Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin / M.R Rozikin)
Pertanyaan
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokaatuh ustadz, ada yang mau saya tanyain perihal jama-qashar sholat.
Seperti saya yang kerja di luar kota yang tidak diketahui kapan pulangnya, dan kerja shift malam (6 sore ke 6 pagi), bolehkah saya menjamak sholat dzuhur dan ashar ketika bangun dengan jama’ takhir?
Atau saya harus bangun tiap waktu sholat dengan resiko kerja malam akan mengantuk karena kurang istirahat (Arif Cinere)
JAWABAN
Wa’alaikumussalam Warohmatullah Wabarokatuh.
Jika tempat kerjanya jauh, yakni minimal 4 barid, maka boleh menjamak dan mengqoshor. Tetapi jika kurang dari 4 barid, maka tidak boleh menjamak dan mengqoshor. Dalil ketentuan mengapa jarak qoshor minimal adalah 4 barid adalah atsar Ibnu Umar dan Ibnu Abbas yang hanya mengqoshor salat jika jarak minimalnya 4 barid. Al-Baihaqi meriwayatkan,
عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِى رَبَاحٍ : أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ كَانَا يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ ، وَيُفْطِرَانِ فِى أَرْبَعَةِ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ. (السنن الكبرى للبيهقي وفي ذيله الجوهر النقي (3/ 137)
‘Dari Atho’ bin Abi Rabah bahwasanya Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas sholat dua rokaat dan tidak berpuasa pada jarak 4 barid atau lebih dari itu” (H.R. Al-Baihaqi, juz 3 hlm 137)
Empat barid setara dengan 48 mil atau dengan ukuran sekarang adalah sekitar 88 Km. An-Nawawi berkata,
طويل السفر ثمانية وأربعون ميلا (منهاج الطالبين وعمدة المفتين في الفقه (ص: 44)
“Jarak safar (syar’i) adalah 48 mil” (Minhaj Ath-Tholibin, hlm 44)
An-Nawawi juga menegaskan bahwa orang-orang yang terus menerus melakukan safar juga boleh melakukan qoshor. Beliau berkata,
وَيَجُوزُ الْقَصْرُ فِي سَفَرِ الْمَاءِ فِي السَّفِينَةِ لِأَنَّهُ سَفَرٌ دَاخِلٌ فِي نَصِّ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَسَوَاءٌ فِيهِ مَنْ رَكِبَ مَرَّةً أَوْ مَرَّاتٍ وَالْمَلَّاحُ الَّذِي مَعَهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيُدِيمُ السَّيْرَ فِي الْبَحْرِ وَالْمُكَارِي وَغَيْرُهُمْ فَكُلُّهُمْ لَهُمْ الْقَصْرُ إذَا بَلَغَ سَفَرُهُمْ مَسَافَةً لَوْ قُدِّرَتْ فِي الْبَرِّ بَلَغَتْ ثَمَانِيَةً وَأَرْبَعِينَ مِيلًا هَاشِمِيَّةً لَكِنَّ الْأَفْضَلَ لَهُمْ الْإِتْمَامُ نَصَّ عَلَيْهِ الشَّافِعِيُّ وَاتَّفَقَ عَلَيْهِ الْأَصْحَابُ وَبِهَذَا قَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ وَدَاوُد وَغَيْرُهُمْ (المجموع شرح المهذب (4/ 322)
“Boleh meng-qashar shalat dalam perjalanan air seperti dalam sebuah kapal, karena itu termasuk (definisi) safar yang tercakup dalam nash Alquran dan as-sunnah. Tidak dibedakan apakah dia naik sekali atau beberapa kali. Termasuk juga (boleh mengqoshor) pelaut yang ditemani keluarganya dan hartanya dan terus-menerus melakukan perjalanan di laut. Termasuk juga (boleh mengqoshor) orang yang (berbisnis) menyewakan kendaraan dan selain mereka. Seluruhnya boleh meng-qashar jika mereka mencapai jarak yang seadanya diukur di daratan akan mencapai 48 mil hasyimiyah. Akan tetapi, yang lebih afdal adalah tidak mengqoshor/itmam. Ini yang dinyatakan oleh As Syafii dan disepakati oleh ulama Syafi’iyah mutaqoddimin. ini juga pendapat Malik, Abu Hanifah, Dawud dan selain mereka” (Al-Majmu’, juz 4 hlm 322)
Hanya saja, bagi orang-orang yang terus menerus melakukan safar yang paling afdhol adalah itmam/tidak mengqoshor meskipun mengqoshor boleh. An-Nawawi berkata,
والصواب أن من دام سفره كالملاح ونحوه فالإتمام له أفضل وإن طال سفره (تصحيح التنبيه، ص 152)
Yang paling kuat adalah, siapapun yang safarnya terus-terusan seperti seorang pelaut dan semisalnya, maka tidak mengqoshor adalah afdol selama apapun safar tersebut” (Tash-hih At-Tanbih, hlm 152)
Wallahua’lam