Oleh: Ust. Muafa
INTRODUKSI
Alhamdulillah hari ini saya mendapati satu contoh yang cukup bagus untuk menjelaskan pentingnya bahasa Arab bagi kaum muslimin terkait dengan pemahaman terhadap urusan dien mereka.
Ketika saya mengatakan memahami bahasa Arab penting, hal itu tidak bermakna sekedar menghapal matan alfiyyah, ajurumiyyah, al-amtsilah tashrifiyyah atau penguasaan-penguasan teknis yang semisal, tetapi harus disertai dengan kemampuan pemahaman yang cukup terhadap ilmu I’rob, shorf, isytiqoq, matnul lughoh, ma’ani, badi’, bayan dan cabang-cabang ilmu bahasa Arab yang menjaga kesalahan memahami ungkapan Arab.
Pemahaman bahasa Arab semata-mata sebenarnya juga belum cukup, karena memahami nash berbeda dengan memahami karya sastra Arab. Untuk kepentingan memahami sastra Arab, menguasai cabang-cabang ilmu bahasa Arab yang inti sudah cukup untuk memahami karya sastra itu dengan benar. Adapun nash-nash Al-Qur’an dan Al-hadis, maka pemahaman terhadapnya memerlukan sejumlah ilmu yang lain agar terkontrol pemahamannya dan tidak keluar dari yang dikehendaki pembuat syariat. Memahami karakteristik-karaktersitik khas nash seperti makna syar’i, makna urfi, makna lughowi, lafaz umum, lafaz khusus, lafaz muthlaq, lafaz muqoyyad, mafhum, manthuq, fahwa al-khithob, nasikh, mansukh, asbabun nuzul, asbabul wurud, ma-alat af’al dan hal-hal yang semakna dengan ini adalah pengetahuan mutlak yang diperlukan agar seseorang bisa memahami nash secara lebih terkontrol.
Berikut ini disajikan analisis bagaimana kekeliruan memahami nash karena kelemahan dalam salah satu cabang ilmu bahasa Arab yaitu ilmu matnu-al-lughoh.
KASUS
Di antara hukum fikih tentang kurban yang dijelaskan para fuqoha’ adalah tidak bolehnya memotong rambut (baik di kepala, ketiak, kemaluan) atau kuku (baik kuku tangan maupun kaki) bagi orang yang berniat berkurban. Larangan memotong rambut dan kuku ini berlaku semenjak tanggal 1 Dzulhijjah sampai kurban disembelih.
Namun, konon ada seseorang yang memberikan penjelasan bahwa yang dimaksud dalam hadis adalah rambut hewan dan kuku hewan yang akan dikurbankan, bukan rambut dan kuku muslim yang berkurban. Dikatakan bahwa penjelasan ini sesuai dengan hadis yang mengatakan pahala kurban sesuai dengan banyaknya bulu-bulu kurban.
Di manakah letak kekeliruan penjelasan ini?
ANALISIS
Lafaz hadis yang menjadi sumber hukum fikih ini adalah sebagai berikut:
صحيح مسلم (10/ 172(
عن أُمّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ
Artinya:
Dari Ummu Salamah -istri Nabi shallaallaahu ‘alaihi wasallam- berkata: Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang memiliki hewan yang akan disembelih (hewan kurban), lalu bila telah muncul hilal bulan Dzulhijjah, maka janganlah sekali-kali ia mengambil (memotong) sedikit pun rambut dan kukunya hingga ia berkurban.” (H.R Muslim no. 172)
Lafaz lain:
صحيح مسلم (10/ 171(
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
Artinya:
Dari Ummu Salamah: bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah sementara salah seorang dari kalian ingin berkurban maka hendaklah ia menahan diri dari (memotong) rambut dan kukunya.” (H.R Muslim no.171)
Definisi asy-Sya’ru (الشعر) yang ada pada lafaz min sya’rihi dan ‘An sya’rihi adalah rambut manusia, bukan rambut hewan. Rambut (bulu) hewan umumnya menggunakan lafaz shuf atau wabar. Al-Firuza Abadi berkata dalam kitabnya; Al-Qomus Al-Muhith:
القاموس المحيط (ص: 533(
والشَّعْرُ ويُحَرَّكُ : نِبْتَةُ الجِسْمِ مِمَّا ليس بصوفٍ ولا وَبَرٍ
Artinya:
Asy-Sya’ru dan Asy-Sya’aru (dengan memberi harokat fathah pada huruf ‘ain) adalah sesuatu yang tumbuh pada tubuh yang bukan shuf dan wabar (bulu hewan). (Al-Qomus Al-Muhith hal. 533)
Oleh karena itu, lafaz sya’run secara hukum asal tidak boleh dimaknai bulu hewan, kecuali dalam kondisi tertentu yang diketahui dengan qorinah.
Definisi adh-dhufru (الظفر) yang ada pada lafaz min adhfarihi adalah kuku manusia, bukan kuku hewan. Karena kuku hewan biasanya diungkapkan dengan lafaz dhilfun (الظلف).
Yang menguatkan adalah riwayat lain yang menjelaskan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang menyentuh rambut dan basyar dlm hadis berikut ini:
صحيح مسلم (10/ 169(
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا دَخَلَتْ الْعَشْرُ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَمَسَّ مِنْ شَعَرِهِ وَبَشَرِهِ شَيْئًا
Artinya:
Dari Ummu Salamah: bahwa Nabi -shallallaahu alaihi wasallam- bersabda: “Apabila telah masuk sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah) sementara salah seorang dari kalian ingin berkurban maka janganlah ia menyentuh sesuatupun dari rambut dan kulitnya”
Basyar dalam hadis di atas bermakna bagian luar kulit manusia. Al-Jauhari berkata:
الصحاح في اللغة (1/ 44، بترقيم الشاملة آليا(
البَشَرَةُ والبَشَرُ: ظاهرُ جلدِ الإنسان
Artinya:
Al-Basyarah dan Al-Basyaru adalah bagian luar/yang tampak dari kulit manusia. (Kitab As-Shihah fii Al-Lughoh, hal. 1 no 44)
Pembahasan definisi lafaz secara lebih akurat berdasarkan kamus-kamus induk bahasa Arab seperti ini adalah bahasan ilmu matnul lughoh.
Ini adalah contoh analisis dari sisi bahasa dikaitkan dengan nash.
Ulama-ulama yang otoritatif semuanya tanpa kecuali menjelaskan bahwa yang dimaksud kuku dan rambut dalam hadis di atas adalah milik manusia, artinya rambut dan kuku orang yang hendak berkurban.
Contohnya An-Nawawi:
شرح النووي على مسلم (13/ 139(
وَسَوَاءُ شَعْرُ الْإِبْطِ وَالشَّارِبِ وَالْعَانَةِ وَالرَّأْسِ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنْ شُعُورُ بَدَنِهِ
Artinya:
“dan sama saja (yang dilarang dipotong bagi orang yang mau berkurban) baik rambut ketiak, kumis, rambut bawah perut, rambut kepala, dan selain itu berupa rambut-rambut yang tumbuh di badan. (Syarah shahih muslim oleh An-Nawawi)
Pernyataan An-Nawawi di atas sangat jelas berbicara tentang rambut manusia, bukan bulu hewan pada saat menafsirkan hadis yang kita bicarakan.
Adapun pernyataan bahwa ada hadis yang mengatakan pahala kurban sesuai dengan banyaknya bulu-bulu kurban, maka hadis tersebut adalah dhoif. Riwayat yang dimaksud adalah sebagai berikut:
سنن ابن ماجه (9/ 281(
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَلَفٍ الْعَسْقَلَانِيُّ حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا سَلَّامُ بْنُ مِسْكِينٍ حَدَّثَنَا عَائِذُ اللَّهِ عَنْ أَبِي دَاوُدَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ
قَالَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا فَمَا لَنَا فِيهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا فَالصُّوفُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ بِكُلِّ شَعَرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ
Artinya:
Muhammad bin Khalaf Al-Atsqalani menceritakan kepada kami, Adam bin Abi Iyas menceritakan kepada kami, Sallam bin Miskin menceritakan kepada kami, Aaidzullah menceritakan kepada kami, dari Abu Dawud dari Zaid bin Arqam berkata: para shahabat Rasulullaah -shallallaahu alaihi wasallam- bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah (hakikat) hewan-hewan kurban ini?” Beliau menjawab: “Ia adalah sunnah ayah kalian Ibrahim”, mereka bertanya: “Lalu apa yang kami dapatkan di dalamnya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Setiap rambut (bernilai) satu kebaikan”, mereka bertanya: “(Setiap helai) bulu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Setiap helai rambut dari bulu (bernilai) satu kebaikan.” (H.R Ibnu Majah).
Hadits di atas dhoif karena perawi dhoif yang bernama Aidzullah Al-Mujasyi’i dan Abu Dawud Nufai’ bin Al-Harits Al-A’ma. Nufai’ bahkan matruk tertuduh membuat hadis palsu.