Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Untuk bersikap tegas mengharamkan penyebaran pemikiran Ibnu ‘Arabī (termasuk yang semisal dengannya seperti al-Ḥallāj), orang tidak harus membenci Ibnu ‘Arabī atau mengkafirkannya. Jadi, pecinta Ibnu ‘Arabī dan pembelanya pun tetap bisa tegas mengharamkan penyebaran pemikirannya seraya tetap meyakini kesalehan Ibnu ‘Arabī atau bahkan kewaliannya.
Yang demikian itu dikarenakan menyebarkan pemikiran Ibnu ‘Arabī adalah satu hal sementara mengetahui hakikat pribadinya di sisi Allah adalah hal lain. Hukum menyebarkan sebuah pemikiran itu sangat terkait dengan kewajiban menjaga syariat Islam dan kewajiban menjaga para awam agar tidak bingung apalagi tersesat.
Adapun mengetahui hakikat seseorang di sisi Allah, maka pada dasarnya untuk mencapai pengetahuan qaṭ‘ī tentang hal tersebut adalah perkara yang tidak mudah. Kebanyakan hasil kerja kita hanya sampai dugaan kuat/galabatuẓẓan. Hanya beberapa kasus tertentu yang kita mencapai pengetahuan pasti baik menilai keimanan seseorang maupun menilai kekafirannya.
Kita bisa memastikan seluruh nabi dan Rasulullah ﷺ adalah kekasih Allah berdasarkan hujah pasti sebagaimana kita juga bisa memastikan Fir’aun dan Abū Lahab adalah kafir berdasarkan hujah pasti. Selain mereka, kebanyakan hanya dugaan kuat saja.
Misalnya kita menduga al-Ḥasan al-Baṣrī, al-Syāfi‘ī, al-Nawawī adalah kekasih Allah berdasarkan tanda-tanda lahir seperti keilmuan yang sesuai Al-Qur’an dan Sunah, perilaku yang dekat dengan cara hidup Rasulullah ﷺ dan Sahabat, berita karamah tentang mereka, manfaat luasnya ilmu mereka dan lain-lain.
Demikian pula kita bisa menilai bahwa al-Ḥajjāj adalah zalim, al-Saffāḥ adalah penumpah darah manusia, dan Wāṣil bin ‘Aṭā’ adalah ahlul bid’ah berdasarkan bukti-bukti kasat mata baik terkait pemikiran maupun tindak-tanduknya. Adapun yang lebih dalam dari itu, maka hakikatnya tetap dikembalikan kepada Allah.
Oleh karena itulah, pecinta Ibnu ‘Arabī tetap bisa bersikap tegas menyampaikan ke umat keharaman menyebarkan pemikirannya setelah mengetahui dampak berbahaya pemikiran tersebut bagi syariat dan bagi para awam. Sikap seperti inilah yang ditegaskan al-Suyūṭī dalam kitabnya yang berjudul Tanbīhu al-Gabī Bi Tabri’ati Ibni ‘Arabī. Al-Suyūṭī berkata,
والقول الفصل عندي في ابن عربي طريقة لا يرضاها فرقة أهل العصر ممن يعتقده ولا ممن ينكر عليه، وهي اعتقاد ولايته، ويحرم النظر في كتبه
Artinya,
“Pendapat final saya terkait Ibnu ‘Arabī adalah mengambil jalan yang tidak disenangi kelompok yang mempercayai beliau di zaman sekarang dan tidak juga disenangi mereka yang mengkritik beliau, yakni: Meyakini kewaliannya, tapi HARAM mengkaji kitab-kitabnya” (Tanbīhu al-Gabī Bi Tabri’ati Ibni ‘Arabī, hlm 20-21-cet. Maktabah al-Adab)
Tampak jelas dalam teks di atas, al-Suyūṭī termasuk pembela Ibnu ‘Arabī, bahkan meyakini kewaliannya. Hanya saja, beliau juga tidak ragu-ragu dan menyatakan dengan tegas, lugas dan jelas keharaman membaca buku-buku Ibnu ‘Arabī.
Makna haram dalam fikih berarti meyakini atau minimal menduga kuat Allah akan marah jika kita melakukannya dan mengancam dengan siksa di akhirat. Artinya, jika membaca buku-buku Ibnu ‘Arabī itu haram, berarti jika kita melakukannya kita yakin atau minimal menduga kuat Allah akan murka dan mengancam kita dengan siksa di akhirat. Jika membaca buku-bukunya saja haram, maka menyebarkannya lebih haram lagi berdasarkan kaidah min bāb aulā.
Demikian pula sikap Ibnu Ḥajar al-Ḥaitamī. Beliau berkata,
شَاهَدْنَاهُ فِي أنَاس جهال أدمنوا مطالعتها فخلعوا ربقة الْإِسْلَام والتكليفات الشَّرْعِيَّة من أَعْنَاقهم وأفضى بهم الْحَال إِلَى الْوُقُوع فِي شرك الشّرك الْأَكْبَر
Artinya,
“Kami telah menyaksikannya (ketergelinciran karena mengkaji buku-buku Ibnu ‘Arabī) pada orang-orang bodoh yang mengkaji buku-buku tersebut. Jadinya mereka melepaskan ikatan Islam dan ikatan taklif syar’ī dari leher mereka. Kondisi tersebut mengantarkan mereka terjatuh pada jeratan syirik akbar!”
Meskipun al-Ḥaitamī membela Ibnu ‘Arabī dan meyakini kewaliannya, tapi beliau mengingatkan bahaya mempelajari buku-bukunya. Beliau sendiri telah bertestimoni bahwa pemikiran Ibnu ‘Arabī itu secara nyata telah menggiring seseorang terjerumus dalam syirik akbar! Berdasarkan kaidah fikih al-wasīlah ilal ḥarām muḥarramah (sarana yang mengantarkan pada keharaman hukumnya haram), seharusnya para pecinta Ibnu ‘Arabī baik di kalangan ustaz, dai, kyai dan para ulama lebih tegas lagi menyampaikan ke umat keharaman hal tersebut.
Hari ini muncul kelompok meresahkan yang sudah mulai berani mewajarkan penyembahan terhadap nabi Isa. Ini jelas kemusyrikan yang nyata. Paham ini terindikasi melanjutkan paham ḥulūl al-Ḥallāj yang kemudian “diperparah” dengan paham waḥdatul wujūd yang dinisbahkan kepada Ibnu ‘Arabī. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban untuk menjelaskan kepada umat dan menegaskan sikap untuk mengingatkan bahaya meyebarkan pemikiran Ibnu ‘Arabī maupun al-Ḥallāj sebelum semuanya terlambat.
6 Ramadan 1443 H/8 April pukul 15.21