Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ayat dalam Surah Al Fatihah sebenarnya mengajari kita selalu rendah hati, yakni ayat yang berbunyi,
اهدنا الصراط المستقيم
Artinya,
“Berilah kami petunjuk jalan yang lurus”
Artinya seakan-akan kita selalu memperbarui pengakuan,
“Ya Allah, kami ini bodoh. Ya Allah, kami ini kuatir tersesat. Ya Allah, kami ini kuatir Engkau murka. Ya Allah, kami ini kuatir merasa sebagai kekasihMu atau merasa sebagai makhluk yang paling berada dalam kebenaran, sementara hakikatnya disisiMu adalah makhluk yang tersesat dan engkau benci. Karena itu, beri kami petunjuk jalan yang lurus”
Kurang indah apa saat Allah mengajari kita untuk senantiasa tawaduk dalam hal ilmu dan amal dengan selalu membaca ayat ini?
Memang benar, masuk islam itu adalah petunjuk terbesar. Tapi itu baru pintu. Belum final. Karena orang masih harus belajar lagi ilmu yang benar terkait rincian apa saja yang membuat Allah rida dan rincian apa saja yang membuat Allah murka.
Bahkan seandainya diasumsikan kita telah menguasai seluruh ilmu terkait petunjuk yang benar itu, maka kita masih perlu memohon petunjuk, yakni petunjuk agar bisa mengamalkan semua ilmu itu dengan baik. Agar tidak seperti umat Yahudi yang mengenal petunjuk tapi enggan mengikutinya. Petunjuk seperti ini yang dinamakan hidayah taufiq (هداية التوفيق).
Bahkan, seandainya kita sudah mencapai level “sempurna”, yakni menguasai seluruh ilmu yang haqq dan sanggup mengamalkan semua ilmu itu dengan maksimal, kita masih perlu memohon hidayah supaya bisa istikamah dan konsisten sampai ajal menjemput. Hidayah seperti ini dinamakan dengan hidayah Tsabat wa Dawam (هداية الثبات والدوام)
Hamba-hamba saleh yang sudah sempurna seperti Rasulullah ﷺ saja tetap minta hidayah setiap salat. Tentu hidayah yang dimaksud adalah tambahan ilmu dan amal saat syariat islam belum sempurna dan hidayah istikamah saat semua sudah dilakukan.
Jika hamba-hamba sempurna saja masih butuh hidayah (yang itu memaksa mereka untuk selalu tawaduk), bukankah lebih layak bagi kita (yang kotor, sering terjungkal, dan tertatih-tatih dalam perjalanan menuju Allah) untuk selalu rendah hati dan tidak menganggap diri pasti lebih baik daripada hamba Allah yang lain?
Yah, hidayah Allah itu tidak bersifat sekali tumpahan lalu mengambil bentuk final.
Hidayah Allah itu bertahap.
Diberikan sesuai dengan kelayakan masing-masing hamba yang minta.
Dari ilmu dulu, tambah sulam, koreksi sana-sini, sampai memperoleh ilmu yang kokoh yang paling dekat dengan petunjuk Nabi. Mujtahid besar seperti asy-Syafii sekalipun melewati proses ini. Yakni mengubah pendapat yang dianggap keliru sehingga muncul istilah qaul qadim dan qaul jadid.
Setelah itu amal. Awalnya inkonsisten, hangat-hangat tahi ayam, kadang ikhlas kadang tidak, lalu lama-lama terbenahi dan mencapai kondisi ideal.
Setelah itu istiqamah hingga ajal menjemput.
Jika seperti ini kondisi hidayah, bukankah sungguh tidak pantas jika orang memposisikan diri seakan-akan hidayah yang didapatkannya sudah selesai dan sempurna, sudah pasti diridai Allah, lalu menganggap semua orang pasti di bawah dirinya di sisi Allah?
12 Sya’ban 1443 H/ 15 Maret 2022 jam 11.09