Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di dunia parenting, ada satu titik di mana kita harus angkat tangan, mengakui kelemahan, menyerahkan segala sesuatunya kepada Allah, dan menerima dengan rida segala ketentuan-Nya.
Setelah segala ikhtiar dilakukan.
Setelah segala planning dieksekusi.
Setelah segala sumberdaya dikerahkan.
Tidak bisa kita membanggakan ilmu parenting yang kita miliki, misalnya.
Sebab, jiwa manusia itu kompleks. Mengandung banyak rahasia Allah yang tidak sanggup kita jangkau.
Mengubah manusia tidak bisa semata-mata bertumpu pada kecanggihan materi, kehebatan pendidik, dan efektifitas-efisiensi metode.
Ada banyak hal yang benar-benar di luar jangkauan kita, seperti pengalaman rohani tiap orang, proses berpikirnya, dialog hatinya, ambisinya yang terdalam, kekecewaannya yang tak terungkapkan, harapannya yang disembunyikan, pertimbangannya dalam memilih sesuatu, level kekuatan tekadnya, level gejolak syahwatnya, dan lain-lain. Terutama sekali takdir Allah atas hamba tersebut.
Lihatlah Nabi Ya’qub.
Sebagai seorang nabi, walaupun kita tidak tahu data detailnya tetapi kita yakin beliau adalah di antrara ayah terbaik saat mendidik anaknya.
Sudah pasti beliau maksimal sekali memberikan hak-hak anak, mendidik anak sebaik-baiknya, dan melakukan parenting syar’i berdasarkan bimbingan Allah.
Walaupun demikian, di antara anak-anak beliau ada juga yang terfitnah dengan perasaan dengki, lalu berniat membunuh saudaranya sendiri, membuangnya, memisahkan saudara dengan ayahnya, bahkan berbohong untuk menutupi kejahatan tersebut selama belasan atau puluhan tahun! Allah menceritakannya dalam Al-Qur’an sebagai berikut,
Artinya,
“Bunuhlah Yusuf atau buanglah dia ke suatu tempat agar perhatian Ayah tertumpah kepadamu dan setelah itu (bertobatlah sehingga) kamu akan menjadi kaum yang saleh.” Salah seorang di antara mereka berkata, “Janganlah kamu membunuh Yusuf, tetapi masukkan saja dia ke dasar sumur agar dia dipungut oleh sebagian musafir jika kamu hendak berbuat.”
Di sinilah, para orang tua mau tidak mau harus siap.
Bahwa tidak bisa semua anak itu di samakan.
Jika di antara sekian anak ada yang “berbeda” sendiri, hal tersebut harus bisa diterima selama orang tua merasa sudah maksimal melaksanakan fungsi orang tua dalam mengasuh, membesarkan dan mendidik.
Orang tua hanya akan ditanya Allah dari perbuatan yang dia mampui, bukan perkara yang di luar jangkauannya. Saat anak sudah masuk usia dewasa, prinsipnya dialah yang bertanggung jawab penuh atas dirinya sendiri di hadapan Allah.
Oleh karena itu, sungguh besar nikmat yang diberikan kepada orang tua yang anaknya “berisi” semua. Salih-salihah, ahli ilmu, berakhlak mulia, berbakti kepada orang tua dan memberi manfaat kepada islam, kaum muslimin dan semua makhluk Allah disekitarnya.
Tapi yang seperti ini sangat langka.
Hanya diberikan kepada hamba-hamba Allah tertentu, sesuai hikmah yang dikehendaki-Nya.
Semoga saya dan penjengan yang membaca catatan ini termasuk yang ditakdirkan Allah sebagai hamba-hamba yang sedikit itu.
17 Jumada al-Ūlā 1444 H/11 Desember 2022 pukul 11.16