Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Dahulu, ada seorang “ustaz”, “syaikh”, “kyai”, dan “ulama” di kalangan Yahudi yang bernama Abdullah bin Salam.
Saat masih “bersama” Yahudi, beliau dipuji-puji, dihebat-hebatkan, dielu-elukan dan dibangga-banggakan. Tetapi setelah tidak “bersama” dengan Yahudi dan memilih “keluar” dari keyahudiannya dan bahkan mengkritik Yahudi, maka segera saja beliau dimaki-maki, dihina-hina, dijelek-jelekkan, digelari dengan julukan-julukan buruk dan diingkari semua kebaikan serta jasanya.
Kaum Yahudi yang pernah meng”ustaz”kan, meng’ulama’kan, menjadikannya sebagai rujukan, dan mengandalkannya untuk memberi jawaban terhadap “serangan” kepada Yahudi itu tiba-tiba menjelma menjadi “murid-murid durhaka” berlisan kotor.
Mereka menutupi semua kebaikan Abdullah bin Salam selama ini dan tidak pernah menganggapnya sebagai guru lagi sama sekali. Mereka melakukan tiga kemungkaran sekaligus, yaitu dusta, “buhtan” (fitnah) dan kufur nikmat (dengan menjelma menjadi murid-murid durhaka).
Percaya atau tidak, watak Yahudi yang hina, amoral, biadab, tak bermartabat dan keji seperti ini ternyata juga menjangkiti sebagian umat Islam juga. Terutama mereka yang sedang terinfeksi virus ashobiyyah. Mereka-memuji-muji guru dien mereka saat masih dianggap “sama”, tapi segera memaki-maki dan melupakan semua jasanya saat sudah dianggap “tidak sama” lagi.
Kisah Abdullah bin Salam tercantum dalam sahih Al-Bukhari,
“(Abdullah bin Salam berkata) ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya Yahudi adalah kaum tukang fitnah. Kalau mereka tahu aku masuk Islam sebelum engkau menanyai mereka tentang aku, maka mereka akan memfitnahku di depanmu’.
Lalu datanglah Yahudi (ke rumah Rasulullah) dan Abdullah bin Salam masuk dalam rumah itu (dan bersembunyi).
Rasulullah ﷺ bertanya (kepada mereka), ‘Menurut kalian Abdullah bin Salam itu orang yang bagaimana?’
Mereka menjawab, “Beliau adalah orang yang paling berilmu di kalangan kami, putra orang yang paling berilmu di kalangan kami, orang yang paling terbaik di tengah-tengah kami dan putra orang terbaik di tengah-tengah kami.’
Rasulullah ﷺ bersabda, bagiamana pendapat kalian jika Abdullah bin Salam masuk Islam?’
Mereka menjawab, “Semoga Allah melindunginya dari hal tersebut’.
Maka keluarlah Abdullah bin Salam di tengah-tengah mereka dan berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tiada ilah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”.
Maka mereka berkomentar, “Orang terburuk di antara kami dan putra orang terburuk di antara kami.” Dan mereka memaki-maki beliau” (H.R. Al-Bukhari)
Murid-murid durhaka adalah murid-murid yang mengingkari kebaikan gurunya. Mereka adalah kaum-kaum kufur nikmat. Tidak mau mengakui jasa gurunya yang pernah mengajarinya ilmu di masa lalu. Saat masih “baikan”, murid-murid ini menyanjung-nyanjung gurunya, memuji-mujinya, mengelu-elukannya dan memanggilnya dengan panggilan-panggilan kehormatan. Tapi saat sudah dianggap “berbeda” tiba-tiba gurunya ini dihinakannya, dicaci-maki, difitnah macam-macam, digelari dengan gelar-gelar buruk, dikorek-korek kekurangannya, dicari-cari kesalahannya, disifati nyeleneh, digelari provokator, dituduh sakit hati dan dipanggil langsung dengan namanya dengan penuh pelecehan. Saat masih “baikan”, para murid ini masih rajin mengunjungi gurunya, meminta nasihatnya, mendoakannya, mengundangnya, menimba ilmu darinya, dan mengandalkannya untuk “menyerang” mereka yang dianggap melemahkan keyakinannya. Tetapi begitu sang guru ini dianggap “berbeda”, tiba-tiba muncullah hujan caci maki, ilmunya diremehkan, rumahnya tak dikunjungi, nasihatnya tidak lagi dinanti, hubungan dengannya di-muqotho’ah/hajr (putus hubungan), namanya tidak lagi dimasukkan dalam doa, dan bahkan dengan kejam dijadikan bahan gunjingan dalam forum-forum terbatas mereka.
Murid-murid yang dimaksud di sini bisa saja murid yang memang memiliki hubungan erat dan pernah secara langsung menimba ilmu sang guru dalam satu majelis, bisa juga murid-murid yang mengambil ilmu dari gurunya secara tidak langsung, melalui berbagai media entah itu buku, kaset, internet dan semisalnya, tanpa membedakan apakah si murid ini mengambil ilmunya diam-diam tanpa sepengetahuan guru maupun dengan sepengetahuan sang guru.
Murid-murid durhaka bisa berasal dari mana saja. Mereka bisa muncul dari organisasi, jam’iyyah, kelompok, harokah, jamaah dan afiliasi apa saja. Mereka bisa muncul dari kalangan awamnya (dan ini yang paling banyak) dan bisa juga muncul dari kalangan para elit dan tokohnya.
Penyebab munculnya murid-murid durhaka ini bisa banyak. Bisa saja karena perbedaan keyakinan, perselisihan soal uang, perselisihan karena wanita, perbedaan preferensi politik, penemuan guru baru atau komunitas baru yang dianggap lebih “wow” dan lain-lain. Tetapi penyebab terbanyak yang memunculkan murid-murid durhaka adalah ashobiyyah kelompok. Ketika sebab-sebab tadi bertemu dengan kebodohan terhadap ilmu terkait hak-hak guru dan kewajiban berterima kasih atas jasa manusia, maka terbentuklah murid durhaka “yang sempurna”.
Mereka yang terjangkiti virus ashobiyyah ini menjadikan afiliasi dan tokoh-tokohnya sebagai standar kebenaran, bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang dikatakan tokoh afiliasinya, itulah kebenaran. Semua pendapat ulama yang berbeda dengan pendapat tokohnya wajib dianggap lemah dan pasti salah. Kalaupun ada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tampak berbeda dengan pemikiran dan penjelasan tokohnya, maka itu wajib ditakwil agar sesuai dengan pendapat tokoh dan afiliasinya.
Kedurhakaan murid kepada gurunya adalah maksiat karena minimal mengandung tiga kemungkaran yaitu kesombongan, kufur nikmat dan tasyabbuh.
Kedurhakaan murid terhadap gurunya dikatakan bentuk kesombongan dan ujub, karena sang murid sudah merasa lebih baik dan lebih berilmu daripada guru, dan kesombongan adalah dosa besar.
Kedurhakaan murid terhadap gurunya dikatakan bentuk kufur nikmat, karena tidak mau mengakui kebaikan guru yang telah mengajarinya di masa lalu apalagi berfikir membalasnya, dan kufur nikmat adalah dosa besar. Abu Dawud meriwayatkan,
“Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda, tidak (dikatakan) bersyukur kepada Allah orang yang tidak (bisa) bersyukur (berterima kasih) kepada manusia” (H.R. Abu Dawud)
Allah tidak menerima syukur hamba jika dia tidak bisa berterima kasih kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Kufur nikmat termasuk dosa besar. Karena itulah, tidak heran jika ada hadis wanita masuk neraka gara-gara tidak bisa berterima kasih terhadap kebaikan suaminya. Guru dalam dien termasuk di antara hamba Allah yang paling berjasa bagi manusia. Maka mengkufuri jasa dan kebaikan mereka adalah dosa besar yang membuat pelakunya terancam ke neraka.
Banyak ulama salaf yang mengatakan bahwa orang yang mengingkari jasa orang lain itu termasuk muthoffifin yang diancam neraka dalam ayat. Murid-murid durhaka adalah orang yang mengingkari jasa gurunya, jadi mereka termasuk termasuk muthoffifin.
Ini semua adalah penjelasan mengapa kedurhakaan terhadap guru dikatakan sebagai bentuk kesombongan dan kufur nikmat.
Adapun mengapa kedurhakaan terhadap guru dikatakan tasyabbuh, sebabnya adalah karena menyerupai watak satu umat yang dilaknat Allah, yakni umat Yahudi sebagaimana diceritakan di awal tulisan ini.
Durhaka terhadap guru adalah kemaksiatan dan dosa, walaupun sebab beliau “berbeda” dengan kita adalah karena urusan dunia. Jika sebab beliau “berbeda” itu adalah karena urusan dien yang mencerminkan ketakwaan, seperti karena sang guru memilih pendapat yang lebih kuat menurut beliau atau meninggalkan komunitas lama karena sudah dipandangnya komunitas menyimpang, atau tersesat atau ahlul bid’ah, maka sebab seperti ini jauh lebih luhur dan lebih tidak pantas dijadikan alasan untuk durhaka terhadap guru. Perbedaan pendapat dalam persoalan ikhtilaf yang menyeret kepada sikap kedurhakaan saja sudah tergolong adab yang buruk, apalagi jika perbedaan itu memang terjadi karena afiliasi lama yang ditinggalkan adalah kelompok yang diduga kuat menyimpang dari dien.
Hanya satu kondisi ketika guru kehilangan “kehormatannya”, yakni ketika dia telah murtad dan keluar dari Islam. Jika itu yang terjadi, maka saat itu juga ia diperlakukan sebagai orang murtad dan berlaku hukum-hukum kemurtadan padanya. Adapun jika beliau masih muslim, apalagi masih tetap menyebarkan ilmu untuk menegakkan kalimatullah, maka hak beliau sebagai muslim dan guru tidak pernah lepas sampai hari kiamat.
Kalau ada komunitas manapun yang mengajarkan kepada rekan seafiliasinya agar durhaka kepada guru-gurunya, atau minimal membiarkannya dan tidak melakukan amar makruf nahi mungkar, maka sesungguhnya mereka adalah komunitas yang berwatak Yahudi. Kita tidak merekomendasikan para awam belajar kepada komunitas yang punya watak seperti itu, sebelum mereka serius melenyapkan tradisi hina itu, karena potensi menyesatkannya sangat besar.
Tentu saja tidak semua orang menjadi murid durhaka meski gurunya “sudah berbeda” dengan dia. Insya Allah masih ada murid-murid bermartabat dan berakhlak luhur karena tahu bagaimana memperlakukan gurunya. Insya Allah murid-murid seperti ini lebih bersih hatinya, lebih dekat dengan keikhlasan dan lebih jauh dari ashobiyyah.
Bagaimana caranya agar tidak termasuk murid-murid durhaka?
Balaslah kebaikan gurumu dengan perbuatan baik semampumu. Jika tidak mampu, maka doakanlah. Jika tidak mampu maka pujilah kebaikannya di depan orang-orang. Jika tidak mampu maka minimal diamlah dan jangan ikut-ikut dengan para pencaci berakhlak rendah itu.
Semoga Allah merahmati para guru-guru yang sabar dengan kedurhakaan sebagian murid-muridnya. Semoga pula Allah memberi rahmat murid-murid para murid yang selamat dari ujian untuk berbuat durhaka terhadap guru-gurunya.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين