Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Semua ilmu itu prinsip umumnya sama atau hampir sama. Ada yang pasti-pasti (atau minimal disepakati) dan ada yang masih diperdebatkan. Kalau dalam agama, yang pasti-pasti ini disebut qaṭ’ī (القطعي) atau mujma’ ‘alaih (المجمع عليه) sementara yang diperdebatkan itu namanya ẓannī (الظني) atau ijtihādī (الاجتهادي).
Yang awam itu cukup ikut yang pasti-pasti saja. Tidak usah masuk perdebatan yang ẓannī, sebab ya tidak akan mampu juga mengikuti. Terkait yang diperdebatkan, jika harus memilih salah satu pendapat, maka ikuti pendapat mayoritas. Jika tidak ada yang mayoritas, maka pilih pendapat yang dianggap paling pakar, yang paling jujur, paling berintegritas dan tidak punya kepentingan duniawi apapun. Pendapat yang seperti ini biasanya lebih bersih, lebih netral dan lebih dekat dengan kebenaran.
Di dunia medis juga demikian.
Ikuti yang pasti-pasti saja dulu. Yang masih diperdebatkan para ahli jangan ikut-ikut. Biarkan ahli berdebat dulu di ruang terbatas sampai menyepakati satu kesimpulan.
Jika pakar medis telah menyepakati sesuatu, lalu ada satu-dua oknum medis yang melawan arus, maka tinggalkan gagasan oknum tersebut. Seperti dalam agama, jika seluruh ulama sepakat salat 5 waktu itu wajib, lalu ada satu dua oknum yang mengaku ustaz berpendapat tidak wajib, maka buang gagasannya.
Jangan tertipu dengan istilah-istilah ilmiah yang dipakainya. Sebab tidak semua orang memakai istilah ilmiah itu benar dan bermutu gagasannya. Bisa jadi dia salah merujuk, salah mengambil kesimpulan, salah berlogika, kurang data, salah mengidentifikasi dan cacat-catat logika berpikir yang lain.
Seperti dalam agama. Kadang ada orang yang senang pamer istilah bahasa Arab dan kutip dalil Al-Qur’an sana-sini, kutip hadis sana-sini, kutip perkataan ulama sana-sini, tapi semuanya tidak ada yang bermutu karena dikutip tidak pada tempatnya. Hanya ulama yang asli yang bisa tahu kebodohan orang yang ngaku ulama tersebut. Orang awam tidak boleh tertipu dengan banyaknya istilah arab atau kutipan dalil yang dia pakai, sebab ada potensi salah penggunaannya. Aliran sesat itu berhasil mendapatkan pengikut karena munculnya penyesat “ngulama’”, lalu para awam tidak punya kaidah menyaring ilmu berdasarkan prinsip otoritas ilmu.
Di dunia medis, orang awam jadi kacau itu karena ada oknum medis yang melempar isu medis di tengah-tengah orang awam. Ini targetnya apa? Menyelamatkan nyawa, kah? Popularitas? Ngeksis? Aktualisasi diri? Biar disebut pahlawan? Dapat gelar kritis?
Jika oknum medis ini merasa pendapatnya kuat, mengapa tidak dilempar di forum ahli? Coba pertahankan pendapat Anda di tengah-tengah mereka. Kalau Anda menang, pasti akan diadopsi untuk publik. Tapi jika Anda melempar isu medis yang masih diperdebatkan ke tengah-tengah orang awam, maka itu hanya menimbulkan keresahan, tidak mencerdaskan. Jika ide Anda tidak berani diperdebatkan di forum para ahli, orang jadi ragu sebenarnya apa motif Anda melempar isu untuk disantap awam.
Oh ya satu lagi: Bedakan fakta medis dengan keputusan politik.
Publik berhak mengkritisi keputusan politik yang memberi dampak langsung kepada kehidupan mereka. Tapi fakta medis serahkan kepada ahlinya. Jangan merasa lebih pintar dari ahli.
Contoh: Berdasarkan penelitian, vaksin yang direkomendasikan untuk mencegah infeksi virus tertentu adalah vaksin A, vaksin B, vaksin C dan Vaksin D. Ini adalah fakta medis. Ikuti keterangan ahli.
Tapi keputusan membeli vaksin B adalah keputusan politik yang punya banyak dimensi dan faktor saat memutuskannya. Misalnya kemampuan ekonomi, kepentingan pengusaha, campur tangan para kapitalis, strategi penanganan pandemi, deal-deal politik dengan negara tertentu, kerjasama ekonomi yang sudah diteken sebelumnya, dan lain-lain. Bagian keputusan politik ini yang bisa dikritisi siapapun yang mengerti faktanya jika dianggap merugikan publik.
Jangan mencampur adukkan antara fakta medis dengan kebijakan politik. Kita bisa mengkritisi kebijakan publik. Tapi kalau mengkritisi fakta medis, sebagai awam kita tidak punya otoritas apapun melakukannya. Kita hanya bisa mengikuti ahli.
Ahli mana yang kita ikuti?
Yang kesimpulan medisnya sudah disepakati alias yang pasti-pasti.
Jika ada sedikit perbedaan pendapat, maka ikuti yang mayoritas.
Jika perbedaan pendapatnya rata, tidak ada yang mayoritas maka ikuti yang dianggap lebih pakar (sejauh kemempuan penyelidikan kita), yang paling paling berintegritas dan tidak punya kepentingan duniawi apapun.
***
20 Zulhijah 1442 H/ 30 Juli 2021 jam 08.14