Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Sebagian orang inginnya hidup senang terus sampai mati. Dia jadi merasa takut untuk tidak bahagia, tersakiti atau menderita.
Dia mati-matian berusaha menghindarinya, seakan-akan kesedihan adalah tanda Allah murka sementara kebahagiaan adalah tanda Allah rida.
Ada juga yang menjadikannya sebagai standar menerima atau menolak syariat. Yang membuat hatinya sakit ditolak, yang membuat hatinya senang diterima.
Ini keliru, sebab Allah sudah berjanji dalam Al-Qur’an bahwa kita semua akan diuji dengan kebahagiaaan dan kesusahan, diuji dengan kebaikan dan keburukan. Sebaik apapun dan sehati-hati apapun kita, kemungkinan diberi sedih selalu ada. Apalagi yang diberi susah karena dosa. Tentu orang demikian layak ditegur dan dihukum dengan penderitaan agar segera kembali dan bertaubat. Allah berfirman,
Artinya,
“Aku akan menguji kalian dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.” (Q.S.Al-Anbiyā’: 35)
Jadi, selama masih hidup di negeri yang bernama dunia ini, setiap orang pasti akan diuji dengan kesusahan dan air mata. Penyebabnya saja yang tiap orang bisa berbeda-beda. Sekali-kali jangan berharap tersenyum dan tertawa terus. Semuanya harus siap tertawa dan siap menangis. Sebab Allah memang sudah berkehendak membuat demikian. Allah berfirman,
Artinya,
“Sesungguhnya Dia (Allah-lah) yang membuat tertawa dan menangis.” (Q.S.al-Najm: 43)
Kadang, pengabdian terbaik seorang hamba terhadap Rabb-nya adalah kerelaan untuk merasa sakit dan menderita asalkan Allah rida.
Seperti KURBAN idul adha.
Sapi, kambing dan unta rela merasakan sakitnya leher disembelih, bersimbah darah dan mati berkelojotan karena memang itulah bagian takdir hidup mereka. Sebab mereka ditakdirkan sebagai hewan, bukan manusia.
Juga seperti Nabi Ismail yang siap tabah dan rela disembelih oleh ayahnya sendiri demi membuat Allah rida.
Yang penting hidup sudah benar, sesuai jalur dan berada di jalan yang lurus, maka itu sudah cukup. Tidak peduli diuji dengan hati yang tersakiti atau hati yang dibahagiakan.
Menjalani hidup itu seperti naik sepeda motor di jalanan.
Sudahlah, sehati-hati apapun Anda, di sana akan tetap ada potensi disakiti orang lain.
Pengendara yang menyakiti itu bisa saja sengaja, misalnya dia membenci Anda lalu sengaja menabrak Anda. Bisa juga dia tidak sengaja dan menabrak Anda karena keteledorannya. Bisa juga tidak sengaja karena keteledoran pihak lain misalnya pemerintah yang tidak becus membenahi jalan berlubang atau ada yang menumpahkan minyak di jalan. Bahkan bisa juga Anda menderita bukan karena perbuatan manusia, tetapi semata-mata kehendak Allah seperti ada pohon tumbang yang mengenai pengendara, atau likuifaksi, atau gempa bumi atau erupsi yang memuntahkan abu panas dan sebagainya.
Jika Anda mengalami kecelakaan karena keteledoran Anda, maka semua orang sudah faham bahwa itu memang sudah sepantasnya.
Demikianlah hidup itu.
Betapapun kita sudah sangat berhati-hati, berusaha tidak menyakiti orang lain, berkeinginan kuat supaya tidak menzalimi sesama, dan berjuang sekuat tenaga mengikuti jalur yang syar’i, akan selalu tetap ada kondisi-kondisi yang membuat kita tersakiti, bersedih, menderita, dan berduka cita. Entah itu melalui wasilah hamba Allah tertentu atau semata-mata musibah dari Allah.
Oleh karena itu, yang terpenting dalam hidup itu bukan bagaimana menghindar supaya tidak tersakiti, tidak susah atau tidak berduka cita. Yang terpenting dalam hidup itu adalah memastikan kita tetap untung dalam kondisi apapun, entah bahagia ataupun berduka, entah mendapat nikmat atau diuji dengan musibah.
Bagaimana caranya?
Yang pertama-tama tentu saja harus rida. Rela dengan segala keputusan Allah terhadap hidup kita. Diberi kaya rela, diberi miskin rela. Diberi bahagia rela, diberi duka juga rela. Diberi tawa rela, diberi tangis juga rela. Sebab rela bermakna engkau mengakui dirimu sebagai hamba Allah yang siap diatur oleh-Nya dan tidak rela bermakna engkau protes terhadap keputusan Allah. Ingatlah, Allah sangat benci dengan hamba-Nya yang tidak bisa menerima ketentuan dan keputusan-Nya.
Setelah rela, sikap berikutnya adalah beramal sesuai dengan jenis ujian.
Jika diberi nikmat, maka responnya adalah bersyukur, jika diberi kesusahan maka responnya adalah ṣabr (tabah). Barangsiapa bisa melakukan ini, maka dia sesungguhnya telah berada di jalan yang lurus, menempuh jalan para nabi dan Rasul dan telah untung hidupnya. Rasulullah ﷺ bersabda,
Artinya,
“Orang beriman itu menakjubkan. Sebab, semua kondisinya baik dan itu tidak dimiliki seorangpun selain orang beriman. Jika dia mendapatkan kebahagiaan, maka ia bersyukur dan syukur itu baik baginya. Jika dia tertimpa musibah, maka ia tabah dan tabah itu baik baginya.”
7 Jumādā al-Ākhirah 1443 H/ 10 Januari 2022 jam 12.20