Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Melarang secara mutlak penetapan jatuh tempo dalam akad utang piutang itu sungguh tidak masuk akal. Bukan hanya tidak masuk akal, tetapi juga keliru secara dalil dan keliru dalam kajian fikih mazhab al-Syāfi‘ī.
Dikatakan tidak masuk akal karena orang mengutangi itu ya jelas umumnya dia ingin uangnya kembali. Karena dia masih butuh dengan uangnya. Kalau tidak mengharap kembali, biasanya orang akan memilih bersedekah. Lalu bagaimana cara dia memastikan uangnya kembali jika tidak ditetapkan jatuh temponya kapan? Bagaimana caranya memastikan keseriusan orang yang berutang untuk mengembalikan uangnya jika tidak ditanya kapan bisa mengembalikan?
Di antara bukti terbesar kebatilan pernyataan “Tidak boleh menetapkan waktu jatuh tempo dalam akad utang piutang (secara mutlak)” adalah fikih rahn (pergadaian).
Menggadaikan itu mubah.
Gadai itu sendiri esensinya ya akad utang-piutang (qardh). Hanya saja dia pakai jaminan.
Orang berutang 3 juta misalnya. Lalu agar pemberi utang percaya, dia meletakkan sepeda motor di rumah orang yang mengutanginya sebagai barang gadaian.
Kapan uang itu dikembalikan? 3 bulan lagi misalnya. Jika pas jatuh tempo 3 bulan belum bayar juga, maka sepeda motor bisa dijual untuk melunasi utang tersebut.
Nah, kesepakatan ngembalikan uang 3 bulan lagi itu namanya penetapan jatuh tempo. Ini disepakati boleh. Jika dijadikan syarat maka itu dinamakan syarṭul ajal (شرط الأجل). Syaikh Mahfūẓ al-Tarmasi menegaskan bahwa penetapan syarat jatuh tempo seperti ini boleh, akadnya sah dan tidak ada keharaman sama sekali.
Adapun ungkapan sebagian ulama Al-Syāfi‘iyyah yang menyebut tidak boleh (lā yajūz) menentukan waktu jatuh tempo dalam akad utang piutang, maka itu hanya dalam kondisi tertentu alias situasi khusus.
Maksudnya begini:
Syarat penetapan jatuh tempo itu ada yang berpotensi riba dan ada yang tidak. Yang tidak boleh adalah yang mengandung unsur riba saja. Selain itu tidak apa-apa.
Contoh penetapan waktu jatuh tempo yang mengandung riba:
Ada orang meminjamkan uang 50 juta, lalu menetapkan waktu pelunasan 3 tahun lagi dan dia punya niat mendapatkan keuntungan karena 3 tahun lagi diprediksikan nilai uang 50 juta itu sudah naik menjadi 150 juta.
Itu penetapan syarat yang haram dalam mazhab al-Syāfi‘ī.
Yakni ketika ada niat mengambil keuntungan. Kalau tidak ada niat, ya tidak apa-apa juga. Walaupun riilnya memang benar nilai uang sudah naik menjadi 150 juta misalnya.
Hanya saja harus dicatat, penetapan syarat yang tidak ada unsur niat memperoleh keuntungan itu dalam mazhab al-Syāfi‘ī sifatnya tidak mengikat.
Jadi boleh-boleh saja orang ngutangi 20 juta lalu menyepakati dikembalikan 3 bulan lagi, tapi di bulan pertama pemilik utang bilang,
“Mohon maaf, ya. Aku pas lagi butuh ini. Bisa tidak uang kemarin 10 juta dikembalikan?”
Boleh juga setelah 3 bulan penerima utang bilang,
“Aduh mohon maaf, aku belum bisa bayar utang tepat waktu. Ini lagi bokek betulan. Tolong beri waktu aku lagi sebulan.”
Yang semacam ini tidak apa-apa, karena akad utang piutang itu semangatnya menolong dan penetapan syarat waktu jatuh tempo pun sifatnya tidak mengikat. Kesepakatan waktu pelunasan sifatnya hanya untuk menunjukkan komitmen dan keseriusan mengembalikan hak orang lain.
Yang jelas keliru dan misleading adalah mengajarkan bahwa penetapan tempo pelunasan utang dalam mazhab al-Syāfi‘ī itu tidak boleh (secara mutlak). Itu keliru, karena yang benar itu hanya berlaku dalam kondisi khusus dan tergantung niat saja.
14 Jumadal Akhirah 1444 H/7 Januari 2022 M pukul 07.26