Oleh : Ust. Muafa
Tidak semua orang sanggup untuk rendah hati dan mengakui kesalahan jika dikoreksi.
Umumnya gengsi, apalagi jika sudah tenar.
Memang tidak tenar itu kadang-kadang menjadi berkah tersendiri, karena seseorang itu jika sudah populer, justru seringkali ia susah dikoreksi dan dinasihati.
Apalagi jika pihak yang dikoreksi itu sudah mewujud menjadi organisasi/komunitas/afiliasi. Godaan untuk menolak koreksi biasanya lebih besar karena umumnya organisasi memiliki kepentingan lebih besar untuk tetap tercitra baik, atau bahkan tercitra “sempurna”.
Sikap semacam itu sebenarnya cerminan akhlak buruk sekaligus membuat penontonnya khawatir bahwa amalnya selama ini dilakukan bukan karena Allah.
Seorang hamba yang salih tidak pernah merasa malu mengatakan, “saya salah”, jika memang salah. Dia tidak pernah takut kehilangan pengikut, kehilangan fans, kehilangan pengagum, kehilangan dunia apapun karena dia memang tidak mengejar itu semua dalam beramal. Yang paling ia takutkan hanya satu: murka Allah. Dia akan sangat takut mengatakan sesuatu terkait perkara dien yang ternyata terbukti keliru dan membuat Allah murka karena menyesatkan banyak manusia.
Contoh hamba salih yang tidak anti koreksi yang layak kita teladani adalah shahabat Nabi ﷺ yang mulia yang bernama Abu Musa Al-Asy’ari. Kisahnya dituturkan Al-Bukhari dalam sahihnya sebagai berikut.
أَقْضِي فِيهَا بِمَا قَضَى النَّبِيُّ ﷺ لِلْابْنَةِ النِّصْفُ وَلِابْنَةِ ابْنٍ السُّدُسُ تَكْمِلَةَ الثُّلُثَيْنِ وَمَا بَقِيَ فَلِلْأُخْتِ فَأَتَيْنَا أَبَا مُوسَى فَأَخْبَرْنَاهُ بِقَوْلِ ابْنِ مَسْعُودٍ فَقَالَ لَا تَسْأَلُونِي مَا دَامَ هَذَا الْحَبْرُ فِيكُمْ
“Abu Musa pernah ditanya tentang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki dan saudara perempuan, maka dia menjawab; ‘Anak perempuan mendapatkan separuh, saudara perempuan mendapatkan separuh, dan datanglah kepada Ibnu Mas’ud, niscaya dia akan sepakat denganku’. Ibnu Mas’ud kemudian ditanya dan diberi kabar dengan ucapan Abu Musa, maka ia berujar; ‘Kalau begitu aku telah sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapatkan petunjuk, saya akan memutuskan masalah itu dengan ketetapan yang diputuskan oleh Nabi ﷺ, putri mendapatkan setengah, putri putra mendapatkan seperenam sebagai pelengkap dua pertiga, dan sisanya bagi saudara perempuan.’ Maka kami datang kepada Abu Musa dan kami mengabarkan kepadanya dengan ucapan Ibnu Mas’ud, maka ia berkata; ‘Janganlah kalian bertanya kepadaku selama orang alim ini berada ditengah-tengah kalian’” (Al-Bukhari, 1987: 461).
Dalam hadis di atas, diceritakan bagaimana Abu Musa Al-Asy’ari ditanya tentang sebuah kasus waris. Fatwa yang dibutuhkan adalah penjelasan bagian waris ketika mayit meninggalkan 3 orang kerabat yaitu “bintun” (putri), “bintu ibnin” (putri dari putra) dan “ukhtun” (saudari). Abu Musa langsung berfatwa bahwa putri mendapatkan setengah dan saudari mendapatkan sisanya yaitu setengah. Putri dari putra dalam hal ini gugur karena ada putri, menurut pendapat Abu Musa Al-Asy’ari. Barangkali Abu Musa berpegang pada umumnya ayat bahwa yang mendapatkan jatah waris hanya putri langsung dari mayit, sementara cucu putri dari jalur anak laki-laki tidak dianggap putri karena meskipun bisa disebut “bintun” (putri) secara bahasa, tetapi statusnya adalah putri majasi.
Namun, setelah kasus itu ditanyakan kepada shahabat lain yaitu Ibnu Mas’ud, ternyata penyelesaian Abu Musa dikoreksi. Menurut pengetahuan Ibnu Mas’ud, cara penyelesaian kasus waris itu sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ﷺ adalah tetap memberi bagian untuk “bintu ibnin” dalam kapasitas sebagai “bintun” majasi, dan tidak diangkat sampai selevel “bintun” hakiki. Oleh karena bagian dua orang putri menurut Al-Qur’an adalah 2/3, maka antara “bintun” dan “bintu ibnin” pada kasus ini juga harus mendapatkan 2/3. Kendati demikian, porsinya tidak sama. “Bintun” hakiki mendapatkan ½ karena dia adalah putri langsung dari mayit. Sementara “bintu ibnin” mendapatkan bagian penyempurna untuk mencapai jatah 2/3. Dengan demikian kasus yang ditanyakan tadi diselesaikan dengan membagi jatah warisan sebagai berikut: “bintun” mendapatkan ½, “bintu ibnin” mendapatkan 1/6 sebagai penyempurna 2/3, dan “ukhtun” mendapatkan sisanya karena berposisi sebagai “ashobah” dengan adanya “bintun”, yaitu 1/3.
Setelah Abu Musa Al-Asy’ari dikoreksi oleh Ibnu Mas’ud, beliau tidak tersinggung, tidak marah, tidak merasa dipermalukan, tidak merasa dihina dan tidak merasa direndahkan, tetapi beliau malah merespon dengan kalimat yang menunjukkan akhlak dan budi luhur luar biasa, beliau mengatakan,
“..Ia (Abu Musa) berkata; ‘Janganlah kalian bertanya kepadaku selama orang alim ini berada ditengah-tengah kalian…”
Luarbiasa!
Lihatlah, alangkah indahnya akhlak shahabat Nabi ﷺ. Ketika dikoreksi bisa berlapang dada dan bahkan malah memuji Ibnu Mas’ud dan mengakui keilmuan Ibnu Mas’ud berada di atasnya.
Di zaman sekarang, jika seseorang sudah kadung di”ustaz”kan, di”syaikh”kan, di”ulama”kan, di”kyai”kan, di”gus”kan, sudah tersohor, dan sudah punya pengikut yang banyak, apakah masih mungkin mengikuti teladan dan akhlak mulia seperti Abu Musa Al-Asy’ari di atas?
Yah, insyaallah masih mungkin.
Tapi tentu saja, yang sanggup melakukan akhlak seindah itu hanyalah mereka para hamba-hamba Allah yang salih, yang ikhlas, yang beramal semata-mata karena-Nya. Mereka beramal untuk menyenangkan-Nya dan meraih ridha-Nya, bukan untuk memburu dunia dan tidak mengejar tepuk tangan manusia.
اللهم اجعلنا من عبادك المخلصين