Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Zan/persangkaan/prasangka/purbasangka itu ada yang wajib, ada yang sunah, ada yang haram dan ada yang mubah
Purbasangka yang wajib adalah husnuzan kepada Allah. Takdir apapun yang menimpa kita harus diyakini sebagai takdir terbaik. Takdir apapun yang menimpa orang lain termasuk orang-orang yang kita cintai juga harus diyakini sebagai takdir terbaik. Semua anugerah, rezeki, musibah dan kesusahan juga wajib diyakini sebagai keputusan terbaik untuk kita. Ringkasnya wajib hukumnya berbaik sangka kepada Allah, karena Dia Maha bijaksana. Lebih-lebih saat hendak wafat, maka kita sangat ditekankan untuk berbaik sangka kepada Allah. Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Jabir berkata: Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda tiga hari sebelum beliau wafat: “Jangalah salah seorang dari kalian meninggal dunia kecuali ia berbaik sangka kepada Allah.” (H.R.Muslim)
Purbasangka yang sunah adalah husnuzan kepada muslim yang lahirnya baik (muslim adil). Memang benar tidak ada orang yang suci. Muslim sebaik apapun pasti menyimpan aib dan dosa. Tetapi selama aib dan dosa itu ditutupi Allah dan tidak dilakukan terang-terangan, maka haram hukumnya berburuk sangka terhadap muslim tersebut. Rasulullah ﷺ memerintahkan kita menjaga kehormatan muslim, darahnya dan hartanya. Termasuk menjaga kehormatan muslim adalah tidak berburuk sangka kepadanya selama lahirnya lurus-lurus saja.
Purbasangka yang haram adalah suuzan kepada Allah. Suuzan jenis ini yang dikecam dalam Al-Qur’an. Allah berfirman,
Artinya,
“Kamu tidak dapat bersembunyi dari kesaksian pendengaran, penglihatan, dan kulitmu terhadapmu, bahkan kamu mengira Allah tidak mengetahui banyak tentang apa yang kamu lakukan. Mereka melakukan dosa dengan terang-terangan karena menyangka bahwa Allah tidak mengetahui perbuatan mereka serta pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka tidak akan menjadi saksi di akhirat kelak atas perbuatan mereka. Itulah dugaanmu (suuzanmu) yang telah kamu sangkakan terhadap Tuhanmu. (Dugaan) itu telah membinasakan kamu sehingga jadilah kamu termasuk orang-orang yang rugi.(Q.S.al-Fuṣṣilat; 22-23)
Termasuk purbasangka yang haram adalah suuzan kepada muslim yang lahirnya baik (muslim adil). Allah menyebut dugaan seperti ini sebagai dosa. Allah berfirman,
Artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa.” (Q.S.al-Ḥujurāt:12)
Rasulullah ﷺ juga melarang dugaan macam-macam kepada muslim. Al-Bukhārī meriwayatkan,
Artinya,
“Dari Abu Hurairah dari Nabi ﷺ beliau bersabda: “Jauhilah prasangka buruk, karena prasangka buruk adalah ucapan yang paling dusta.” (H.R.al-Bukhārī)
Purbasangka yang mubah adalah zan yang muncul dari firasat yang kuat kemudian diungkapkan. Misalnya seperti firasat Abū Bakar. Menjelang wafat Abū Bakar memberitahu Aisyah bahwa istri Abū Bakar yang keempat, yakni Ḥabībah binti Khārijah akan melahirkan anak perempuan. Padahal waktu itu Ḥabībah binti Khārijah masih hamil. Ini menunjukkan Abū Bakar berfirasat dan firasatnya adalah jenis dugaan. Yang semacam ini jika memang kuat maka boleh diungkapkan dan purbasangkanya termasuk dugaan yang mubah. Mālik menceritakan kisah ini sebagai berikut,
Artinya,
“Berilah dua saudara laki-lakimu dan dua saudarimu warisan dariku, bagilah atas dasar Kitabullah.” Aisyah berkata: “Wahai ayahku! Demi Allah, jika terjadi (kematianmu), sungguh aku akan meninggalkan kepemilikanku itu. Saudariku kan cuma Asma, lalu siapa lagi yang lain? (kok ayah menyebut dua saudari?)” Abu Bakar berkata: “Kandungan yang ada dalam perut binti Kharijah (istri Abu bakar yang ke-4), saya lihat dia sepertinya berjenis kelamin wanita’.”H.R.Mālik)
Termasuk purbasangka mubah adalah juga zan kepada orang yang terkenal akrab dengan hal-hal mencurigakan dan terkenal terang-terangan berbuat kefasikan atau keburukan.
Termasuk purbasangka mubah adalah zan-nya para saksi ahli yang diminta bersaksi sesuai dengan keahliannya saat menaksir sesuatu, memperkirakan harga, menilai keaslian dan semisalnya.
Termasuk purbasangka mubah adalah saat kita menerima hadis ahad yang sahih untuk dipakai dalam persoalan hukum.
Al-Damīrī berkata,
Artinya,
“Zan/prubasangka dalam syariat terbagi menjadi empat macam yaitu wajib, sunah, haram dan mubah.
Yang wajib adalah husnuzan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Yang haram adalah suuzan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah berfirman,’Wa żālikum ẓannukumullażī ẓanantum birabbikum ardākum”. Termasuk zan haram adalah suuzan terhadap setiap muslim yang lahirnya adil. Hadis Nabi ﷺ yang berbunyi “iyyākum ważżanna fa innażżanna akżabul ḥadīts” dibawa pada pengertian ini. Maknanya, haram suuzan terhadap muslim tanpa sebab.
Yang sunnah adalah husnuzan terhadap muslim yang lahirnya adil.
Yang mubah adalah seperti ucapan Abu Bakar As Siddiq kepada Aisyah radhiallahu anhuma,
‘Saudara-saudaramu itu ya hanya 2 saudara laki-laki dan 2 saudari perempuan”. Abu Bakar membolehkan dugaan pada firasat yang berkesan pada hatinya bahwasanya janin yang ada pada istrinya itu jenis kelaminnya perempuan. Termasuk jenis ini (zan mubah) adalah suuzan terhadap orang yang terkenal di kalangan masyarakat sebagai orang yang akrab dengan hal-hal yang mencurigakan atau terang-terangan melakukan keburukan. Jadi tidak haram suuzon kepadanya karena dia telah menunjukkan identitas dirinya sendiri. Barang siapa menutupi dirinya sendiri maka dia tidak boleh diduga kecuali kebaikan. Tetapi barangsiapa yang masuk ke dalam area keburukan maka dia dicurigai. Barangsiapa merobek kehormatan dirinya maka kita boleh bersuuzan kepadanya. Termasuk zan mubah berdasarkan ijma kaum muslimin adalah zan yang dilakukan oleh dua orang saksi dalam penaksiran sesuatu,menilai denda jinayat dan penilaian bukti-bukti di depan penguasa. Termasuk zan mubah juga yakni dugaan yang muncul karena riwayat Ahad dalam persoalan hukum berdasarkan ijma dan wajib mengamalkan nya secara pasti.” (al-Najmu al-Wahhāj, juz 3 hlm 13-14)
***
9 Zulhijah 1442 H