Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Dalam bahasa yang sederhana, biasanya mujtahid muthlaq (المجتهد المطلق) didefinisikan sebagai “Orang yang sanggup mengambil hukum sendiri langsung dari sumbernya”. Dengan kata lain, orang yang disebut mujtahid muthlaq adalah orang yang bisa menyimpulkan hukum sendiri langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tanpa bantuan dan bertanya kepada orang lain. Para ulama dalam banyak kitab ushul fikih telah menjelaskan panjang lebar syarat-syarat orang yang memenuhi kualifikasi sebagai mujtahid muthlaq, baik terkait dengan kompetensi keilmuan maupun moralnya. Hanya saja, di alam nyata, masih saja sering ditemui kekaburan dalam penerapan syarat-syarat tersebut. Akibatnya, terjadilah fakta menggelikan ketika sejumlah tokoh idola pada komunitas tertentu “dilantik” menjadi mujtahid muthlaq oleh sekumpulan orang awam pada komunitas tersebut, padahal faktanya tokoh yang bersangkutan sama sekali belum pantas untuk digolongkan mujtahid muthlaq. Jangankan mujtahid muthlaq, dimasukkan ke dalam mujtahid madzhab, atau mujtahid fatwa sekalipun masih belum pantas.
Berdasarkan alas fikir ini, menjadi penting untuk menampilkan secuil kecil alam pikir mujtahid muthlaq itu, agar paling tidak bisa tergambar seluas dan sedalam apa ilmu yang mereka miliki. Dengan begitu, orang yang merasa telah naik ke derajat mujtahid bisa lebih tahu diri. Orang awam yang gemar melantik tokoh yang dikaguminya sebagai mujtahid muthlaq juga diharapkan bisa berhenti dari sikap melampaui batasnya. Dengan begitu, tradisi ilmu di dunia Islam tidak akan dirusak dan otoritas ilmu tidak dikacaukan.
Yang saya jadikan contoh untuk dikaji alam pikirnya dalam tulisan ini adalah ulama yang sudah disepakati sebagai mujtahid muthlaq, yakni Al-Imam Asy-Syafi’i. Kita akan mencoba menyelami alam pikir beliau untuk mengukur apakah kita sudah sanggup mengikuti ketinggian berpikirnya ataukah belum. Jika kita sudah berhasil memahami alur pikir dan alam pikir Asy-Syafi’i pada salah satu pembahasan fikih beliau (meskipun hanya dalam gambaran umum), maka kita paling tidak juga bisa membayangkan kira-kira secerdas apa kapasitas intelektual yang dibutuhkan untuk menjadi mujtahid muthlaq, serta seluas dan sebanyak apa ilmu yang dibutuhkan untuk menghasilkan nalar fikih yang demikian kompleks, mendalam dan rumit sebagaimana yang dihidangkan oleh mujtahid muthlaq.
Ucapan Asy-Syafi’i yang saya jadikan contoh untuk dianalisis demi mencapai kepentingan ini adalah 3 kalimat saja yang beliau tulis dalam kitab “Al-Umm” pada bab faroidh/ ilmu waris. Asy-Syafi’i menulis,
Silakan dibaca paragraf di atas, jika perlu berulang-ulang.
Apa yang Anda pahami dan bisa Anda simpulkan?
Saya yakin, jika semata-mata mengandalkan kemampuan bahasa Arab saja (tanpa bantuan kitab-kitab ulama yang lain), seluruh tulisan Asy-Syafi’i di atas tidak akan bisa dipahami dengan utuh dan sempurna sebagaimana diinginkan oleh penulisnya.
Kalau begitu, apa maksud Asy-Syafi’i dengan tulisan di atas.
Berikut ini hasil kajian saya yang terbatas.
Pilihan kata “farodho” oleh Asy-Syafi’i dalam kalimat di atas merujuk kepada istilah ahli waris yang disebut para fuqoha’ dengan nama “ahlul faridhoh”/”ash-habul furudh”/”ash-habul faro-idh”/ “dzawul furudh”/”dzawul faroidh”. Bahkan, bisa jadi penyebutan inilah yang menginspirasi para fuqoha untuk menciptakan istilah-istilah tersebut.
Pilihan kata الْوَالِدَيْنِ وَالْإِخْوَةِ وَالزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ untuk formulasi rincian “ahlul faridhoh” menunjukkan Asy-Syafi’i paham betul ringkasan “ahlul faridhoh” yang memang terbatas pada 4 golongan itu. Lafaz “walidain” mencakup ayah, ibu, kakek dan nenek. Lafaz “ikhwah” mencakup saudari sekandung, saudari seayah, saudara seibu dan saudari seibu. Lafaz “zaujah” mencakup istri yang jumlahnya satu maupun lebih dari satu sampai maksimal empat.
Lafaz “mahjuban” adalah isyarat bahwa di antara “ahlul faridhoh” itu ada yang berpotensi gugur. Dengan lafaz ini pula, seakan-akan Asy-Syafi’i sekaligus ingin menunjukkan bahwa ahli waris itu ada yang kuat dan ada yang lemah. Yang kuat adalah yang tidak pernah gugur sama sekali (maksimal hanya berkurang jatahnya) dan yang lemah itu bisa gugur. Lafaz “mahjub” yang ditulis Asy-Syafi’i menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberi isyarat bahwa ahli waris itu bisa saja gugur dalam kondisi tertentu. Isyarat Al-Qur’an jika benar-benar diteliti memang ada yang menunjukkan kesimpulan ini. Siapapun yang memperhatikan serius lafaz “kalalah” dalam Surah An-Nisa’, niscaya akan menyimpulkan bahwa lafaz ini mengandung pengertian konsepsi “hijab” dan pengguguran ahli waris dalam kondisi-kondisi tertentu. As-Sunnah juga menguatkannya. Sejumlah hadis menegaskan bahwa di sana ada kondisi-kondisi tertentu yang menjadi “takhshish” keumuman lafaz dalam Al-Qur’an sehingga bisa disimpulkan kondisi-kondisi tersebut bisa menjadi “mawani’ waris” (penghalang-penghalang waris).
Penyebutan lafaz فَرَضَ اللَّهُ تَعَالَى مِيرَاثَ الْوَالِدَيْنِ وَالْإِخْوَةِ وَالزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ menunjukkan bahwa Asy-Syafi’i hanya berbicara kepada murid-murid yang telah hafal Al-Qur’an, memahami bahasa Arab dengan baik dan bisa diajak berfikir untuk beristidlal dengan ayat. Sebab, ketika Asy-Syafi’i berkata “farodhollhou ta’ala miirotsal walidain” lalu sang murid tidak teringat ayat “wa liabawaihi likulli wahidin minhumas sudus dan seterusnya …”, maka ia tidak akan bisa mencerna ucapan Asy-Syafi’i selanjutnya. Saat Asy-Syafi’i berkata “wal ikhwah” lalu sang murid tidak teringat ayat “kalalah”, maka ia tidak akan bisa mencerna ucapan Asy-Syafi’i selanjutnya. Saat Asy-Syafi’i berkata “waz-zaujah wazzauj” lalu sang murid tidak teringat ayat “walakum nishfu maa taroka azwaajukum dan seterusnya” maka ia tidak akan bisa mencerna ucapan Asy-Syafi’i selanjutnya. Jadi, tidak mungkin ucapan Asy-Syafi’i itu bisa dipahami dengan baik dan tercerna dengan sempurna oleh orang yang belum hafal sekaligus memahami ayat-ayat yang terkait dengan apa yang disebutkan Asy-Syafi’i.
Kalimat yang berbunyi فَإِنَّ ظَاهِرَهُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَرِثُوا وَغَيْرُهُمْ مِمَّنْ سُمِّيَ لَهُ مِيرَاثٌ إذَا كَانَ فِي حَالٍ دُونَ حَالٍ hanya mungkin dipahami oleh orang yang sudah paham ragam konsepsi “mawani’ dalam waris, mengerti dalil-dalilnya, juga hafal dalil-dalilnya. Juga mengerti kondisi-kondisi yang membuat ahli waris gugur atau berkurang jatahnya. Kalimat ini juga hanya mungkin dipahami jika orang sudah pernah belajar ushul fikih, mengerti posisi Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengerti pembahasan “am-khosh”, “mafhum-manthuq”, “mujmal-mufasshol” dan sebagainya.
Ini baru hasil kajian dan renungan saya. Itupun saya belum berani mengatakan bahwa pemahaman saya akurat 100 %. Tetapi, dari sini saja sudah kelihatan sedalam apa ilmu yang diperlukan untuk memahami alam pikir Asy-Syafi’i dalam kitab “Al-Umm”. Padahal ini baru memahami 3 kalimat saja! Saya perkirakan, jika semua kitab “muthowwal” Asy-Syafi’iyyah dibaca, maka insya Allah baru bisa memahami lebih akurat dan lebih detail semua yang ditulis Asy-Syafi’i dalam kitab “Al-Umm”.
Di antara fakta yang yang cukup mengguncang adalah, ada ribuan syarah fikih dalam khazanah fikih mazhab Asy-Syafi’i, tapi saya belum tahu satupun karya tertulis yang mensyarah kitab “Al-Umm”!
Ini contoh dari kitab “Al-Umm”.
Saya berikan contoh lain terkait memahami hadis.
Suatu saat, Rasulullah ﷺ bertemu adalah bocah kecil yang belum mumayyiz yang dijuluki Abu ‘Umair. Bocah kecil ini biasa bermain-main dengan jenis burung yang dalam bahasa Arab disebut “nughor”. Suatu saat, burung tersebut mati sehingga bocah itu bersedih. Lalu Rasulullah ﷺ bertanya kepada ibunya tentang penyebab kesedihannya dan ibunyapun menceritakan tentang kematian burung kesayangannya. Setelah mendengar jawaban itu Rasulullah ﷺ mencandainya dengan mengatakan “Hai Abu Umair, gimana nughoirmu?”. Al-Bukhari meriwayatkan,
Dengan membaca hadis di atas, kira-kira kesimpulan hukum apa yang bisa digali dan diistinbath darinya?
Di zaman ulama Asy-Syafi’iyyah yang bernama Ibnu Al-Qosh (abad ke-4 H), banyak orang yang berpandangan riwayat ini tidak ada gunanya diriwayatkan dan dihafalkan karena tidak ada nilai hukum apapun dalam ibadah maupun muamalah. Mereka menyangka bahwa riwayat ini hanyalah candaan biasa Rasulullah ﷺ dalam kapasitasnya sebagai manusia. Bahkan Ibnu Hajar Al-Asqolani menyebut, di zaman Ibnu Al-Qosh itu para ahli hadis dihina dan dicela karena mengajarkan hadis-hadis yang dianggap “mubazir” seperti itu. Ibnu Hajar Al-“Asqolani berkata,
“Ibnu Al-Qosh menulis pada bagian awal kitabnya bahwa ada orang yang mencela ahli hadits karena mereka meriwayatkan sejumlah riwayat yang tidak ada gunanya. Mereka mencontohkan riwayat yang (dengan kualifikasi) seperti itu (yakni dianggap tidak berguna) dengan hadits Abu Umair ini” (Fathu Al-Bari, juz 10 hlm 584)
Tapi benarkah persangkaan sebagian orang bahwa hadis ini memang sama sekali tidak mengandung pengertian hukum?
Jawabannya adalah, tidak benar.
Hadis ini jika direnungkan dengan serius justru akan menunjukkan sejumlah hukum-hukum penting, misalnya,
- Bolehnya bercanda
- Boleh mengulang-ulang canda dan bahwasanya itu ibahah sunnah, bukan rukhshoh
- Boleh mencandai anak yang belum mumayyiz
- Boleh berulang-ulang mengunjungi orang yang dicandai
- Bersikap penuh wibawa pada saat di jalan, dan bersikap humanis saat di rumah dengan bercanda
- Disyariatkan tawadhu’ sehingga tidak merasa rendah bercanda dengan anak kecil
- Bolehnya menilai dengan tanda-tanda yang terlihat oleh mata karena Rasulullah ﷺ melihat kesedihan Abu Umair yang tampak untuk memahami kesedihannya yang tersembunyi
- Bersikap lembut terhadap kawan baik besar maupun kecil
- Khobar ahad diterima, sebab yang menjawab penyebab kesedihan Abu Umair adalah satu orang
- Bolehnya memberi kuniah untuk anak kecil
- Dan lain-lain.
Ibnu Al-Qosh bahkan berhasil menemukan 60 kesimpulan hukum dari satu hadis kecil ini yang beliau tulis dalam satu karya khusus yang berjudul “Fawa-id Hadits Abi Umair”. Ibnu Al-Qosh berkata,
“…Di dalamnya terdapat 60 kesimpulan fiqih” (Fawa-id Hadits Abi Umair, hlm 13)
Jika kita kagum dengan Ibnu Al-Qosh karena bisa menggali 60 hukum dari hadis singkat seperti itu, maka tahan dulu.
Ibnu Al-Qosh sangat wajar bisa menggali kesimpulan hukum seperti itu karena beliau hidup pada abad ke-4 H, sudah meminum ilmu ulama-ulama pendahulunya dan madzhabpun sudah mulai memapankan diri dan mematangkan perkembangannya.
Yang lebih mengagumkan adalah Asy-Syafi’i, karena beliau sanggup mengistinbath 100 hukum dari satu dalil saja, dan itu tidak memerlukan bantuan siapapun. Artinya, kesimpulan hukum yang ditemukan Asy-Syafi’i adalah orisinil dan belum pernah dinyatakan oleh siapapun sebelum beliau. Seperti inilah kira-kira gambaran kualifikasi keilmuan mujtahid muthlaq itu. Al-Baihaqi meriwayatkan,
Artinya,
“Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam berkata, “ Abu Ubaid menurut kami bukan orang faqih”.
Aku (Sa’id bin Amr Al-Bardza’i ) bertanya, “Kenapa?’
Beliau menjawab, “Karena beliau hanya menghimpun pendapat para ulama lalu memilih satu pendapat untuk dirinya sendiri”
Aku bertanya, “Kalau begitu, seperti apa orang faqih itu?”
Beliau menjawab, (Orang faqih adalah) orang yang bisa menggali satu dalil/hukum dasar dari Alquran atau As-Sunnah yang belum pernah diungkapkan oleh siapa pun, kemudian dia merinci dari satu dasar dalil itu menjadi 100 cabang pembahasan”
Aku bertanya, “Siapa yang kuat untuk melakukan seperti ini?”
Beliau menjawab, “Muhammad bin Idris asy-Syafi’i radhiallahu anhu” (Manaqib Asy-Syafi’i Lil Baihaqi, juz 2 hlm 271)
Malahan, saya pernah membaca (saya lupa letaknya di mana. Insya Allah jika sudah ketemu akan saya update pada tulisan ini), Asy-Syafi’i pernah mengistinbath 300 hukum dari satu hadis saja! Ulama-ulama Asy-Syafi’iyyah di masa belakangan seperti As-Subki (atau ulama yang lain) mencoba menggali hukum dari hadis tersebut, tetapi hanya sanggup menemukan sekitar 80-an saja dan tidak sanggup mencapai 300 kesimpulan seperti yang ditemukan Asy-Syafi’i! Padahal As-Subki adalah As-Subki yang kedalaman serta keluasan ilmunya sudah kita ketahui bersama.
Kita bertanya sekarang, “Adakah orang pada zaman sekarang yang diulama’kan yang memiliki kemampuan seperti Asy-Syafi’i di atas?”
Silakan dicoba, jika belum ketemu. Syaratnya, tidak boleh mengkaji kitab ulama apapun. Hanya murni mengandalkan kajian terhadap Al-Qur’an, As-Sunnah dan kemampuan bahasa Arab yang kira-kira cara kerjanya seperti Asy-Syafi’i dalam menimba ilmu kemudian menyimpulkan hukum dari dalil secara langsung.
Jika merasa mustahil, maka sudah saatnya untuk tahu diri dan menempatkan diri serta orang lain sesuai kadarnya secara proporsional. Jangan sampai gampang menggelari diri atau seseorang dengan sebutan mujtahid, apalagi mujtahid muthlaq jika tidak paham maknanya.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين