Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Berdasarkan pelajaran dari kisah lelaki yang berwasiat supaya mayatnya dibakar dan ditaburkan abunya di lautan di atas, ada dua prinsip yang bisa digali.
Pertama, prinsip terkait memahami sifat Allah.
Kedua, prinsip terkait prioritas kajian ilmu tentang Allah.
Terkait hal pertama, penjelasannya begini.
Sesungguhnya ilmu-ilmu tentang Allah itu ada yang qoth’i dan ada yang zhonni. Contoh yang qoth’i adalah keyakinan bahwa Allah itu Esa, satu-satunya yang berhak disembah, berbeda dengan makhluk, Maha Pencipta dan semisalnya.
Contoh yang zhonni adalah ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan sifat Allah dengan redaksi yang mengesankan antropomorfis (seperti manusia) seperti ayat yang menyebut “wajah” Allah, “tangan” Allah, “betis” Allah, “kaki” Allah, “mata” Allah, Allah istiwa di atas Arsy, Allah “turun”, Allah “berlari”, Allah “tertawa”, dan lain-lain.
Ayat-ayat yang seperti itu tergolong ayat-ayat mutasyabihat. As-Suyuthi dalam Al-Itqon menegaskan bahwa ayat-ayat tentang sifat Allah adalah ayat-ayat mutasyabihat. Ibnu Al-Labban bahkan punya karya khusus tentang topik itu. Ibnu Taimiyyah juga setuju mengatakan bahwa sebagian ayat-ayat tentang sifat Allah adalah tergolong ayat mutasyabihat, hanya saja beliau menekankan bahwa yang dimaksud mutasyabihat adalah memahami hakikat kaifiyyahnya. Dalam tafsir Abdurrozzaq juga ada riwayat dari Ibnu Abbas yang menunjukkan bahwa dalil tentang sifat Allah yang terkesan antropomorfis itu memang termasuk mutasyabihat.
Prinsip terkait ayat mutasyabihat (termasuk ayat sifat yang terkesan antropomorfis) adalah diimani semuanya dari Allah sebagaimana yang diajarkan Allah dalam Al-Qur’an,
Artinya,
“Orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, ‘Kami beriman terhadap ayat-ayat itu, smeuanya dari Tuhan kami” (Ali Imran; 7)
Adapun makna tepatnya dan makna yang paling benar di sisi Allah, sudah tentu pasti ada satu. Hanya saja, mana makna yang paling benar hanya Allah yang tahu. Para nabi dan rasul juga termasuk hamba-hamba Allah yang jelas pasti tahu mana yang benar terkait ayat-ayat mutasyabihat itu. Adapun hamba-hamba Allah di kalangan ulama selain nabi, rasul dan para shahabat, kita tidak tahu (dengan pengetahuan yang sifatnya memastikan), mana penjelasan makna yang paling benar. Sejauh-jauhnya yang bisa kita lakukan adalah mencondongi dan menduga kuat bahwa penjelasan ulama tertentu adalah yang paling dekat dengan ilmu para nabi dan rasul dan yang paling dekat dengan yang dikehendaki oleh Allah. Tidak mungkin dipastikan. Sebab, tidak ada maknanya disebut ayat mutasyabihat jika semua maknanya jelas bagi semua orang tanpa ada perselisihan.
Berdasarkan alas pikir ini, jika ada perbedaan pendapat terkait upaya memahami sifat-sifat Allah yang terkesan antropomorfis, maka mestinya itu termasuk perkara yang bisa diharapkan dimaafkan Allah. Perbedaan pendapat itu, selama didasarkan pada kaidah ijtihad yang sahih, mengikuti kaidah-kaidah bahasa Arab murni, berusaha sedekat mungkin mengikuti saliqoh ‘arobiyyah yang dimiliki para Shahabat terkait cara berfikirnya, maka seyogyanya perbedaan itu ditoleransi. Ibnu Hajar Al-‘Asqolani berkata,
Artinya,
“Para ulama berkata, “Setiap orang yang melakukan takwil maka dia dimaafkan karena takwilnya itu. Dia tidak berdosa jika takwilnya itu bisa diterima menurut bahasa Arab dan memiliki sisi argumentasi yang bisa diterima dalam ilmu” (Fathu Al-Bari, juz 12 hlm 304)
Sikap lapang dada dan toleransi ini minimal dibangun atas tiga hal,
Pertama: Dalil-dalil tentang sifat Allah yang mengesankan antropomorfis sifatnya zhonni dalalah (memungkinkan dimaknai lebih dari satu) sehingga memungkinkan ada ijtihad lebih dari satu, sementara ada dalil umum yang memuji ijtihad, baik ijtihad salah maupun benar. Ibnu Taimiyyah berkata,
Artinya,
“Bahwasanya orang yang melakukan takwil yang mana maksudnya adalah untuk mengikuti Rasulullah ﷺ, maka dia tidak kafir bahkan dia juga tidak fasik jika berijtihad kemudian salah” (Minhaj As-Sunnah, juz 5 hlm 239)
Kedua: Ada jaminan dari Allah mengampuni semua khotho’ (kesalahan) orang beriman yang memohon ampun, selama itu memang tidak sengaja tanpa membedakan apakah itu dalam urusan hukum maupun furu’ kepercayaan. Informasi ini tercantum di akhir surah Al-Baqoroh. Jaminan ampunan seperti ini juga dinyatakan dalam hadis. Ibnu Taimiyyah berkata,
Artinya,
“Orang yang melakukan takwil dan salah maka ia dimaafkan berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Allah berfirman (menceritakan) terkait doa orang-orang mukmin, “Ya Allah janganlah engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah”. Telah valid dalam hadis sahih bahwasanya Allah azza wa jalla (mengabulkan doa ini dan) berfirman, ‘Aku mengabulkannya”. Dalam Sunan Ibnu Majah dan (kitab-kitab hadis) lainnya (ada riwayat bahwa ) Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah memaafkan dari umatku kesalahan dan kelupaan” (Minhaj As-Sunnah, juz 4 hlm 458))
Ketiga, hadis riwayat Muslim yang menceritakan lelaki yang jahil terhadap sebagian sifat Allah (karena menyangka Allah tidak Maha Kuasa sehingga berwasiat supaya mayatnya dibakar lalu ditaburkan di lautan) ternyata diampuni Allah.
Hanya saja, ijtihad itu disyaratkan adalah ijtihad yang lahir dari metode yang sahih. Bukan pemikiran yang lahir hanya karena ingin menjustifikasi pemikiran yang sudah diyakini sebelumnya. Dengan kata lain, ijtihad itu lahir dari upaya memahami nas apa adanya, bukan ingin mencari pembenaran terhadap pemikiran yang lahir bukan dari Islam yang disebut Al-Qur’an dengan sebutan ibtigho-al fitnah wab tigho-a ta’wilih. Semua pemikiran yang sifatnya mencari pembenaran adalah pemikiran hawa nafsu, bid’ah dan menyesatkan.
Salah satu prinsip utama dalam ijtihad sahih terkait ayat-ayat mutasyabihat ini adalah selalu mengembalikan pada ayat muhkamat semua ayat-ayat yang mutasyabihat. Dengan kata lain, semua hal yang zhonni dikembalikan pada dalil-dalil qoth’i sebagai pengontrol untuk menjamin pemahaman yang paling benar atau minimal diduga kuat mendekati kebenaran. Jika prinsip ini dilanggar, misalnya malah mengikuti makna muhtamal dari ayat mutasyabihat (yang belum tentu benar pemaknaannya seperti itu) seraya meninggalkan ayat yang muhkamat, maka sudah bisa dipastikan bahwa ijtihad/pemikiran itu adalah pemikiran yang batil.
Contoh pemikiran batil yang melanggar prinsip ini misalnya seperti ini,
Ada orang yang meyakini bahwa Isa/Yesus adalah anak tuhan. Doktrin ini ia anut selama bertahun-tahun dari lingkungannya tanpa berfikir lebih jauh. Lalu dia mendapati dalam Al-Qur’an ada pernyataan bahwa Al-Masih Isa adalah firman Tuhan yang dilemparkan kepada Maryam dan ruh Allah. Dengan begitu dia semakin yakin bahwa Isa/Yesus adalah anak Tuhan. Ayat yang dia maksud adalah ayat ini,
Artinya,
“Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan firman-Nya yang dilemparkan-Nya kepada Maryam, dan roh dari-Nya. (An-Nisa’; 171)
Ini adalah contoh pemikiran yang mengikuti hawa nafsu. Al-Qur’an dipakai justifikasi keyakinan awalnya yang sudah dianggap kebenaran mutlak. Dia lebih suka mengikuti ayat mutasyabihat seperti itu dan meninggalkan pernyatakan muhkamat yang menegaskan bahwa Nabi Isa adalah utusan Allah dalam ayat yang sama, bukan anak Tuhan. Ia juga mengabaikan ayat-ayat muhkamat yang menegaskan bahwa Nabi Isa itu hamba Allah biasa (bukan Tuhan atau anak Tuhan) dan seperti Adam dari sisi penciptaan tanpa ayah. Allah berfirman,
Artinya,
“Tidaklah dia (Isa) melainkan hamba yang Aku beri nikmat” (Az-Zukhruf; 59)
Artinya,
“Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka jadilah sesuatu itu.”
Dengan demikian cara pikir seperti itu sudah menabrak prinsip pertama ijtihad sahih, yakni mengembalikan semua ayat mutasyabihat pada ayat-ayat muhkamat.
Kriteria penting lain terkait ijtihad sahih adalah niat yang tulus ingin mengikuti Rasulullah, tidak menabrak Al Qur’an, tidak menabrak As Sunnah dan tidak menabrak ijmak.
Dari sinilah kembali saya menyerukan agar perselisihan antara asy’ariyyah dan salafiyyah/atsariyyah terkait sifat-sifat Allah yang terkesan antropomorfis itu tidak lagi dibesar-besarkan.
Saya belum mengetahui paham teologis dalam Islam yang ulama-ulamanya demikian berkah ilmunya, demikian banyak tokoh saleh yang memiliki karomah, dan demikian tersebar luas ilmunya selama berabad-abad secara lintas mazhab seperti ulama-ulama asy’ariyyah. Ada banyak di kalangan mereka yang menjadi ahli hadis, ahli fikih, dan pakar akidah yang selama berabad-abad berjibaku membentengi umat dari unsur-unsur eksternal yang merusak Islam dan kaum muslimin. Mustahil Allah akan menguatkan dan menolong din ini dengan sekelompok ulama yang berpaham bid’ah dan “calon” penghuni neraka. An-Nawawi adalah salah satu contoh terhormat ulama berpaham asy’ariyyah yang keutamaannya tidak mungkin diingkari lagi.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang inshaf, susah juga mengingkari jasa ulama-ulama salafiyyah/atsariyyah dalam menolong din ini di berbagai masa. Ada banyak di kalangan mereka yang menjadi ahli hadis, ahli fikih, dan pakar akidah yang selama berabad-abad berjibaku membentengi umat dari unsur-unsur eksternal yang merusak Islam dan kaum muslimin. Kelak di akhir zaman, saat fitnah Dajjal melanda, kaum yang paling susah ditaklukkan oleh Dajjal adalah Bani Tamim. Tidak mungkin orang susah ditaklukkan Dajjal kecuali memiliki akidah yang kuat. Fakta yang tidak mungkin Anda ingkari, pembawa panji dakwah tauhid yang menonjol dari Hijaz adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At-Tamimi dari Bani Tamim yang berpaham salafiyyah. Paham ini juga direpresentasikan oleh seorang ulama terhormat yang memiliki banyak karomah bernama Ibnu Taimiyyah. Mustahil jika Allah murka dengan paham ini, lalu dibangkitkan sejumlah hambanya yang punya pengaruh cukup besar dalam menjaga kemurnian din ini.
Sudah tentu di antara dua paham itu ada salah satu paham yang paling benar di sisi Allah. Menjadi hak juga bagi masing-masing orang untuk condong pada salah satu dari dua paham itu. Akan tetapi, dengan argumentasi-argumentasi yang telah dipaparkan sebelumnya, yang dikuatkan ayat-ayat kauniyyah terkait dua paham ini, sesungguhnya menjadi sikap yang bermartabat untuk berhusnuzhon terhadap dua paham ini.
Jadi dua paham ini jangan disamakan dengan paham-paham bid’ah seperti Mu’tazilah, Khawarij, Syiah, Qodariyyah, Jahmiyyah, Mujassimah, Musyabbihah dan semisal dengan mereka. Sebab, paham-paham ini lahir karena menjustifikasi keyakinan memakai dalil, bukan memahami dalil apa adanya dan tulus menasihati umat.
Ini jika mengasumsikan dua paham ini berbeda. Jika ternyata dua paham ini sebenarnya sama saja, yakni berusaha mengembalikan umat ke akidah para shahabat, tabi’in dan tabiut tabi’in, hanya saja dengan bahasa dan pendekatan yang berbeda, bukankah lebih tidak pantas lagi membenturkan mereka? Dengan kata lain, jika dua paham ini sebenarnya ikhtilafnya hanyalah lafzhi, apa faidahnya memperuncing perselisihan yang hanya malah menambah permusuhan dan memecah belah umat terutama kaum awamnya?
2 Comments
kinoynoy
tawfid ibnu taimiyah(salafi cs) beda dari tafwid maa tanjihnya ulama sebelum mereka dan mereka ulama yang berpandangan tanjihnya bila kaif .
itu terserah mereka .
yang saya heran kenapa mereka keras kepada sesama muslim menggap pendapa mereka paling bner yang salah dan mungkin disebut ahli neraka . dan kajianya gk jauh mengkafirkan menbidhkan dan mensunahkan pendapat mereka ?
Admin
Barangkali ada proses transfer pengetahuan yang eror pada satu masa kemudian diturunkan ke generasi selanjutnya dan berlanjut sampai hari ini. Wallahua’lam (Muafa)