Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Selain tercitra sebagai tokoh besar tasawuf dan sufi, Al-Ghozzali (wafat tahun 505 H) dicitrakan oleh sejumlah dai sebagai tokoh yang miskin ilmu hadis. Opini ini didasarkan pada ucapan Al-Ghozzali sendiri sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir dalam kitab “Al-Bidayah Wa An-Nihayah”. Ibnu Katsir menulis,
“Al-Ghozzali berkata, saya ini sedikit pengetahuan dalam hadis” (Al-Bidayah Wa An-Nihayah, juz 16 hlm 214)
Di tangan para awam, informasi semacam ini lambat laun dipahami dan dipersepsikan bahwa Al-Ghozzali adalah tokoh yang bodoh dalam ilmu hadis! Beliau juga diopinikan sebagai “Hathibu Lail” (حاطب ليل) yang secara harfiah bermakna “pemungut kayu bakar di malam hari” sebagai ungkapan orang yang mengambil hadis tanpa meneliti dan menyaringnya.
Benarkah opini itu?
Untuk mengetahui akurasi opini tersebut, mari kita ulas kitab Al-Ghozzali yang paling populer yaitu “Ihya’ Ulumiddin”.
Dalam hitungan Mamduh (sebagaimana beliau tulis dalam kitab “Is’af Al-Mulihhin”) jumlah riwayat yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin adalah 4848 buah. Angka ini hanyalah perkiraan, karena Mamduh bertumpu pada kitab “Al-Mughni ‘An Hamli Al-Asfar” karya Al-Iroqi, sementara Al-‘Iroqi sendiri mengakui bahwa beliau bisa jadi luput tidak mentakhrij hadis tertentu karena faktor lupa.
Coba kita bandingkan.
Angka 4848 buah riwayat ini, jika dibandingkan dengan riwayat dalam Muwattho’ Malik jelas lebih besar, karena riwayat Muwattho’ Malik tidak mencapai jumlah 4000. Bahkan angka ini masih lebih besar daripada jumlah hadis dalam Sunan Ibnu Majah yang “hanya” 4300-an saja.
Apakah kita membayangkan Al-Ghozzali memasukkan hadis-hadis itu ke dalam kitabnya dengan cara copy-paste seperti orang di zaman kita dengan cara membrowsing di internet dan software kitab? Tentu saja tidak. Yang paling logis adalah memahami bahwa Al-Ghozzali menghafal riwayat-riwayat tersebut.
Coba kita pikirkan.
Bagaimana mungkin orang yang menghafal kira-kira 5000 hadis diopinikan sebagai orang yang bodoh dalam hadis?
Ini baru menghitung riwayat yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Kita belum menghitung riwayat-riwayat yang mestinya juga dikuasai Al-Ghozzali dalam ilmu fikih. Siapapun yang bersikap adil, pasti akan mengakui bahwa Al-Ghozzali adalah ulama yang menguasai fikih Asy-Syafi’i dan bahkan sangat berperan dalam mengembangkan dan memapankannya. Saya pernah membuat catatan khusus soal ini dalam artikel yang berjudul “Jasa Al-Ghozzali Dalam Menolong Mazhab Asy-Syafi’i”
Ada berapa jumlah hadis hukum yang harus dikuasai untuk memahami mazhab Asy-Syafi’i? Jika kita memakai ukuran kitab “Al-Badru Al-Munir” yang merupakan kitab takhrij terhadap kitab “Asy-Syarhu Al-Kabir” karya Ar-Rofi’i (yang merupakan syarah dari kitab “Al-Wajiz” karya Al-Ghozzali), maka jumlah riwayat yang ada di sana adalah sekitar 3000 buah! (catatan tentang kitab “Al-Badru Al-Munir” lebih dalam bisa dibaca dalam artikel saya yang berjudul “Jasa Kitab Al-Badrul Munir dalam Madzhab Syafi’i”).
Bayangkan, sampai di sini kita sudah bisa memperkirakan bahwa Al-Ghozzali telah menghafal dan menguasai sekitar 8000 hadis! Bagaimana mungkin orang yang menghafal kira-kira 8000 hadis diopinikan sebagai orang yang bodoh dalam hadis?
Lagipula, jika kita kembali ke kitab Ihya’ Ulumiddin lalu kita bandingkan dengan data yang ditulis oleh Al-Iroqi dalam “Al-Mughni ‘An Hamli Al-Asfar”, maka akan diketahui bahwa Al-Ghozzali telah melakukan telaah yang sangat luas dalam berbagai sumber hadis. Beliau mengambil hadis dari sumber primer hadis yang diperkaya dengan sumber-sumber sekunder. Malahan, kitab-kitab hadis sebagai sumber primer lebih banyak beliau rujuk untuk mendapatkan hadis dari pada sumber-sumber sekunder. Beliau menukil dari banyak kitab hadis seperti Sahih Al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan An-Nasai, Sunan Abu Dawud, Sunan Ibnu Majah, Musnad Ahmad, kitab-kitab Al-Baihaqi, Al-Ma’ajim Ats-Tsalatsah Ath-Thobaroni dan lain-lain. Dalam sumber sekunder, Al-Ghozzali banyak menukil dari kitab-kitab sufi (seperti “Qut Al-Qulub” karya Al-Makki, kitab-kitab Al-Harits Al-Muhasibi, riwayat-riwayat dari Al-Junaid, Asy-Syibli, Abu Yazid Al-Bisthomi dan lain-lain) dan kitab-kitab fuqoha’. Jumlah hadis dalam kitab Ihya’ Ulumiddin yang hampir 5000 ini tidak akan dicapai oleh seluruh kitab-kitab sufi yang dikarang sampai zaman itu, bahkan juga tidak dicapai oleh kitab-kitab fikih di zaman itu. Selain kitab Ihya’ Ulumiddin, ada dua kitab lain yang menunjukkan telaah luas Al-Ghozzali dalam ilmu hadis yaitu “Al-Mankhul min Ta’liqot Al-Ushul” dan “Al-Mustashfa min Ilmi Al-Ushul”.
Oleh karena itu, ucapan Al-Ghozzali yang berbunyi,
“saya ini sedikit pengetahuan dalam hadis”
Ucapan itu justru lebih dekat dipahami menunjukkan ketawadhu’an beliau. Bisa dibayangkan, orang yang menguasai fikih syafi’i berikut dalil-dalilnya dan juga menulis Ihya’ Ulumiddin yang jumlah hadisnya melebihi jumlah hadis dalam kitab Muwattho’ Malik lalu mengatakan bahwa perbendaharaan hadisnya minim! Tentu saja ucapan seperti ini lebih layak untuk dipahami sebagai bentuk ketawadhukan dari seorang ulama yang mengetahui kadar dirinya. Ucapan Al-Ghozzali juga benar. Perbendaharaan hadis beliau tentu layak dikatakan lebih sedikit jika dibandingkan dengan ulama-ulama besar sebelum masa beliau yang memang spesialisasinya dalam ilmu hadis seperti Al-Baihaqi, Ibnu ‘Asakir, Ad-Daroquthni, Ibnu Mandah, Ibnu Khuzaimah dan semisalnya.
Karena itu, ucapan tersebut seyogyanya tidak disalahpahami dan malah dipakai untuk menikam Al-Ghozzali. Ucapan itu seharusnya dipakai untuk bersikap proporsional terhadap Al-Ghozzali. Tegasnya, jangan memposisikan Al-Ghozzali seperti ahli hadis yang bisa ditaklidi dalam hal penilaian hadis karena memang hadis bukan bidang beliau. Beliau bukan ahli hadis dengan makna bahwa beliau bukan pakar hadis yang sanggup menghafal ratusan ribu hadis, melakukan kritik sanad dan matan, memiliki pengetahuan rijal, ilal dan berbagai disiplin ilmu hadis yang lain.
Makna seperti inilah yang disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kitab “Dar-u At-Ta’arudh”. Beliau berkata,
“Abu Hamid (Al-Ghozzali) tidak memiliki pengetahuan dan perbendaharaan hadis nabi serta riwayat salaf sebagaimana orang yang pakar di bidang tersebut. Yakni para ahli yang sanggup menilai mana yang sahih dan mana yang tidak sahih (Dar-u Ta’arudhi Al-‘Aql wa An-Naql, juz 7 hlm 149)
Ibnu Taimiyyah juga menyebut bahwa kalaupun ada hadis bermasalah dalam kitab Al-Ghozzali, hal itu bukanlah karena disengaja tetapi hanya karena semata-mata ketidaktahuan. Beliau menulis,
“Oleh karena itu, beliau (Al-Ghozzali) dalam kitab-kitabnya menyebut hadis-hadis dan atsar-atsar yang maudhu’ dan dusta yang mana SEANDAINYA BELIAU TAHU itu maudhu, pasti beliau tidak menyebutkannya” (Dar-u Ta’arudhi Al-‘Aql wa An-Naql, juz 7 hlm 149)
Dengan memahami Al-Ghozzali seperti ini, barangkali tidak salah jika kita katakan bahwa saat ini di Indonesia (bahkan di dunia) tidak ada satupun ulama atau dai yang mencapai derajat ahli hadis setingkat Al-Baihaqi, Ibnu ‘Asakir, Ad-Daroquthni, Ibnu Mandah, Ibnu Khuzaimah, Az-Zaila’i, Al-‘Iroqi, Ibnu Al-Mulaqqin, Ibnu Hajar Al-‘Asqolani, As-Sakhowi, dan semisalnya. Jangankan setingkat mereka, khusus untuk ulama Indonesia, selevel Al-Ghozzali yang kira-kira menghafal 8000 hadis saja mungkin belum ada atau mungkin ada tetapi sangat sedikit.
Dengan fakta seperti ini, wajar jika Al-Ghozzali terjatuh dalam beberapa hadis dhoif, karena beliau kadang-kadang memang merujuk pada kitab-kitab tasawwuf, semantara para sufi sudah dikenal sejak lama suka bermudah-mudah dalam menerima hadis, karena tumpuan utama pembahasan mereka adalah hadis-hadis “roqo-iq” (uraian lebih panjang tentang roqo-iq bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Arti Roqoiq”)
Selain itu, Al-Ghozzali juga hidup dalam lingkungan akademis yang menonjolkan nalar “’aqli hujji” (rasional-argumentatif), karena beliau adalah murid Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini yang dikenal sebagai pakar besar ilmu kalam. Dengan lingkungan seperti ini menjadi lebih mudah dimengerti jika perhatian beliau terhadap ilmu hadis tidaklah sekuat perhatian terhadap ilmu kalam, ilmu filsafat dan serangan terhadap pemahaman-pemahaman menyimpang yang bersifat aqli.
Jadi, jika Al-Ghozzali mengalami waham, “dzuhul” dan “khotho’” dalam hadis, maka lebih adil jika kita katakan itu manusiawi karena beliau memang bertaklid dalam menulis hadis pada ulama lain. Tidak boleh dikatakan bahwa Al-Ghozzali jahil (bodoh) dalam ilmu hadis hanya karena sebab ini. Waham, “dzuhul” dan “khotho’” adalah kelemahan yang menimpa seluruh ulama tanpa kecuali, termasuk Al-Ghozzali. (Pembahasan lebih detail tentang waham bisa dibaca dalam catatan saya yang berjudul “Waham-Waham Ulama”)
Jika kitab pembersihan jiwa semacam Ihya’ Ulumiddin tidak selamat dari hadis dhoif atau maudhu’, maka kitab-kitab yang lebih ketat dari itu yakni kitab-kitab fikih juga tidak selamat dari riwayat-riwayat lemah. Fakta adanya riwayat lemah dalam kitab fikih inilah yang membuat sejumlah ahli hadis membuat kitab takhrij untuk mengulas riwayat-riwayat lemah tersebut. Kita mengenal kitab-kitab yang ditulis untuk kepentingan ini seperti “At-Tahqiq fi Takhriji At-Ta’aliq” karya Ibnu Al-Jauzi, “Nashbu Ar-Royah” karya Az-Zaila’i, “Al-Badru Al-Munir” karya Ibnu Al-Mulaqqin dan lain-lain.
Apalagi kitab-kitab tafsir. Banyak kitab tafsir yang mengandung hadis dhoif, maudhu’, bahkan isroiliyyat. Bahkan kitab-kitab hadis sendiri juga banyak yang mengandung hadis dhoif dan palsu, yakni kitab-kitab yang pengarangnya hanya sengaja mengkompilasi, tidak mensyaratkan riwayat sahih. Kitab “Al-Kabair” karya Adz-Dzahabi juga banyak mengandung riwayat-riwayat lemah.
Apakah fakta ini membuat kita harus membuang semua kitab-kitab berharga itu?
Tentu tidak. Sikap yang adil mengharuskan kita menyikapi sesuatu secara proporsional. Jasa seorang ulama tidak kita ingkari, tetapi pada saat yang sama kita juga kritis untuk menolak hal-hal yang memang tidak benar.
Ulama masa lalu yang serius mengkaji kitab-kitab Al-Ghozzali ada dua yaitu Al-Iroqi dan Murtadho Az-Zabidi. Jadi, untuk mendapatkan gambaran yang lebih adil terhadap Al-Ghozzali, adalah langkah yang bijaksana jika merujuk karya-karya mereka berdua yang terkait Al-Ghozzali terutama kitab “Al-Mughni ‘an Hamli Al-Asfar” karya Al-‘Iroqi yang merupakan takhrij hadis yang ada dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dan kitab “Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin” karya Az-Zabidi yang merupakan syarah kitab Ihya’ Ulumiddin.
رحم الله الغزالي رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
2 Comments
rivaldy
disitu tertulis Mahmud sebagai pengarang kitab Is’af al mulihhin.. mengapa tidak antum tuilis lengkap, mahmud said mamduh, atau menyematkan padanya gelar “syaikh”? tidak elok kami membacanya
Admin
Jazakallahu khairan telah mampir di sini
jika kami diberi kesempatan bertemu langsung dengan Syaikh Mamduh, insyaallah kami akan memanggilnya dengan Syaikh Mamduh, karena sungguh adab yang kurang baik berbicara dengan orang ‘alim secara langsung berhadap-hadapan dengan menyebut nama beliau secara langsung.
Bahkan, mungkin kami juga akan mencium tangan beliau.
Dalam semua artikel yang dipublikasikan di blog ini, kami biasa menyebut An-Nawawi, Asy-Syafi’i, Ar-Rofi’i, Al-Ghozzali, Ad-Daroquthni, Al-Haitami, Al-Asqolani, Ibnu Taimiyyah, dan selain mereka rahimahumullahu rohmatan wasi’ah. Bahkan kami juga menyebutkan nama sahabat semisal Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, ‘Aisyah, ibnu ‘Umar, ibnu ‘Abbas, ibnu Mas’ud dan selainnya radhiyallahu ‘anhum.
Begitu pula dengan para ulama kontemporer.
Kesemua nama-nama mulia tersebut biasa kami sebutkan dengan tanpa memperpanjang sebutan syaikh/syaikhoh. Hal ini biasa dalam penulisan artikel ilmiah dan sama sekali tidak mencederai kehormatan mereka.
Justru penyebutan karya mereka, kisah hidup mereka adalah penghormatan kami kepada mereka. Kami tidak menutup-nutupi yang kami tahu, tidak mengurangi maupun menambah-nambahi keterangan yang seharusnya.
Tak lupa di akhir artikel kami mendoakan para ulama dan berharap kami & pembaca diberi rasa cinta oleh Allah kepada para ulama dan shalihin, itu tentu saja berlaku bagi setiap ulama yang kami kutip dalam artikel.
Penghormatan bukanlah dari penyebutan nama, namun dari sikap. Pengutipan jasa beliau adalah bentuk penghormatan besar. Semoga Allah membalas jasa beliau dan ulama kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.