Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Barangsiapa merasa dirinya “baik-baik” saja, maka akan banyaklah orang yang kecewa kepadanya.
Merasa sudah menjadi orang tua yang baik, anak yang baik, guru yang baik, murid yang baik, suami yang baik, istri yang baik, pemerintah yang baik dan seterusnya.
Orang seperti ini jika dinasihati biasanya membantah,
“Aku sudah begini dan begitu … kurang apa aku coba?”
Hamba Allah yang saleh itu merasa dirinya buruk, sampai level hal-hal yang sebenarnya tidak terhitung dosa, tapi dia tetap merasa kurang maksimal menjalankan perintah Allah.
Seperti Nabi Musa.
Saat melihat perkelahian antara orang Mesir dengan orang Israel, beliau meninju orang Mesir dan pukulan tersebut membuatnya tewas.
Tentu saja beliau tidak berniat membunuh. Hanya mencegah kezaliman dan membela orang terzalimi saja. Perbuatan beliau juga tidak sengaja, jadi bukan dosa. Tetapi karena perbuatannya sampai membuat sebuah nyawa terbunuh, maka beliau merasa bersalah lalu beristigfar,
Artinya,
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku menzalimi diriku, maka ampunilah aku.”
Beginilah seharusnya level ketakwaan orang yang ingin meniru kesalihan para kekasih Allah seperti Nabi Musa.
Minta ampun kepada Allah karena merasa kurang maksimal menjalankan perintah-Nya.
Apalagi jika perbuatannya menjadi wasilah kesusahan, penderitaan, bahkan kebinasaan orang lain walaupun itu bukan dosa.
Sudah berusaha jadi ayah yang baik, tapi tetap istigfar dan selalu memohon petunjuk Allah. Sebab bisa jadi anak sakit hati karena cara mendidik yang dianggap kurang baik.
Sudah berusaha jadi ibu yang baik, tapi tetap istigfar dan selalu memohon petunjuk Allah. Sebab bisa jadi anak sakit hati karena cara mengasuh yang dianggap memberi pengaruh mental yang buruk.
Sudah berusaha jadi suami yang baik, tapi tetap istigfar dan selalu memohon petunjuk Allah. Sebab bisa jadi masih kurang peka, sehingga sering mengecewakan istri dan dipandang kurang mempergauli istri dengan makruf.
Sudah berusaha adil dalam poligami, tapi tetap istigfar dan selalu memohon petunjuk Allah. Sebab bisa jadi, istri merasa tersakiti, merasa dikecewakan, merasa diperlakukan dengan tidak adil dan dibuat susah karena perilaku yang tidak disadari.
Sudah berusaha jadi istri yang baik, tapi tetap istigfar dan selalu memohon petunjuk Allah. Sebab bisa jadi banyak melakukan kesalahan yang tidak disadari secara berulang-ulang yang membuat suami sakit hati.
Sudah berusaha menjadi anak yang berbakti dan baik kepada orang tua. Tapi tetap istigfar dan selalu memohon petunjuk Allah. Sebab bisa jadi masih banyak harapan orang tua yang belum dipenuhi, sementara orang tua hanya sanggup menyimpan dan tidak bisa mengungkapkan.
Sudah berusaha menjadi kerabat yang baik dan melaksanakan silaturahmi. Tapi tetap istigfar dan selalu memohon petunjuk Allah. Sebab bisa jadi masih banyak kerabat yang merasa dianaktirikan, disisihkan, atau tidak dianggap sementara mereka juga tidak punya kesempatan untuk menyampaikan.
Apapun posisi kita, jabatan kita dan status kita. Selalu merasa buruk, merasa belum maksimal menjalankan perintah Allah lalu sering-sering istigfar dan memohon petunjuk adalah akhlak mulia. Akhlak hamba-hamba saleh yang dicintai Allah. Akhlak yang membantu melawan ujub, membantu untuk terus rendah hati, selalu mawas diri, dan selalu meningkatkan kualitas ketakwaan sampai akhir hayat.
23 Rabi’ul Awal 1444 H/19 Oktober 2022 pukul 19.48