Oleh Ust. Muafa
Pernyataan Para Ulama yang Menunjukkan Rakaat Salat Malam Tidak Dibatasi
Sejumlah ulama semenjak zaman shahabat telah menegaskan bahwa rakaat salat malam, termasuk salat tarawih jumlahnya tidak dibatasi. Di antara mereka adalah Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan;
عَنْ أَبِي مِجْلَزٍ ؛ أَنَّ أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ ، وَابْنَ عَبَّاسٍ ، قَالاَ : إِذَا أَوْتَرْتَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ قُمْتَ تُصَلِّي ، فَصَلِّ مَا بَدَا لَكَ وَاشْفَعْ ، ثُمَّ أَوْتِرْ بِرَكْعَةٍ.
“Dari Abu Mijlaz bahwasanya Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, mereka berkata, “Jika engkau melakukan salat witir di awal malam, kemudian engkau bangun untuk salat, maka salatlah sebanyak yang engkau inginkan dan genapkanlah, kemudian berwitirlah satu rakaat.”
Ucapan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi;
“…salatlah sebanyak yang engkau inginkan…”
Menunjukkan jumlah rakaat itu diserahkan kepada orang yang salat. Tidak ada batasan minimal dan tidak ada batasan maksimal. Terserah, yang penting jumlahnya genap lalu nanti ditutup dengan salat witir yang jumlah rakaatnya ganjil.
Imam Malik pernah melarang penguasa waktu itu yang ingin mengurangi 36 rakaat tarawih. Dalam Al-Mudawwanah disebutkan,
قَالَ مَالِكٌ: بَعَثَ إلَيَّ الْأَمِيرُ وَأَرَادَ أَنْ يُنْقِصَ مِنْ قِيَامِ رَمَضَانَ الَّذِي كَانَ يَقُومُهُ النَّاسُ بِالْمَدِينَةِ، قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ: وَهُوَ تِسْعَةٌ وَثَلَاثُونَ رَكْعَةً بِالْوِتْرِ سِتٌّ وَثَلَاثُونَ رَكْعَةً وَالْوِتْرُ ثَلَاثٌ، قَالَ مَالِكٌ: فَنَهَيْته أَنْ يُنْقِصَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا، وَقُلْتُ لَهُ: هَذَا مَا أَدْرَكْتُ النَّاسَ عَلَيْهِ وَهَذَا الْأَمْرُ الْقَدِيمُ الَّذِي لَمْ تَزَلْ النَّاسُ عَلَيْهِ.
“Malik berkata, “Amir mengirimkan utusan kepadaku dan ia ingin mengurangi salat malam Ramadan yang biasa dilakukan oleh orang-orang di Madinah. Ibnu Al-Qasim berkata, ‘Yakni berjumlah 39 rakaat dengan witir. 36 rakaat dan witir tiga rakaat’. Malik berkata, ‘Maka akupun mencegahnya untuk mengurangi rakaat tersebut sedikitpun, dan aku berkata kepadanya, ‘Ini adalah apa yang aku dapati dilakukan orang-orang, dan ini adalah perkara yang sudah mentradisi yang senantiasa dipraktikkan oleh orang-orang.’”
Riwayat ini secara langsung mengkritik pendapat yang membatasi rakaat tarawih harus 8 atau harus 20. Malik berpendapat kebiasaan di Madinah tidak diubah agar tidak menimbulkan fitnah. Seandainya rakaat tarawih harus 8 atau 20, niscaya Malik tidak akan berani berpendapat 36.
Di tempat yang lain, masih dalam kitab yang sama, Malik memfatwakan kebolehan salat nafilah meskipun sudah salat witir. Dalam Al-Mudawwanah disebutkan,
قَالَ: وَسَأَلْتُ مَالِكًا عَنْ الرَّجُلِ يُوتِرُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ يُرِيدُ أَنْ يَتَنَفَّلَ فِي الْمَسْجِدِ؟ قَالَ: يَتْرُكُ قَلِيلًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَنَفَّلْ مَا بَدَا لَهُ. قُلْتُ: فَإِنْ أَوْتَرَ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ انْقَلَبَ إلَى بَيْتِهِ أَيَرْكَعُ إنْ شَاءَ؟ قَالَ: نَعَمْ.
“Ia berkata, ‘aku bertanya kepada Malik tentang seorang lelaki yang melakukan salat witir di masjid kemudian ingin melakukan salat nafilah di masjid. Ia menjawab, ‘Ia berhenti sebentar kemudian berdiri dan melakukan salat nafilah sebanyak apapun yang ia inginkan.’ Aku bertanya, ‘Jika ia berwitir di masjid kemudian pulang ke rumah, apakah ia boleh salat jika menginginkan?’ Ia menjawab, ‘Ya.’”
Seandainya rakaat salat malam dibatasi, niscaya beliau tidak akan berani berfatwa kebolehan menambah salat sunnah setelah selesai witir.
Asy-Syafi’I secara lugas juga berpendapat salat malam tidak dibatasi rakaatnya. Al-‘Iroqi berkata;
وَقَالَ الشَّافِعِيُّ – رَحِمَهُ اللَّهُ – وَلَيْسَ فِي شَيْءٍ مِنْ هَذَا ضِيقٌ وَلَا حَدٌّ يُنْتَهَى إلَيْهِ لِأَنَّهُ نَافِلَةٌ فَإِنْ أَطَالُوا الْقِيَامَ وَأَقَلُّوا السُّجُودَ فَحَسَنٌ وَهُوَ أَحَبُّ إلَيَّ وَإِنْ أَكْثَرُوا الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ فَحَسَنٌ
“As-Syafi’i rahimahullah berkata, “Tidak ada kesempitan dalam hal tersebut sedikitpun dan tidak ada batasan maksimal karena itu adalah salat nafilah. Jika mereka memanjangkan waktu berdiri dan memendekkan waktu sujud, maka itu bagus, dan itu lebih aku sukai. Jika mereka memperbanyak rukuk dan sujud, maka itu baik.”
Ibnu Abdil Barr malah menegaskan bahwa tidak dibatasinya jumlah rakaat salat malam sudah menjadi ijmak;
وَقَدْ أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنْ لَا حَدَّ وَلَا شَيْءَ مُقَدَّرًا فِي صَلَاةِ اللَّيْلِ وَأَنَّهَا نَافِلَةٌ فَمَنْ شَاءَ أَطَالَ فِيهَا الْقِيَامَ وَقَلَّتْ رَكَعَاتُهُ وَمَنْ شَاءَ أَكْثَرَ الرُّكُوعَ وَالسُّجُودَ
“Para ulama telah bersepakat bahwasanya tidak ada batasan dan tidak ada sesuatu yang ditentukan dalam salat malam dan bahwasanya salat itu adalah nafilah. Barangsiapa ingin memanjangkan durasi berdirinya dan sedikit rakaatnya, barangsiapa berkehendak, ia bisa memanjangkan rukuk dan sujudnya.”
وَلَيْسَ فِي عَدَدِ الرَّكَعَاتِ مِنْ صَلَاةِ اللَّيْلِ حَدٌّ مَحْدُودٌ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَتَعَدَّى وَإِنَّمَا الصَّلَاةُ خَيْرٌ مَوْضُوعٌ وَفِعْلُ بِرٍّ وَقُرْبَةٌ فَمَنْ شَاءَ اسْتَكْثَرَ وَمَنْ شَاءَ اسْتَقَلَّ وَاللَّهُ يُوَفِّقُ وَيُعِينُ مَنْ يَشَاءُ بِرَحْمَتِهِ لَا شَرِيكَ لَهُ
“Terkait dengan jumlah rakaat salat malam, tidak ada batasan yang ditentukan oleh seorang pun di antara ahli ilmu. Salat itu adalah kebaikan yang ditetapkan dan perbuatan kesalihan serta upaya mendekatkan diri kepada Allah. Barangsiapa menginginkan, maka ia boleh memperbanyak dan barangsiapa yang menginginkan, ia boleh melakukannya sedikit. Allah memberi bantuan serta menolong orang yang Dia kehendaki dengan rahmatNya, tidak ada sekutu bagiNya.”
Demikian pula Qodhi ‘Iyadh;
قَالَ الْقَاضِي وَلَا خِلَافَ أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدٌّ لَا يُزَادُ عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُصُ مِنْهُ وَأَنَّ صَلَاةَ اللَّيْلِ مِنَ الطَّاعَاتِ الَّتِي كُلَّمَا زَادَ فِيهَا زَادَ الْأَجْرُ وَإِنَّمَا الْخِلَافُ فِي فِعْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ
“Al-Qadhi berkata, “Tidak ada perselisihan bahwasanya dalam hal tersebut tidak ada batasan yang tidak boleh ditambahi atau tidak dikurangi. Sesungguhnya salat malam adalah termasuk ketaatan, setiap kali ditambahi maka pahalanya bertambah. Perselisihannya hanyalah terjadi pada perbuatan Nabi ﷺ dan apa yang beliau pilih untuk dirinya sendiri.”
Demikian pula Al-‘Iroqi;
فِيهِ مَشْرُوعِيَّةُ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ وَقَدْ اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ حَدٌّ مَحْصُورٌ
“Dalam dalil tersebut terdapat pensyariatan salat di malam hari. Dan para ulama telah bersepakat bahwasanya tidak ada batasan rakaat yang ditentukan.”
Ibnu Taimiyyah menguatkan pendapat bahwa jumlah rakaat salat tarawih adalah hal longgar;
والتراويح إن صلاها كمذهب أبي حنيفة ، والشافعي ، وأحمد : عشرين ركعة أو : كمذهب مالك ستا وثلاثين ، أو ثلاث عشرة ، أو إحدى عشرة فقد أحسن . كما نص عليه الإمام أحمد لعدم التوقيف فيكون تكثير الركعات وتقليلها بحسب طول القيام وقصره
“Salat tarawih jika dilaksanakan seperti madzhab Abu Hanifah. Syafi’i, dan Ahmad, yakni 20 rakaat, atau seperti madzhab Malik, yakni 36 rakaat, atau 13 rakaat, atau 11 rakaat, maka itu baik – sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ahmad – karena tidak ada penentuan dalam hal ini, sehingga memperbanyak rakaat atau mempersedikit itu sesuai dengan panjang pendeknya waktu berdiri.”
Kata beliau, Rasulullah ﷺ tidak pernah menentukan jumlah rakaat qiyam Ramadhan, hanya saja salat malam beliau tidak pernah lebih 13 rakaat,
قِيَامِ رَمَضَانَ لَمْ يُوَقِّتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهِ عَدَدًا مُعَيَّنًا؛ بَلْ كَانَ هُوَ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – لَا يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا غَيْرِهِ عَلَى ثَلَاثَ عَشْرَةِ رَكْعَةً
“Salat malam di bulan Ramadan tidak ditentukan oleh Nabi ﷺ terkait dengan jumlah rakaat tertentu. Tetapi beliau tidak menambah di bulan Ramadan maupun selainnya melebihi 13 rakaat”
Lebih jauh lagi, menurut Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Daqiqil ‘Ied, sudah ada ijmak bahwa salat malam itu tidak ada batasan rakaat,
نقل ابن دقيق العيد وشيخ الإسلام الإجماع على أن صلاة الليل لا حد لها
“Ibnu Daqiqil ‘Ied dan Syaikhul Islam menukil ijmak ulama bahwasanya salat malam itu tidak ada batasannya.”
Demikian pula fatwa As-Suyuthi,
قَال السُّيُوطِيُّ: الَّذِي وَرَدَتْ بِهِ الأَْحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ وَالْحِسَانُ الأَْمْرُ بِقِيَامِ رَمَضَانَ وَالتَّرْغِيبُ فِيهِ مِنْ غَيْرِ تَخْصِيصٍ بِعَدَدٍ، وَلَمْ يَثْبُتْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى التَّرَاوِيحَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَإِنَّمَا صَلَّى لَيَالِيَ صَلاَةً لَمْ يُذْكَرْ عَدَدُهَا، ثُمَّ تَأَخَّرَ فِي اللَّيْلَةِ الرَّابِعَةِ خَشْيَةَ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْهِمْ فَيَعْجِزُوا عَنْهَا (2) . وَقَال ابْنُ حَجَرٍ الْهَيْثَمِيُّ: لَمْ يَصِحَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى التَّرَاوِيحَ عِشْرِينَ رَكْعَةً، وَمَا وَرَدَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي عِشْرِينَ رَكْعَةً فَهُوَ شَدِيدُ الضَّعْفِ (3)
“As-Suyuthi berkata, “Yang dinyatakan oleh hadis-hadis sahih dan hasan adalah perintah melaksanakan qiyam Ramadan dan dorongan melakukannya tanpa pengkhususan jumlah rakaat tertentu. Tidak ada riwayat valid bahwasanya Nabi ﷺ salat tarawih 20 rakaat. Tetapi beliau salat malam dengan salat yang tidak disebutkan jumlah rakaatnya. Kemudian beliau tidak melakukan salat di malam keempat karena kuatir akan diwajibkan bagi kaum muslimin sehingga mereka lemah untuk melakukannya. Ibnu Hajar Al-Haitsami berkata, ‘Tidak ada riwayat sahih bahwasanya Nabi ﷺ salat tarawih 20 rakaat. Riwayat yang ada bahwasanya beliau salat 20 rakaat adalah sangat lemah.”
Termasuk juga fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah Li Al-Buhuts Al-‘ilmiyyah Wa Al-Ifta’. Ibnu ‘Utsaimin juga memfatwakan bahwa jumlah rakaat salat tarawih tidak ada batasan,
القول الراجح في عدد صلاة التراويح أن الأمر فيها واسع وأن الإنسان إذا صلى إحدى عشر ركعة أو ثلاث عشرة ركعة أو سبع عشرة ركعة أو ثلاثاً وعشرين ركعة أو تسعاً وثلاثين ركعة أو دون ذلك أو أكثر فالأمر في هذا كله أمر واسع ولله الحمد ولهذا لما سئل النبي صلى الله عليه وسلم ما ترى في صلاة الليل قال (مثنى, مثنى فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى) ولم يحد النبي صلى الله عليه وسلم للسائل عدداً معيناً لا يتجاوزه فعلم من ذلك أن الأمر في هذا واسع
“Pendapat yang kuat terkait dengan jumlah salat tarawih adalah bahwasanya perkara tersebut bersifat longgar. Orang boleh salat 11 rakaat, atau 13 rakaat, atau 17 rakaat, atau 23 rakaat, atau 29 rakaat, atau di bawah itu, atau lebih banyak dari itu. Perkara dalam urusan ini adalah longgar, Alhamdulillah. Oleh karena itu, tatkala Nabi ﷺ ditanya tentang bagaimana pendapat beliau tentang salat malam, beliau menjawab ‘dua rakaat, dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian kuatir waktu subuh, maka salatlah satu rakaat sebagai salat witir yang menutup salat yang ia lakukan’. Nabi tidak membatasi jumlah rakaat tertentu untuk penanya yang tidak boleh ia lampaui, maka bisa diketahui dengan hal itu bahwa perkara ini adalah longgar.”
Demikian pula Ibnu Jibrin,
ومن ظن أن قيام رمضان فيه عدد مؤقَّت لا يزاد فيه ولا ينقص منه، فقد أخطأ
“Barangsiapa menduga bahwasanya salat malam di bulan Ramadan ada jumlah rakaat tertentu yang ditentukan yang tidak boleh ditambah atau dikurangi, maka ia keliru.”
Demikian pula Shalih Al-Fauzan,
أما عدد ركعاتها فلم يثبت فيه شيء عن النبي صلى الله عليه وسلم، والأمر في ذلك واسع
“Adapun jumlah rakaatnya, maka tidak ada riwayat yang valid dari Nabi ﷺ. Perkara dalam urusan ini adalah longgar. “
Demikian pula Ibnu Baz,
ظن بعضهم أن التراويح لا يجوز نقصها عن عشرين ركعة، وظن بعضهم أنه لا يجوز أن يزاد فيها على إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة ركعة، وهذا كله ظن في غير محله بل هو خطأ مخالف للأدلة
“Sebagian dari mereka menyangka bahwasanya salat tarawih itu tidak boleh kurang dari 20 rakaat, dan sebagian lagi menduga bahwasanya tidak boleh ditambahi dari 11 rakaat atau 13 rakaat. Ini semua adalah dugaan yang tidak pada tempatnya, dan ini keliru, bertentangan dengan dalil-dalil.”
Asy-Syaukani bahkan mengatakan bahwa membatasi rakaat tarawih dengan jumlah tertentu tidak dinyatakan sunnah,
فَقَصْرُ الصَّلَاةِ الْمُسَمَّاةِ بِالتَّرَاوِيحِ عَلَى عَدَدٍ مُعَيَّنٍ، وَتَخْصِيصُهَا بِقِرَاءَةٍ مَخْصُوصَةٍ لَمْ يَرِدْ بِهِ سُنَّةٌ
“Membatasi salat yang dinamakan dengan tarawih pada jumlah rakaat tertentu dan mengkhususkannya dengan bacaan tertentu tidak dinyatakan oleh sunnah.”
2 Comments
Abu Zuhriy
Ustadz tentang perkataan ibnu ‘abbas dan usamah bin zaid:
إِذَا أَوْتَرْتَ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ ثُمَّ قُمْتَ تُصَلِّي ، فَصَلِّ مَا بَدَا لَكَ وَاشْفَعْ ، ثُمَّ أَوْتِرْ بِرَكْعَةٍ
“Jika engkau melakukan salat WITIR di AWAL MALAM, kemudian engkau bangun untuk salat, maka salatlah sebanyak yang engkau inginkan dan genapkanlah, kemudian BERWITIRLAH SATU rakaat”
Ini kok sepertinya malah menganjurkan 2 witir dalam satu malam? Witir di awal malam, dan witir di akhir malam.
Mohon penjelasannya
Admin
Itu memang salah satu ijtihad sahabat.
Jika sudah salat witir, lalu ingin salat lagi apakah harus menggenapkan witirnya atau tidak?
Ibnu Abbas dan Usamah berpendapat digenapkan, sehingga bisa salat witir lagi. Sebagian lagi berpendapat tidak perlu menggenapkan. Silakan saja menambah salat sunnah tapi tidak perlu berwitir lagi karena ada larangan Nabi untuk salat witir dua kali dalam semalam.