Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Qodho’ (القضاء) adalah menjelaskan hukum syara’ dengan disertai ada unsur pemaksaan untuk menerapkannya. Beda dengan fatwa karena fatwa (الفتوى) itu menjelaskan hukum syara’ tanpa ada unsur pemaksaan untuk melaksanakannya.
Jadi perbedaan paling mendasar antara qodho dengan fatwa adalah adanya unsur ilzam (الإلزام) (mengikat/mewajibkan/memaksa). Qodho’ mengandung unsur ilzam sementara fatwa tidak mengandung unsur ilzam. Syamsuddin Ar-Romli berkata,
“(Qodho’ adalah ) pemaksaan (ilzam) yang dilakukan oleh orang yang memiliki (otoritas) memaksa untuk (melaksanakan) hukum syara’. (Nihayatu Al-Muhtaj, juz 28 hlm 63)
Dalam kitab Mu’jamu Lughoti Al-Fuqoha’ disebutkan,
“Fatwa adalah hukum syara yang dijelaskan seorang faqih kepada orang yang bertanya kepadanya”. (Mu’jamu Lughoti Al-Fuqoha’ juz 1 hlm 407)
Dengan definisi tersebut, bisa dipahami bahwa qodho’ hanya mungkin dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Pasalnya, hukum bisa dipaksakan untuk diterapkan hanya oleh orang memiliki kekuasaan yang berfungsi untuk menegakkan hukum. Adanya aparat penegak hukum yang berfungsi sebagai “backing” penerapan hukum, seperti polisi misalnya, adalah syarat asasi agar penjelasan hukum syara’ itu bisa digolongkan sebagai qodho’. Oleh karena sifatnya memaksa, maka hukum taklifi yang mungkin diurus dalam qodho’ hanya terbatas tiga macam saja, yakni wajib, haram dan mubah. Hukum makruh dan sunnah tidak mungkin bersinggungan dengan qodho’ karena tidak mungkin ada pemaksaan pada perkara sunnah dan makruh. Adapun fatwa, ia lebih luas dan akan mengurusi semua hukum taklifi yang berjumlah lima itu (wajib, sunnah, mubah, makruh, haram).
Dari definisi di atas bisa dipahami juga bahwa fatwa itu lebih luas sifatnya, karena bisa mencakup tema ibadah, muamalat, adab dan lain-lain. Berbeda dengan qodho’ yang biasanya terbatas pada tema-tema perselisihan di antara manusia seperti masalah rebutan warisan, utang-piutang, qishosh atau tindakan kriminal tertentu seperti hukuman zina, minum khomr dan lain-lain. Qodho’ tidak pernah mengurusi apakah salat seseorang itu dipandang sah ataukah batal.
Karena dua hal ini berbeda, maka syarat menjadi qodhi (hakim) yang akan menelurkan qodho’ berbeda dengan syarat untuk menjadi mufti (pemberi fatwa). Untuk menjadi hakim, disyaratkan harus lelaki, sementara untuk mufti tidak harus lelaki. Wanita, bahkan budak, orang buta dan orang bisu juga boleh menjadi mufti.
Terkait mana yang lebih berbahaya dan rawan antara fatwa dan qodho’ ada perbedaan pendapat.
Sebagian ulama berpendapat fatwa lebih rawan dan lebih berbahaya daripada qodho’, karena fatwa itu sifatnya berlaku umum. Fatwa bukan hanya diterapkan orang yang meminta fatwa, tetapi juga bisa diterapkan orang lain selain dia. Berbeda dengan qodho’ yang area penerapannya terbatas, yakni hanya pada orang yang terlibat sengketa atau terkena kasus hukum.
Hal lain yang membuat fatwa lebih rawan adalah, karena fatwa itu biasanya dibutuhkan cepat sehingga pemberi fatwa kadang tidak punya waktu untuk merenungi dan menjawab yang berbasis studi yang mendalam. Jadi peluang salahnya lebih besar daripada qodho’ dan kadang hanya cocok untuk satu kejadian sementara untuk peristiwa yang lain tidak bisa diterapkan.
Adapula yang berpendapat qodho’ lebih rawan. Alasannya, qodho’ itu sifatnya bisa memaksa untuk diterapkan, padahal kemungkinan salah memberi putusan hukum bisa saja terjadi. Kita sudah terbiasa mendengar berita yang mana seorang hakim keliru menghukum seseorang (misalnya karena dituduh membunuh), setelah puluhan tahun kemudian ternyata baru terbukti bahwa dia tidak bersalah.
An-Nawawi mengutip pernyataan Qodhi Syuraih yang tidak bersedia memberi fatwa karena tugasnya adalah menerbitkan Qodho’. Pernyataan Syuraih ini menegaskan bahwa qodho’ memang berbeda dengan fatwa dan memberi kesan bahwa fatwa lebih berbahaya daripada qodho. An-Nawawi berkata,
“Syuraih mengatakan; Saya mengeluarkan qodho’ (mengadili) bukan berfatwa (Adabu Al-Fatwa wa Al-Mufti wa Al-Mustafti, hlm 22)
Ibnu Al-Mundzir juga dikenal memberi pernyataan bahwa Qodhi itu dimakruhkan untuk memberi fatwa dalam masalah-masalah hukum syara’.
Wallahua’lam
اللهم فقهنا في الدين وعلمنا التأويل