith’ (lalu kalian hendak salat, maka berwudulah atau bertayamumlah jika tidak menemukan air)”
Dalam ayat di atas, jika kita mendatangi “gho-ith” (الْغَائِط) lalu ingin salat maka Allah memerintahkan kita untuk berwudhu. Jika tidak ada air, maka kita diperintahkan bertayamum. Pertanyannya, “Apa makna gho-ith?’ dalam ayat tersebut?”
Kita praktekkan dulu kaidahnya.
Langkah pertama adalah mencari tahu, adakah makna syar’i untuk gho-ith? Jawabannya adalah tidak ada.
Pencarian kita lanjutkan.
Adakah makna urfi dari “gho-ith”? Jawabannya adalah ada, yakni “tempat buang air”.
Adakah makna lughowi dari “gho-ith”? Jawabannya adalah ada, yakni “tempat yang rendah”.
Nah, oleh karena makna syar’i tidak ada, dan yang ada hanya makna urfi dan makna lughowi, sementara perintahnya adalah memakai makna urfi jika dimaknai dengan makna syar’i tidak mungkin/tidak ada, berarati lafaz “gho-ith” dalam ayat di atas harus dipahami sebagai “tempat buang air”.
Dengan demikian, dalam bahasa panjang, makna ayat di atas adalah “(jika kalian sakit, atau safar) atau baru datang dari ‘tempat buang air untuk melakukan buang air besar atau buang air kecil’ (lalu kalian hendak salat, maka berwudulah atau bertayamumlah jika tidak menemukan air)”.
Jadi, setiap kali buang air besar atau buang air kecil batal-lah wudhu kita sehingga kita harus wudhu atau tayammum sebelum melakukan salat. Inilah pemaknaan yang benar, yakni memaknai lafaz dengan makna urfi. Jangan lagi dimaknai secara lughowi, karena itu bisa menyesatkan. Sebab lafaz “gho-ith” secara lughowi bermakna “tempat rendah”. Adalah kesimpulan konyol dan menyesatkan jika akhirnya disimpulkan bahwa mendatangi tempat-tempat rendah seperti lembah, jurang, turun dari tangga, menggali sumur dan lain-lain itu bisa membatalkan wudhu.
Selanjutnya, jika makna syar’i dan makna urfi tidak mungkin dipakai dalam nash, maka barulah kita memakai pemaknaan yang ketiga (terakhir), yakni makna lughowi.
Contohnya saat kita membaca ayat berikut ini,
“Berikan ‘ash-sholah’ kepada mereka, sesungguhnya ‘sholah’-mu itu memberikan ketenangan kepada mereka”
Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan nabi Muhamamd ﷺ untuk memberikan “ash-sholah” (الصلاة) kepada orang-orang yang berzakat.
Kalau begitu, apa makna “ash-sholah” yang terkandung pada laafz “washolli” dan “sholataka” pada ayat di atas?
Dalam penjelasan sebelumnya telah diuraikan bahwa lafaz “ash-sholah” makna syar’inya adalah “perbuatan ibadah yang mengandung doa yang diawali takbir dan diakhiri salam” sementara makna lughowinya adalah “doa’. Dalam ayat ini, tidak mungkin lafaz “ash-sholah” dimaknai dengan makna syar’i dan juga tidak mungkin dimaknai dengan makna urfi karena memang tidak ada. Karena itu , lafaz “ash-sholah” dalam ayat ini harus dimaknai dengan makna dalam urutan ketiga, yakni makna bahasa yaitu “doa”. Dengan kata lain, makna ayat di atas adalah “Berikan doa kepada mereka, sesungguhnya doa-mu itu memberikan ketenangan kepada mereka”.
Inilah urut-urutan dalam memaknai sebuah lafaz dalam dalil. Jika urut-urutan ini ditaati, insya Allah tidak akan terjadi kekacauan dalam memahami dalil yang membingungkan awam dan dalam kondisi tertentu malah menajdi alat untuk menyesatkan awam. Az-Zarkasyi berkata,
“(dalam kondisi) Lafaz memiliki makna yang berputar di antara dua makna, yakni makna lughowi dan makna syar’i, maka makna syar’i lebih utama, kecuali jika qorinah/ indikasi menunjukkan bahwa yang disasar adalah makna lughowi. Seperti firman Allah, ‘Doakanlah mereka, sesungguhnya doamu adalah ketenangan untuk mereka’ Demikian pula jika lafaz itu berputar di antara makna lughowi dan urfi, maka makna urfi lebih utama karena itu yang sering terpakai dalam bahasa. Seandainya ada makna yang berputar di antara makna syar’i dan urfi, maka makna syar’i lebih utama karena syari’at lebih wajib (dilaksanakan)” (Al-Burhan fi Ulumi Al-Qur’an, juz 2 hlm 167)
Dewasa ini, ada banyak kata kunci dalam dien ini yang terkacaukan karena tidak difahami dengan urut-urutan di atas. Contoh kata-kata yang mengalami banyak distorsi dan pengacauan di antaranya misalnya istilah Islam, iman, kafir, munafik, ikhlas, sunnah, iblis, setan, dan lain-lain. Seandainya semua tertib memaknai lafaz dengan urutan di atas, niscaya kakacauan pemahaman dapat diminimalisasi. Dengan kata lain, konsepsi yang diuraikan dalam pembahasan ini adalah salah satu kajian epistemologis penting yang memiliki peran vital dalam membentengi umat dari pengacauan pemahaman kata-kata kunci dalam Islam dan penyesatan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab.
2 Comments
firdausq77@gmail.com
Assalamualaikum Ustaz Muafa.
Terima kasih banyak atas artikel-artikelnya yang bernas dengan rujukan yang sahih. Beberapa pekan ini saya banyak membaca artikel sampeyan. Syukron jaziilan.
Terkait artikel ini, memahami makna lafaz dalam dalil, benar-benar membuka mata saya. Bisakah Ustaz mengkaji artikel berikut yang melakukan kritik ilmiah terhadap terminologi “Ilah”, “ibadah”, “wasilah” yang selama ini kita pahami. Kritikan ini dialamatkan kepada trilogi tauhid dari teman-teman Salafi/Wahabi. Penulisnya adalah Syekh Thariq as- Sa’di. Kalau tidak salah, beliau punya nasab ke rasulullah.
http://www.ahlualhaq.net/arabic/councils/library/written/belief/ilahiyyah.html
http://www.ahlualhaq.net/arabic/councils/library/books/baraitualmoslimeen/main.html#_ftn5
Admin
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Alhamdulillah, saya gembira jika tulisan saya bermanfaat.
Terkait usulannya, untuk saat ini masih ada prioritas yang harus didahulukan.
Tapi terima kasih atas gagasannya dan akan didokumentasikan.
Oh ya, tautan yang disertakan di atas tidak bisa saya buka dan tidak bisa saya lihat isinya.