Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Berkurban adalah bagian dari ibadah. Agar syariat ini tidak menjadi ajang mubahat (bangga-banggaan), riya’ (pamer agar di lihat manusia) dan sum’ah (pamer agar didengar dan populer) maka ada baiknya untuk bertafaqquh dan mengkaji ulang syariat ini bukan dari aspek aturan hukum fikihnya, tetapi dari sisi esensi dan hakikatnya dalam kaitannya dengan ubudiyyah terhadap Allah. Mudah-mudahan dengan bahasan ini, kaum muslimin yang telah diberi rizki Allah dan sudah berniat berkurban di tahun ini bisa mendapatkan manfaatnya.
Untuk menghayati hakikat kurban ini, marilah kita memulai dengan mengkaji ulang kisah kurban yang terjadi di masa jahiliyyah, yakni kisah Abdul Muttholib yang ingin berkurban dengan menyembelih salah satu putranya.
RENCANA PENYEMBELIHAN ABDULLAH, AYAH NABI MUHAMMAD
Syahdan, sebagai tanda syukur bahwa Abdul Muttholib menang pada kasus perselisihan memperebutkan sumur Zamzam, dia bernazar dengan nazar yang sangat berat. Dia berjanji kepada Allah, jika sampai punya 10 anak maka salah satu akan disembelih dan dipersembahkan sebagai kurban.
Setelah anaknya mencapai 10 orang, Abdul Muttholib memanggil mereka dan memberitahukan nazarnya. Semuanya bisa menerima dan penentuan siapa yang akan disembelih dilakukan dengan cara di undi di depan patung sesembahan Quraisy yang bernama Hubal.
Ternyata yang keluar adalah nama Abdullah, yang kelak akan menjadi ayah nabi Muhammad. Abdullah waktu itu adalah anak yang paling disayangi Abdul Muttholib dan saat itu adalah anaknya yang paling kecil (beberapa waktu kemudian Abdullah memiliki adik, yaitu Hamzah kemudian di susul Al-‘Abbas).
Akhirnya Abdul Muttholib mengambil parang untuk menyembelih Abdullah di tempat penyembelihan kurban yang biasa dipakai orang-orang Quraisy didekat Ka’bah, yaitu di antara dua patung sesembahan mereka yang bernama Isaf dan Na-ilah.
Namun, ketika orang-orang Quraisy mengetahui maksud Abdul Muttholib, mereka mencegahnya karena khawatir akan menjadi “sunnah” bagi generasi sesudahnya. Mereka menyarankan agar Abdul Muttholib pergi ke salah satu dukun wanita di Hijaz. Abdul Muttholib setuju.
Sang dukun menyarankan agar dibuat dua undian, satu undian diberi nama Abdullah dan satu undian di beri nama unta (yang berjumlah sepuluh). Kemudian undian tersebut dikocok. Jika keluar nama Abdullah, maka Abdul Muttholib harus menyembelih kurban sebanyak 10 ekor unta sebagai pengganti Abdullah. Lalu diundi lagi. Jika keluar nama Abdullah lagi, maka Abdul Muttholib harus menambah lagi kurban sebanyak 10 ekor unta. Demikian seterusnya sampai undian keluar nama unta.
Ternyata, setelah unta mencapai 100 ekor, barulah keluar nama unta. Dengan demikian, Abdul Muttholib sudah menjadi yakin bahwa tuhannya ridha nazar menyembelih anaknya bisa diganti dengan menyembelih 100 ekor unta.
Kisah ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab sirah seperti Sirah Ibnu Hisyam, Ar-Roudhu Al-Unuf, Ar-Rohiq Al-Makhtum, dan lain-lain.
UNTUK APA BERKURBAN?
Jadi, tradisi berkurban sebenarnya sudah ada semenjak zaman jahililiyyah di kalangan bangsa Arab. Bahkan jika kita teliti kebudayaan berbagai bangsa, kita akan mendapati bahwa tradisi berkurban kepada dewa-dewa atau tuhan dalam kepercayaan mereka adalah hal yang biasa. Ada yang berkurban dengan hewan-hewan ternak biasa (dengan cara disembelih, dipenggal kepalanya, dipukuli sampai mati dan sebagainya), adapula yang berkurban bahkan dengan membunuh manusia yang pada sebagian suku dilakukan dengan cara yang kejam.
Konon, suku Aztek melakukan ritual kurban manusia dengan cara meletakkannya di atas batu pada puncak piramida. Sang kurban, dengan dipegangi sejumlah orang akan diiris dan dibelah dadanya memakai pisau oleh dukun suku tersebut untuk diambil jantungnya yang masih berdenyut, kemudan jantung itu diangkat tinggi-tinggi agar terlihat semua orang. Setelah itu tubuh kurban akan digulingkan menuruni tangga piramida. Di bawah, sudah menunggu tukang potong yang akan memenggal kepalanya, meletakkan kepala tersebut pada rak yang berisi tengkorak kepala kurban-kurban sebelumnya, kemudian memasak daging manusia itu untuk disantap para bangsawan.
Legenda di Indonesia juga mengenal ritual pengorbanan manusia, seperti pada legenda Rara Anteng dan Joko Seger pada masyarakat gunung Tengger. Dikisahkan, dua pasangan ini sudah lama tidak punya anak sehingga bernazar jika tuhan memberi mereka anak, maka salah saatu anak akan dikurbankan dengan cara dilempar ke kawah gunung Bromo. Beberapa waktu kemudian mereka pun memiliki banyak keturunan. Dewa menagih janji, sehingga anak bungsu dengan berat hati harus dikurbankan. Hari ini, upacara kurban yang disebut dengan istilah upacara Kasada itu sudah memakai sesaji sebagai ganti kurban manusia.
Semua fenomena berkurban, baik yang terjadi di Arab di masa jahiliyyah maupun di berbagai suku dan bangsa di dunia, pada intinya dilakukan karena salah satu dari dua motivasi atau campuran di antara keduanya,
Pertama, motivasi CINTA kepada dewa-dewa/tuhan kepercayaan, karena merasa mendapatkan banyak kebaikan sehingga berpikir untuk berterimakasih sedalam-dalamnya dengan cara berkurban, atau merasa dewa-dewa/tuhan kepercayaan mereka memiliki kemampuan yang bisa menolong mereka sehingga mereka berpikir berkurban untuk menyenangkan dewa-dewa itu sehingga harapan/pinta/kepentingan mereka dikabulkan.
Kedua, motivasi TAKUT kepada dewa-dewa/tuhan kepercayaan, karena merasa berbuat kesalahan, atau kurang maksimal dalam upaya berbakti dan menyenangkan dewa-dewa/tuhan tersebut. Maka demi mencegah murka dan amarah dewa-dewa itu, mereka melakukan kurban.
Nah, gabungan cinta dan takut inilah sebenarnya esensi dan hakikat dari IBADAH.
Karena itulah, masyarakat jahiliyyah dikatakan beribadah kepada Al-Lata, Al-Uzza, Hubal, Manat dan semisalnya karena mereka cinta dan takut kepada berhala-berhala tersebut. Mereka cinta dan takut kepada Allah, tetapi juga cinta dan takut kepada berhala-berhala itu. Takut “kualat”, takut “dikutuk”, takut mendapat bencana dan lain-lain. Jika mereka punya hajat, ingin punya anak, ingin menang perang, ingin sukses dagang dan lain-lain maka mereka berharap kepada berhala-berhala itu, lalu melakukan sejumlah ritual seperti thawaf, I’tikaf, istilam, menari, bertepuk tangan dan lain-lain. Berkurban mereka lakukan juga dalam konteks ini.
Inilah hakikat syirik, karena syirik adalah isyrok (menserikatkan), yakni selain cinta+ takut kepada Allah juga cinta+ takut kepada selain Allah, selain menyembah Allah juga menyembah selain Allah. Riya’ dikatakan syirik kecil, karena motivasi berbuat baiknya bukan murni ingin menyenangkan Allah dan berharap pujian Allah, tetapi dikotori keinginan pujian dan penghargaan manusia.
Maka, ketika Allah memerintahkan memurnikan penyembahan hanya kepada-Nya, hal itu bermakna dalam memberikan cinta puncak dan penghinaan diri yang paling puncak, itu semua hanya untuk Allah, tanpa dicampuri selain-Nya.
Inilah makna tauhid, yakni mengesakan Allah menjadikan Dia satu-satunya sebagai Dzat yang disembah.
Karena itulah, Allah mengganti tradisi kurban yang syirik itu dengan kurban yang dipersembahkan hanya untuk Allah semata.
Kita membeli unta, sapi atau kambing, kemudian dengan sukarela kita sembelih dalam rangka berterima kasih kepada Allah atas kebaikan-kebaikan-Nya, juga didorong motivasi berharap dikabulkan hajat-hajat oleh-Nya, juga didorong rasa takut akan murka-Nya, hukuman-Nya dan musibah yang mungkin akan ditimpakan-Nya karena kesalahan dan dosa yang tidak kita sadari maupun kita sadari. Kita persembahkan kurban, demi melindungi diri dari murka Allah agar Dia tidak menghukum kita.
Berkurban juga bukti cinta, bahwa cinta puncak kita hanya kepada Allah, melebihi cinta kepada ayah, ibu, suami, istri, anak, harta dan seluruh dunia seisinya. Maka, mengambil harta sebagian demi berkurban kepada Allah tidak lagi timbul perasaan “eman” atau sayang dalam hati kita, sebagaimana kesanggupan Nabi Ibrahim menyembelih putranya tercinta yang membuktikan cintanya kepada Allah melebihi cintanya kepada Isma’il.
Untuk pembahasan fikih kurban bisa dibaca dalam tautan-tautan berikut ini;
HUKUM BERKURBAN: SUNNAH ATAU WAJIB?
BERKURBAN SECARA PATUNGAN, BOLEHKAH?
HUKUM MENYEBUTKAN NAMA ORANG YANG BERKURBAN PADA SAAT MENYEMBELIH
KETENTUAN DALAM MEMBAGI DAGING KURBAN
DISTRIBUSI DAGING KURBAN DALAM KONDISI MATANG
RAMBUT MANUSIA ATAU BULU HEWAN?
BAGAIMANA CARA BERKURBAN ATAS NAMA KELUARGA
HUKUM MENYEMBELIH SENDIRI HEWAN KURBAN
HUKUM MEMBAGI KURBAN KE DAERAH LAIN
HUKUM MENYAKSIKAN PENYEMBELIHAN HEWAN KURBAN
BOLEHKAH MEMBERI UPAH JAGAL KURBAN DENGAN KEPALA, KUKIT, DAN SEBAGAINYA?