Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kebaikan manusia biasa tidak pernah stabil.
Kadang baik, kadang jahat.
Kadang mengagumkan, kadang mengecewakan.
Yang kebaikannya stabil, ajeg, konsisten dan terus menerus tanpa cacat hanya Allah.
Itulah rahasia mengapa pujian kepada Allah dalam Surah al-Fatihah berbentuk mubtada’ khabar (al-ḥamdu lillāh), bukan maṣdar manṣūb atau jumlah fi‘liyyah.
PENJELASAN
Kita diajari Allah untuk memujiNya menggunakan kalimat berbentuk mubtada-khabar/syibhul khabar, yakni lafal,
Seandainyanya kita diajari pujian kepada Alah dalam bentuk jumlah fi’liyyah (yakni kalimat yang diawali kata kerja/fi’il) misalnya,
Maka kandungan maknanya hanya ḥudūṡ wattajaddud (kebaruan).
Jadi makna “naḥmadullāha” adalah “Kami memuji Allah (dengan sebuah pujian) saat ini saja.
Kemarin bisa saja tidak. Di masa yang akan datang juga bisa saja tidak. Dengan kata lain, sifatnya sementara/tidak terus menerus.
Kalimat yang diawali maṣdar manṣub juga semakna dengan jumlah fi’liyyah ini karena kalimat yang berbunyi,
Sebenarnya berasal dari kalimat,
Artinya kata hamdan di situ sebagai maf’ul muṭlaq dari jumlah fi’liyyah yang fi’ilnya dibuang (mahżūf).
Beda jika kalimat pujian kepada Allah itu berupa jumlah ismiyyah, yakni kalimat,
Kandungan makna dalam kalimat ini adalah “Pujian yang menjadi hak Allah itu sifatnya terus menerus, konstan, tidak berubah dan ajeg”.
29 Rabiul Akhir 1443 H/ 4 Desember 2021 jam 17.41