Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin).
Makna mudah kaidah yang berbunyi “Al-Ṣāqiṭ Lā Ya’ūd” (الساقط لا يعود) adalah “Hak yang sudah digugurkan tidak bisa ditarik kembali”.
Kata al-ṣaqiṭ sendiri bermakna “yang jatuh”. Kata ini menjadi sifat dari mauṣūf yang ada secara perkiraan yaitu al-ḥukmu atau al-taṣarruf. Kata “ya‘ūdu” bermakna “kembali”. Jadi makna harfiah Al-Ṣāqiṭ Lā Ya’ūd adalah “(hukum/tasarruf) yang jatuh tidak bisa kembali lagi”. Makna mudahnya, “Hak yang sudah digugurkan tidak bisa ditarik kembali”.
Contoh praktis kaidah ini misalnya begini.
Tono punya piutang kepada Budi sebesar Rp. 10.000.000. Lalu Tono memutihkan piutang ini. Tetapi sehari kemudian Tono menyesal, karena membutuhkan uang itu untuk kulakan barang. Nah, dalam kondisi ini Tono tidak bisa menarik kembali hak yang sudah digugurkannya. Saat Tono mengucapkan kata-kata pemutihan piutang sebesar 10 juta, maka seketika itu juga uang itu seperti lenyap (ma‘dūm) dari kepemilikannya. Jadi, uang itu tidak bisa dimiliki kembali. Inilah makna kaidah “Al-Ṣāqiṭ Lā Ya’ūd” itu.
Kaidah ini banyak disebut ulama saat membahas fikih, terutama dalam kitab-kitab fikih bermazhab Hanafi. Di sejumlah kitab fikih kaidah ini kadang disebut dengan redaksi yang sedikit berbeda misalnya,
“Al-sāqiṭ mutalāsyin lā yutaṣawwaru ‘auduhū”
“Al-sāqiṭ min al-ḥaqqi yakūnu mutalāsiyan lā yutaṣawwaru ‘auduhū”
“Al-Musqaṭ yakūnu mutalāsiyan”
“Al-mā‘dūm lā ya‘ūd”
Adapun dalil yang menunjukkan keabsahan kaidah fikih ini, maka itu didasarkan sejumlah dalil.
Di antaranya dalam Al-Qur’an Allah mensyariatkan bahwa wali korban terbunuh boleh memaafkan pembunuh baik memaafkan kisasnya saja maupun memaafkan kisas sekaligus diat. Ini adalah pengguguran hak. Ketika Allah mengakuinya maka berlaku hukum dan tidak bisa dicabut kembali.
Dalil yang lain adalah hadis-hadis yang memuji pemutihan piutang. Janji dalam hadis bahwa orang yang mau memutihkan utang nanti pada hari kiamat akan mendapatkan perlindungan ‘Arsy Allah dan juga akan diputihkan dosa-dosanya juga jenis pengguguran hak. Ketika Rasulullah ﷺ mengakuinya maka berlaku hukum dan tidak bisa dicabut kembali.
Hanya saja, hak yang bisa digugurkan hanyalah hak hamba saja seperti hak yang terkait harta, darah maupun kehormatan. Adapun hak Allah seperti salat, puasa, zakat, nazar, hudud, dan semisalnya, maka yang seperti ini tidak bisa digugurkan oleh manusia.
Pengguguran hak itu bisa terjadi dalam banyak bidang seperti dalam jinayat, jual beli, utang-piutang, peradilan, rumah tangga, dan lain-lain.
CONTOH PENGGUGURAN HAK DALAM RUMAH TANGGA
- Istri yang menggugurkan hak mahar setelah menikah, maka dia tidak bisa menarik kembali ucapannya.
- Istri yang menggugurkan utang suami kepadanya maka dia tidak bisa menarik kembali ucapannya.
- Istri yang menggugurkan hak nafkah makanan maka dia tidak bisa menarik kembali ucapannya.
- Istri yang menggugurkan hak nafkah pakaian maka dia tidak bisa menarik kembali ucapannya.
- Istri yang menggugurkan hak nafkah tempat tinggal maka dia tidak bisa menarik kembali ucapannya
- Istri yang gugur nafkahnya karena nusyūz jika setelah itu dia taat kembali, maka yang sudah gugur tidak bisa dituntut kembali.
- Istri yang menggugurkan hak jatah hari, maka dia tidak bisa menarik kembali ucapannya dan menuntut diqaḍā’.
Hanya saja patur dicatat, hak yang bisa digugurkan adalah hak yang sudah riil menjadi hak. Jika masih berupa potensi, maka belum bisa digugurkan dan statusnya baru menjadi “janji menggugurkan”.
Misalnya wanita menggugurkan hak mahar sebelum akad nikah. Ini masih terhitung janji menggugurkan, belum riil terjadi pengguguran hak mahar sehingga belum bisa diterapkan kaidah “al-sāqiṭ lā ya‘ūd”. Sebab, mahar baru riil menjadi hak wanita jika sudah sah akad nikah.
Termasuk juga dalam kasus hak pembagian hari. Yang bisa digugurkan adalah jika tiba jatah harinya. Jika masih belum terjadi dan masih dalam jadwal, maka itu termasuk janji pengguguran hak. Oleh karena itu, wanita yang pernah mengatakan “Aku berikan hak bermalamku kepada maduku”, pengguguran ini hanya berlaku untuk masa lalu. Jika di masa depan wanita itu berubah pikiran dan minta lagi haknya, maka itu boleh. Yang tidak boleh adalah meminta ganti/qaḍā’ dari hak yang sudah digugurkannya, karena sudah berlaku kaidah al-sāqiṭ lā ya’ūd.
Ketentuan seperti ini dan contohnya juga bisa dipraktekkan untuk kasus hak nafkah pakaian, makanan, maupun tempat tinggal.
Apa pentingnya membahas kaidah ini dalam fikih poligami?
Pentingnya adalah agar suami yang bertakwa menjadi tahu kapan suami dihitung zalim terhadap istri dan kapan bisa bernapas lega karena kezalimannya telah diputihkan.
***
27 Zulhijah 1442/ 6 Agustus 2021