Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kaidah yang berbunyi Al-Maisur La Yasquthu Bi Al-Ma’sur (الْمَيْسُوْرُ لاَ يَسْقُطُ بِالْمَعْسُوْرِ) adalah kaidah fikih penting yang banyak diterapkan pada kasus-kasus rincian fikih dan menjadi solusi jitu yang syar’i terhadap terhadap banyak persoalan fikih.
Kaidah ini disebut sebagai kaidah fikih oleh banyak ulama, di antaranya As-Sayyid Al-Bakri dalam I’anatu Ath-Tholibin, Al-Juwaini dalam Ghiyatsu Al-Umam fi Iltiyats Azh-Zhulam, Al-Ghozzali dalam Al-Wasith, ‘Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowa’id Al-Kubro, ‘Ali As-Subki dalam Al-Ibhaj, Abdul Wahhab As-Subki dalam Al-Asybah wa An-Nazhoir, Az-Zarkasyi dalam Al-Mantsur fi Al-Qowa’id, Ibnu Al-Mulaqqin dalam Al-Asybah wa An-Nazhoir, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani dalam Fathu Al-Bari, As-Suyuthi dalam Al-Asybah wa An-Nazhoir, Zakariyya Al-Anshori dalam Asna Al-Matholib, ‘Amiroh dalam Hasyiyahnya, Syihabuddin Ar-Romli dalam Fatawanya, Al-Haitami dalam Tuhfatu Al-Muhtaj, Asy-Syirbini dalam Mughni Al-Muhtaj, Syamsuddin Ar-Romli dalam Nihayatu Al-Muhtaj, Al-Qolyubi dalam Hasyiyahnya, Al-Jamal dalam Hasyiyahnya, Al-Bujairimi dalam Hasyiyahnya, Muhammad Yasin Al-Fadani dalam Al-Fawaid Al-Jinniyyah, Muhammad Shidqi Al-Ghozzi dalam Al-Wajiz fi Idhohi Qowa’idi Al-Fiqh Al-Kulliyyah, dan lain-lain.
Adapun maknanya, maka penjelasannya adalah sebagai berikut.
Kata maisur (الْمَيْسُوْرُ) adalah bentuk mashdar yang memakai sighat isim maf’ul yang secara komunikatif boleh kita terjemahkan “(sesuatu) yang mudah”. Kata ma’sur (الْمَعْسُوْرُ) juga bentuk mashdar yang memakai sighat isim maf’ul yang bisa kita terjemahkan “(sesuatu) yang sulit”. Jadi secara harfiah, kaidah ini bermakna “Yang mudah tidak bisa gugur/digugurkan dengan yang sulit”.
Adapun dalam istilah Ushul Fikih, makna kaidah ini begini,
Sebuah perintah wajib, jika tidak bisa dilaksanakan secara sempurna, yakni hanya bisa dilaksanakan sebagian saja karena kelemahan/ketidakmampuan, maka kewajiban itu tidak menjadi gugur secara keseluruhan. Bagian yang sanggup dikerjakan tetap wajib dilaksanakan, sementara bagian yang tidak dimampu dikerjakan tidak wajib dilaksanakan alias gugur kewajiban melaksanakannya.
Contoh-contoh praktis praktek kaidah ini adalah sebagai berikut.
Ada muslim yang tidak mampu wudu dan tidak mampu tayamum karena tidak menemukan air dan juga tidak menemukan tanah. Dalam kondisi ini, tidak boleh diputuskan: Kewajiban salat gugur baginya. Yang benar: Salat tetap wajib baginya, yakni melakukan salat tanpa bersuci, tanpa wudu dan tanpa tayamum. Alasannya, sebuah kewajiban, jika tidak bisa dilaksanakan secara sempurna, maka tetap wajib melaksanakan mana yang bisa dan gugur kewajiban melaksanakan yang sulit. Kewajiban yang bisa dilaksanakan tidak bisa digugurkan hanya karena ada bagian dari kewajiban itu yang sulit dilaksanakan.
Contoh lain: Ada muslim yang lengannya terluka. Dia tidak mampu membasuh lengannya yang terluka itu saat wudu karena bisa berbahaya untuk kesehatannya. Dalam kondisi ini, tidak bisa dibenarkan diputuskan: Gugur kewajiban berwudu dan bisa langsung diganti tayamum.Yang benar; Basuhlah lengan yang tidak luka dengan air saat berwudu, kemudian bagian yang luka diperban untuk diusap air, setelah itu bertayamumlah untuk mengganti bagian luka yang tidak bisa diusap air.
Contoh lain: Ada orang baru masuk Islam. Dia belum hafal Surah Al-Fatihah, padahal membaca Al-Fatihah adalah wajib karena ia rukun salat. Dalam situasi ini tidak bisa diputuskan: Berarti kewajiban salat untuk sementara gugur bagi mualaf tersebut. Yang benar: Salat tetap wajib baginya dan dia dituntut membaca Al-Qur’an apapun yang ia hafal meski hanya satu ayat. Jika itu tidak mampu, maka dituntut membaca zikir pengganti tilawah.
Contoh lain: Seorang muslim tidak bisa melenyapkan pabrik miras di lingkungannya karena tidak punya kuasa. Dalam situasi ini tidak bisa disimpulkan: Berarti berarti gugur kewajiban nahi mungkar mencegah orang mabuk di lingkungannya karena percuma juga mencegah orang mabuk sementara induknya sendiri masih belum sanggup melenyapkannya. Ini keputusan keliru. Yang benar, jika ada tetangganya mabuk dan dia mampu mencegahnya tanpa ada mudorot yang lebih besar, maka wajib mencegahnya, meskipun belum mampu menghilangkan pabrik miras. Kewajiban menghilangkan pabrik miras selama belum mampu adalah gugur.
Contoh lain; Ada seorang muslim yang tinggal di Darul Kufur dan dia dihalangi untuk menjalankan kewajiban agama seperti haji atau salat jumat sementara dia juga tidak mampu berhijrah. Dalam kondisi itu tidak boleh disimpulkan: Berarti gugur semua kewajiban agama bagi dia. Yang benar: Dia wajib menjalankan semua kewajiban yang bisa dilakukan di negeri itu, sementara kewajiban yang ia tidak mampu gugur kewajibannya bagi dia.
Demikianlah pengertian kaidah ini dan contoh-contoh penerapannya. Tampak dari contoh-contoh di atas, sebagian besar kaidah ini dipraktekkan untuk pemecahan masalah-masalah yang terkait dengan hukum ibadah dan siyasah syar’iyyah (politik syar’i).
Kaidah ini kadang-kadang disebut dengan redaksi lain oleh sejumlah ulama. Di antara istilah lain untuk kaidah ini adalah; Al-muta’adzdzir yasquthu i’tibaruhu wa al-mumkin yustash-habu fihi at-taklif, al-maqdur ‘alaihi la yasquthu bisuquthi al-ma’juz ‘anhu, la wajiba ma’a ‘ajzin wala haroma ma’a dhoruroh, dan lain-lain. Kaidah ini juga beraroma senada dengan kaidah-kaidah semakna seperti prinsip taisir, rof’ul haroj, al-masyaqqoh tajlibu at-taisir, rukhshoh, dan semisalnya.
Secara implisit kaidah ini juga disebut Asy-Syafi’i dalam Al-Umm. Asy-Syafi’i berkata,
كُلُّ حَالٍ قَدَرَ الْمُصَلِّي فِيهَا عَلَى تَأْدِيَةِ فَرْضِ الصَّلَاةِ كَمَا فَرَضَ اللَّهُ تَعَالَى عَلَيْهِ صَلَّاهَا وَصَلَّى مَا لَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ كَمَا يُطِيقُ (الأم للشافعي (1/ 100)
Artinya,
“Semua kondisi dimana orang yang salat mampu melaksanakan kewajiban salat dalam kondisi tersebut sebagaimana yang diwajibkan oleh Allah ta’ala kepadanya maka dia melakukan salat seperti itu dan dia melakukan salat terkait yang ia tidak mampu sebagaimana ia mampu” (Al-Umm, juz 1 hlm 100)
Ibnu Taimiyyah menyebut kaidah ini dalam Majmu’ Al-Fatawa dengan ungkapan sebagai berikut,
إذَا أَمْكَنَ الْعَبْدَ أَنْ يَفْعَلَ بَعْضَ الْوَاجِبَاتِ دُونَ بَعْضٍ فَإِنَّهُ يُؤْمَرُ بِمَا يَقْدِرُ عَلَيْهِ وَمَا عَجَزَ عَنْهُ يَبْقَى سَاقِطًا (مجموع الفتاوى (26/ 187-188)
Artinya,
“Jika seorang hamba mampu melakukan sebagian kewajiban tetapi tidak mampu melakukan sebagian yang lain, maka dia diperintahkan untuk melaksanakan yang ia mampu sementara yang ia tidak mampu gugur kewajibannya” (Majmu’ Al-Fatawa juz 26 hlm 187-188)
Dalam pembahasan fikih dan Ushul fikih, mayoritas fukaha tidak membicarakan kaidah ini dalam satu bab khusus sebagai satu kaidah spesifik, tetapi biasanya dibahas di bawah pembahasan al-masyaqqoh tajlibu at-taisir atau at-taisir warof’ul haroj.
Adapun sumber dalil kaidah ini, maka itu didasarkan pada sejumlah ayat dan hadis Nabi ﷺ . Ayat-ayat yang menunjukkan kaidah ini adalah ayat-ayat berikut ini,
﴿ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا ﴾ البقرة: 233
Artinya,
“Setiap jiwa tidak dibebani kecuali sebatas kemampuannya”
﴿ حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ * فَإِنْ خِفْتُمْ فَرِجَالاً أَوْ رُكْبَانًا فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَمَا عَلَّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ ﴾ البقرة: 238- 239
Artinya,
“ Peliharalah semua salat dan salat wustha. Dan laksanakanlah (salat) karena Allah dengan khusyuk. Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan. Kemudian apabila telah aman, maka ingatlah Allah (salatlah), sebagaimana Dia telah mengajarkan kepadamu apa yang tidak kamu ketahui.”
﴿ فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ ﴾ التغابن: 16
Artinya,
“ Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu”
﴿ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ ﴾ البقرة: 185
Artinya,
“Allah menginginkan kemudahan untuk kalian dan tidak menginginkan kesulitan untuk kalian”
﴿ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ﴾ الحج: 78.
Artinya,
“Tidaklah Allah menjadikan kesulitan untuk kalian dalam agama”
﴿ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ ﴾ الأعراف: 157
Artinya,
“dan Allah membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka”
Adapun hadis-hadis Nabi ﷺ , ada sejumlah riwayat yang menunjukkan kaidah ini, yakni perintah melaksanakan kewajiban semampu kita dan bahwa kelemahan melaksanakan kewajiban tidak berarti menggugurkan kewajiban secara keseluruhan. Riwayat-riwayat tersebut adalah sebagai berikut,
فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ، وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» صحيح البخاري (9/ 94)
Artinya,
“Jika aku melarang kalian dari sesuatu maka jauhilah, dan apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.” (H.R.Al-Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ» صحيح البخاري (1/ 16)
Artinya,
“Dari Abu Hurairah bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya agama itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulit agama kecuali dia akan dikalahkan (semakin berat dan sulit). Maka berlakulah lurus kalian, mendekatlah (kepada yang benar) dan berilah kabar gembira dan minta tolonglah dengan Al Ghadwah (berangkat di awal pagi) dan Ar Ruhah (berangkat setelah zhuhur) dan sesuatu dari Ad Duljah (berangkat di waktu malam” )H.R.Al-Bukhari)
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ، فَقَالَ: «صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ» صحيح البخاري (2/ 48)
Artinya,
“Dari ‘Imrah bin Hushain radliallahu ‘anhu berkata: Suatu kali aku menderita sakit wasir lalu aku tanyakan kepada Nabi ﷺ tentang cara shalat. Maka Beliau menjawab: “Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan.” )H.R.Al-Bukhari)
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا هَذَا فَقَدْ قَضَى مَا عَلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ». صحيح مسلم (1/ 69)
Artinya,
“Abu Said berkata: “Sungguh, orang ini telah memutuskan (melakukan) sebagaimana yang pernah aku dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda: “Barangsiapa di antara kamu melihat kemungkaran hendaklah ia mencegah kemungkaran itu dengan tangannya. jika tidak mampu, hendaklah mencegahnya dengan lisan, jika tidak mampu juga, hendaklah ia mencegahnya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (H.R.Muslim)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ، فَقَالَ: إِنِّي أَجْنَبْتُ فَلَمْ أُصِبِ المَاءَ، فَقَالَ عَمَّارُ بْنُ يَاسِرٍ لِعُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ: أَمَا تَذْكُرُ أَنَّا كُنَّا فِي سَفَرٍ أَنَا وَأَنْتَ، فَأَمَّا أَنْتَ فَلَمْ تُصَلِّ، وَأَمَّا أَنَا فَتَمَعَّكْتُ فَصَلَّيْتُ، فَذَكَرْتُ لِلنَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلم، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيكَ هَكَذَا» فَضَرَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَفَّيْهِ الأَرْضَ، وَنَفَخَ فِيهِمَا، ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ (صحيح البخاري (1/ 75)
Artinya,
“Dari Sa’id bin ‘Abdurrahman bin Abza dari Bapaknya berkata: Seorang laki-laki datang kepada Umar bin Al Khaththab dan berkata: “Aku mengalami junub tapi tidak mendapatkan air?” Maka berkata lah ‘Ammar bin Yasir kepada ‘Umar bin Al Khaththab, “Tidak ingatkah ketika kita dalam suatu perjalanan? Saat itu engkau tidak mengerjakan shalat sedangkan aku bergulingan di atas tanah lalu shalat? Kemudian hal itu aku sampaikan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebenarnya cukup kamu melakukan begini.” Beliau lalu memukulkan telapak tangannya ke tanah dan meniupnya, lalu mengusapkannya ke muka dan kedua telapak tangannya.” )H.R.Al-Bukhari)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ المَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ، فَصَلَّى، فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَدَّ وَقَالَ: «ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ»، فَرَجَعَ يُصَلِّي كَمَا صَلَّى، ثُمَّ جَاءَ، فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «ارْجِعْ فَصَلِّ، فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ» ثَلاَثًا، فَقَالَ: وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالحَقِّ مَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ، فَعَلِّمْنِي، فَقَالَ: «إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ (صحيح البخاري (1/ 152)
Artinya,
“Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ masuk ke masjid, lalu ada juga seorang laki-laki masuk Masjid dan langsung shalat kemudian memberi salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab dan berkata kepadanya: “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Maka orang itu mengulangi shalatnya seperti yang dilakukannya pertama tadi kemudian datang menghadap kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan memberi salam. Namun Beliau kembali berkata: “Kembalilah dan ulangi shalatmu karena kamu belum shalat!” Beliau memerintahkan orang ini sampai tiga kali hingga akhirnya laki-laki tersebut berkata: “Demi Dzat yang mengutus Tuan dengan hak, aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari itu. Maka ajarkanlah aku!” Beliau lantas berkata: “Jika kamu berdiri untuk shalat maka mulailah dengan takbir, lalu bacalah apa yang mudah buatmu dari Al Qur’an” )H.R.Al-Bukhari)
Hanya saja, penerapan kaidah ini harus memenuhi sejumlah syarat.
Pertama: Ada uzur riil seperti sakit, lemah, bahaya, terhalang dan semisalnya. Uzur itu harus benar-benar ada dan riil. Tidak boleh masih berupa dugaan apalagi klaim
Kedua: Penerapan kaidah itu tidak boleh menghilanhkan maslahat yang lebih besar. Misalnya mengusap perban luka saat wudu, malah membuat luka makin parah. Dalam kondisi ini berarti perban tidak usah diusap dan cukup diganti tayamum
Ketiga: Bagian yang tidak bisa dilakukan tidak boleh memiliki badal. Jika ada badalnya, maka tidak bisa dipraktekkan kaidah ini. Contoh: Ada orang tua renta yang tidak bisa haji, tapi punya harta. Dalam kondisi ini, haji tetap wajib karena bisa menyediakan badal haji dengan hartanya. Contoh lain: Ada orang tua renta yang tidak bisa puasa tapi sanggup bayar fidyah. Dalam kondisi ini, ia wajib bayar fidyah. Contoh lain: Ada orang sakit yang tidak bisa pakai air, tapi bisa tayamum. Dalam kondisi ini dia wajib bersuci dengan tayamum. Contoh lain: Ada muslim yang tidak mampu membayar kafarat dengan membebaskan budak tapi dia bisa membayar kafarat dengan berpuasa. Dalam kondisi ini, dia wajib puasa.
Keempat: Bagian yang bisa dilakukan adalah ‘ibadah maqshudah. Jika bukan ibadah maqshudah maka ia menjadi gugur dan tidak wajib dilakukan. Contoh: Ada muslim yang bisa berpuasa sampai zhuhur, tapi tidak mampu sampai maghrib. Dalam kondisi ini, berpuasa sampai zhuhur gugur dan tidak wajib dilakukan karena bukan ibadah maqshudah, mengingat tidak ada syariat puasa hanya sampai zuhur. Contoh lain: Ada muslim yang mampu membabaskan sebagian budak untuk membayar kafarat karena bagiannya dalam budak tersebut hanya sebagian, tetapi dia tidak bisa membebaskan penuh seorang budak penuh karena ada kepemilikan bersama dengan sejumlah orang lain. Dalam kondisi ini gugur kewajiban membebaskan sebagian budak itu, karena membebaskan sebagian budak bukan ibadah maqshudah.
Kelima: Bagian yang bisa dilakukan itu bukan kewajiban pengiring (Accompanying obligations). Jika ia kewajiban pengiring, bukan kewajiban inti/utama, maka status kewajibannya gugur. Contoh; Ada muslim yang tidak bisa wukuf saat haji, tetapi bisa melempar jamroh dan bermalam di Mina. Oleh karena dua kewajiban itu sifatnya lawahiq maka statusnya gugur dan tidak wajib dilakukan.
Keenam: Bagian yang bisa dilakukan itu statusnya bukan wasilah semata. Jika ia hanya wasilah, maka bagian tersebut gugur kewajiban melakukannya. Contoh: Ada muslim bisu. Dia tentu saja tidak bisa membaca Al-Fatihah saat salat. Hanya saja, dia bisa menggerakkan lisan seolah-olah membaca Al-Fatihah. Dalam hal ini kewajiban menggerakkan lisan gugur karena ia hanya wasilah.
Wallahua’lam.