Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
An-Nawawi dan Ibnu Malik adalah dua “raksasa” ilmu yang bukan hanya bisa ditimba ilmunya yang demikian “menyamudera” itu, tetapi juga bisa diteladani akhlaknya yang indah. Mereka adalah ulama yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Wajar jika segmen-segmen kehidupan mereka penuh dengan kisah-kisah ajaib yang sungguh menginspirasi untuk ditiru dan dipraktrekkan di zaman rusak adab seperti sekarang ini.
Contoh adab dan akhlak luhur yang dicontohkan An-Nawawi adalah dalam hal cara memanggil sang guru pada saat mengutip ilmu darinya. Dalam karangan-karangannya, An-Nawawi memanggil Ibnu Malik dengan panggilan kehormatan; “syaikhuna” (guru kami). Misalnya seperti yang dikutip oleh Zakariyya Al-Anshori dalam kitab “Al-Ghuror Al-Bahiyyah” berikut ini,
“An-Nawawi berkata, ‘Guru kami; Ibnu Malik telah menyebutkan secara bersamaan dua cara pelafalan kata tersebut (ghoslun dan ghuslun) tanpa mentarjih”. (Al-Ghuror Al-Bahiyyah, juz 2 hlm 104)
Maksud ungkapan di atas adalah sebagai berikut.
Telah diketahui dalam pembahasan fikih, lafaz (غسل) yang bermakna “mandi” bisa dibaca dengan dua cara yaitu dengan memfathahkan “ghoin” (غَسْلٌ) dan mendhommahkan “ghoin” (غُسْلٌ). Jika dibaca dengan memfathahkan “ghoin” (ghoslun) maka maknanya salah satu di antara dua, yaitu “membasuh” atau “mandi”. Jika dibaca dengan mendhommahkan “ghoin” (ghuslun) maka maknanya bisa tiga, yaitu “membasuh” atau “mandi” atau “air yang dipakai untuk mandi”. Hanya saja, seluruh fuqoha’ atau minimal mayoritas mereka telah mengkhususkan lafaz “ghuslun” (dengan mendhommahkan “ghoin”) untuk makna “mandi”. Cara pelafalan inilah yang umumnya kita dapati dalam kitab-kitab fikih.
Bahwa makna mandi dalam bahasa Arab bisa diungkapkan dengan lafaz “ghoslun” atau “ghuslun” ini dikutip An-Nawawi dari gurunya; Ibnu Malik. An-Nawawi menginformasikan bahwa Ibnu Malik saat mengajarkan lafaz tersebut tidak mentarjih mana yang lebih fasih untuk menyebut makna “mandi” apakah lafaz “ghoslun” ataukah “ghuslun”. Itulah makna ucapan An-Nawawi,
“Guru kami; Ibnu Malik telah menyebutkan secara bersamaan dua cara pelafalan kata tersebut (ghoslun dan ghuslun) tanpa mentarjih.”
Setelah An-Nawawi menanyakan tarjihnya, Ibnu Malik menjelaskan bahwa untuk makna “mandi” pelafalan yang terpilih adalah “ghuslun” (غُسْلٌ).
Lihatlah indahnya akhlak An-Nawawi. Meski beliau adalah “orang besar”, tak segan-segan beliau menyebut nama gurunya lengkap dengan panggilan kehormatan secara lugas, tanpa takut “tersaingi”, kuatir “kalah pamor”, merasa rendah, merasa tak pantas dan perasaan-perasaan hina lainnya.
Akhlak seperti ini pada zaman sekarang sudah langka. Umumnya orang kalau sudah merasa besar, maka dia gengsi menyebut seseorang sebagai salah satu gurunya. Apalagi jika orang yang menjadi gurunya itu dalam satu waktu sudah dianggap ilmunya lebih rendah darinya. Lebih parah dari itu kadang orang tidak mau mengakui sebagai guru ketika gurunya itu dianggap sudah “tidak sebarisan” dengannya. Lihat pula akhlak buruk sebagian orang yang ketika melihat tulisan bagus, lalu dipublikasikan atas namanya, menyembunyikan penulis aslinya demi mendapatkan popularitas, “like” yang banyak, “follower” bejibun, decak kagum manusia, dan pujian “wow” dari yang membacanya.
Adapun Ibnu Malik, beliau juga menunjukkan akhlak yang sangat luhur dalam kerendah-hatian. Meskipun Ibnu Malik tahu bahwa An-Nawawi adalah muridnya, dan juga tahu bahwa An-Nawawi adalah ulama besar di zamannya, tetapi Ibnu Malik tidak “aji mumpung” kemudian memanfaatkan populatitas murid untuk meninggikan namanya.
Para ulama sudah tahu bahwa An-Nawawi sering bertanya persoalan nahwu kepada Ibnu Malik. Akan tetapi, dalam tiap pembahasan yang ditulis Ibnu Malik dalam kitab-kitabnya, beliau tidak pernah sekalipun menyebut nama “An-Nawawi”!
Ini adalah akhlak yang luar biasa tawadhu’. Ibnu Malik tidak mau “numpang tenar” dengan nama besar An-Nawawi. Tidak merasa besar, hebat dan bangga ketika ditanyai seorang An-Nawawi. Keikhlasannya memang tampak menonjol pada kejadian ini. Akhlak semacam ini pada zaman sekarang juga langka. Biasanya, jika ada orang populer, orang yang merasa menjadi gurunya akan “gatal” untuk pamer dan menceritakan hubungan dirinya dengan orang populer tersebut. Dia tak tahan untuk mengungkit-ungkit jasanya agar dia ikut menjadi “besar” setelah mengaku sebagai guru “orang besar”.
Ibnu Malik juga dikenal ikhlas, adil dan obyektif dalam memilih pendapat. Saat masih di Andalus, beliau bermazhab Maliki mengikuti mayoritas kaum muslimin yang ada di sana. Akan tetapi, setelah beliau pindah ke Syam, lalu melihat kekuatan dan ketajaman ijtihad mazhab Asy-Syafi’i beliau tidak segan-segan berpindah mazhab dan akhirnya beliau menyatakan sebagai pengikut mazhab Asy-Syafi’i.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين