Oleh: Ust. Muafa
Pertanyaan
Saya seringkali bingung jika harus menjalankan sholat di area kampus. Karena setelah seharian penuh kuliah dan belum mandi sore, saya terpaksa sholat dalam keadaan badan yang lengket dan baju yang terkena banyak debu saat beraktivitas. Pertanyaan saya Pak, apakah diperbolehkan sholat dalam keadaan badan dan pakaian yang kotor karena keadaan yang tidak memungkinkan untuk mandi dan ganti baju? Padahal yang saya tahu kebersihan diri dan pakaian merupakan salah satu dari syarat sahnya sholat. Terima kasih. Nimas Mustika Arrum/ Mahasiswi Teknik Industri/ Kelas G
Jawaban
Alhamdulillah, Wassholatu Wassalamu ‘Ala Muhammad Rasulillah.
Yang menjadi syarat sah shalat diantaranya adalah kesucian badan dan pakaian. Namun kesucian sedikit berbeda dengan kebersihan. Yang membuat badan dan pakaian menjadi tidak suci adalah benda-benda najis. Sesuatu dikatakan najis hanya jika ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan, maka benda tersebut tetap dihukumi suci meski manusia merasa jijik terhadapnya.
Atas dasar ini: darah, air kencing, kotoran manusia semuanya dihukumi najis karena ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Adapun ingus, sisa makanan dalam gigi, dan ludah semuanya dihukumi suci karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya.
Debu dan keringat bukan benda najis karena tidak ada dalil yang menunjukkan kenajisannya. Karena itu, badan yang “kotor” karena debu atau keringat, tetap dihukumi suci sehingga sah melakukan shalat dalam keadaan badan berkeringat (basah kuyup sekalipun) atau badan penuh debu.
Di zaman Rasulullah ,صلى الله عليه وسلم pakaian wanita panjang-panjang (sampai menyeret di atas tanah) karena mereka wajib menutup aurot dengan sempurna. Pakaian jenis ini menimbulkan masalah, yaitu: Apakah pakaiannya menjadi najis jika pakaian tersebut menyapu tempat-tempat berdebu, becek atau tempat yang kotor? Ternyata nabi menjawabnya: tetap suci, karena ketika wanita melewati tempat yang tidak kotor dan pakaiannya menyapu tempat tersebut, tempat yang bersih itu secara fikih mensucikan ujung pakaian yang terkena debu/kotoran itu. Abu Dawud meriwayatkan:
عَنْ أُمِّ وَلَدٍ لإِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَتْ إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ ».
dari Ummu walad Ibrahim bin Abdirrahman bin Auf bahwasanya dia pernah bertanya kepada Ummu Salamah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seraya berkata; Sesungguhnya saya seorang wanita yang memanjangkan ujung (bagian bawah) pakaianku dan berjalan di tempat yang kotor. Maka Ummu Salamah menjawab: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ia (bagian bawah pakaian yang kotor) tersucikan oleh tempat setelahnya (yang dilewati) “. (H.R. Abu Dawud)
Di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلم, kaum muslimin shalatnya memakai sandal dan masjidnya langsung tanah. Misalnya seperti yang tersirat dalam hadis berikut ini;
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَبَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
Dari Abu Sa’id Al-Khudri dia berkata; Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, tiba tiba beliau melepaskan kedua sandalnya lalu meletakkannya di sebelah kirinya. Sewaktu para sahabat melihat tindakan beliau tersebut, mereka ikut pula melepas sandal mereka. Maka tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai shalat, beliau bersabda: “Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal sandal kalian?” Mereka menjawab; Kami melihat engkau melepas sandal, sehingga kami pun melepaskan sandal sandal kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Malaikat Jibril ‘Alaihis Salam telah datang kepadaku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya.” Selanjutnya beliau bersabda: “Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah, jika dia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka bersihkan, dan shalatlah dengan sepasang sandalnya itu.” (H.R.Abu dawud)
Dengan kondisi seperti ini, pasti para shahabat shalat dalam keadaan tubuh dan pakaiannya “kotor” terkena debu. tentunya juga shalat dalam berkeringat ketika mereka terkena terik matahari saat datang ke masjid, terutama saat datang untuk shalat dhuhur dan ashar.
Bahkan ada hadis yang sangat jelas menunjukkan Rasulullah صلى الله عليه وسلم pernah shalat dalam keadaan dahi beliau terkena lumpur tempat sujud, karena tanah masjid waktu itu basah oleh air hujan. Imam Muslim meriwayatkan;
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوْسَطِ مِنْ رَمَضَانَ فَاعْتَكَفَ عَامًا حَتَّى إِذَا كَانَ لَيْلَةَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَهِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي يَخْرُجُ مِنْ صَبِيحَتِهَا مِنْ اعْتِكَافِهِ قَالَ مَنْ كَانَ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفْ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ وَقَدْ أُرِيتُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَقَدْ رَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ مِنْ صَبِيحَتِهَا فَالْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ وَالْتَمِسُوهَا فِي كُلِّ وِتْرٍ فَمَطَرَتْ السَّمَاءُ تِلْكَ اللَّيْلَةَ وَكَانَ الْمَسْجِدُ عَلَى عَرِيشٍ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فَبَصُرَتْ عَيْنَايَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى جَبْهَتِهِ أَثَرُ الْمَاءِ وَالطِّينِ مِنْ صُبْحِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ
dari Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ‘i’tikaf pada sepuluh malam pertengahan bulan dari Ramadhan lalu orang-orang mengikutinya. Hingga ketika malam kedua puluh satu, yaitu malam ketika Beliau kembali ke tempat i’tikaf Beliau, Beliau berkata: “Siapa yang telah beri’tilkaf bersamaku maka hendaklah dia beri’tikaf pada sepuluh malam-malam akhir. Sungguh aku telah diperlihatkan tentang malam Lailatul Qadar ini namun kemudian aku dilupakan waktunya yang pasti. Maka carilah pada malam sepuluh akhir dan carilah pada malam yang ganjil”. Kemudian pada malam itu langit menurunkan hujan. Pada waktu itu atap masjid masih terbuat dari dedaunan hingga air hujan mengalir masuk kedalam masjid. Kemudian mataku memandang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang pada dahi Beliau ada sisa air dan tanah liat, di waktu pagi, pada hari kedua puluh satu”. (H.R. Al-Bukhari)
Semua ini menunjukkan bahwa tanah, debu dan keringat bukanlah benda yang menajiskan. Sehingga tidak mengapa saudari shalat dalam keadaan tubuh berkeringat dan berdebu. Wallahua’lam.
Diunggah pertama kali disini