Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Awas!
Ciri orang celaka itu justru di dunia banyak bahagianya!
Allah berfirman,
Artinya,
“Dia (penghuni neraka itu) dulu (di dunia) terbiasa berbahagia di tengah-tengah keluarganya (sehingga hari ini harus menangis dan menderita karena siksa) [Al-Inshiqaaq : 13)
Yakni bahagia dengan kenikmatan duniawi. Bermegah-megahan dengan dunia. Banyak ketawa yang mengeraskan hati. Gemar memamerkan pencapaian duniawi dan hidupnya difokuskan untuk mengejar kebahagiaan duniawi semaksimal mungkin.
Ibnu Zaid berkata,
Artinya,
“Allah mendeskripsikan penghuni surga dengan rasa takut, kesedihan, tangisan dan kekhawatiran selama di dunia. Kemudian Allah menggantikannya dengan kenikmatan dan kebahagiaan di akhirat.
Beliau (Ibnu Zaid) membaca firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya kami dulu sebelumnya (di dunia) senantiasa kuatir di tengah-tengah keluarga kami. Kemudian Allah memberi karunia kepada kami dan melindungi kami dari siksaan angin yang amat panas.”
Beliau (Ibnu Zaid) berkata, “Allah mendeskripsikan penghuni neraka dengan kebahagiaan di dunia, ketawa saat hidup dan bercanda ria. Allah berfirman, “Sesungguhnya dia dulu itu senantiasa berbahagia di tengah-tengah keluarganya.”
Siapapun bisa kena ayat ini. Termasuk saya, Anda dan kita semuanya.
Yang mendefinisikan sukses adalah kaya materi, bukan memperoleh rida Allah.
Yang bangga dengan harta benda dan status sosialnya, bukan statusnya sebagai abdi Allah.
Yang umurnya habis untuk berjuang menciptakan kehidupan senyaman mungkin di dunia dan lupa menyiapkan kenyamanan setelah mati.
Orang beriman menjadikan pencapaian duniawi sebagai kendaraan menuju Allah, bukan alat mencapai kebahagiaan sejati.
Mendorong belajar agar bisa beramal, bukan untuk meraih respect dan pengakuan.
Mendorong bekerja agar bisa menginfakkan harta di jalan Allah. Bukan mendapat status di masyarakat.
Mendorong menikah untuk menjaga kehormatan, bukan semata-mata bersenang-senang.
Mendorong poligami dengan maksud memperbanyak jiwa yang lisannya senantiasa bertasbih mensucikan Allah, bukan semata-mata membayangkan kenikmatan menggilir wanita dst…
Inilah yang membedakan dengan mereka yang tidak beriman.
Tentu ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi.
Pertama, nasihat ini tentu saja tidak dimaksudkan untuk mengharamkan bahagia karena sebab-sebab duniawi. Hal itu dikarenakan mencari bahagia adalah fitrah manusia. Akan tetapi penekanannya adalah ciri utama para kekasih Allah itu kebahagiaan duniawinya tidak dominan sampai level lengah menyiapkan kehidupan setelah mati.
Kedua, status ini tentu saja juga tidak dimaksudkan mengharamkan kaya atau merendahkan orang yang bergelimang fasilitas, sebab sejumlah hamba Allah yang saleh juga dikaruniai kekayaan dan fasilitas mewah seperti Nabi Sulaiman, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Abu Hanifah, Malik dll. Tetapi penekanannya adalah terletak pada suasana hati dan jiwa para kekasih Allah yang senantiasa khawatir tidak memenuhi hak Allah. Tidak peduli dia kaya ataupun miskin. Full fasilitas maupun minim fasilitas.
Seperti Abdurrahman bin Auf yang konglomerat, tetapi sering menangis setiap kali makan enak karena kuatir pahala amalnya disegerakan di dunia.
Jadi seperti kisah Ibnu Hajar Al Asqalani yang kaya raya, berkereta mewah dll yang konon diprotes ahludz dzimmah pengemis dengan kemewahan tersebut, lalu beliau menyebut bahwa kemewahan itu dibandingkan kenikmatan akhirat masih seperti penjara, maka hikayat ini jika benar tidak bertentangan dengan pesan utama dalam status ini. Sebab hamba Allah sejati meski penuh fasilitas, tapi hidupnya bukan habis untuk ketawa-tawa dan bersenang-senang dengan fasilitas tersebut. Tetapi menikmati dengan penuh waspada, seraya takut dengan pertanggungjawaban nikmat itu di akhirat, sebagaimana sikap Abdurrahman bin Auf.
Seperti yang disebut Al Quran, sifat orang selamat di akhirat itu di dunia senantiasa musyfiquun. Kuatir belum memenuhi hak Allah.
Dalam bahasa hadis,
Artinya,
“Kalian akan tertawa sedikit dan menangis banyak”
Beda dengan orang yang tidak terlalu perhatian dengan akhirat atau bahkan mengabaikan sama sekali. Kata Allah, sifat orang ini ketika di dunia,
Artinya,
“Dia (penghuni neraka itu) dulu (di dunia) terbiasa berbahagia di tengah-tengah keluarganya (sehingga hari ini harus menangis dan menderita karena siksa) [Al-Inshiqaaq : 13)