Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Menetapkan tempo pelunasan dengan niat mendapatkan keuntungan dalam mazhab al-Syāfi‘ī tidak boleh. Karena mengandung riba.
Ilustrasinya:
Anda mengutangi orang 100 juta dan Anda mensyaratkan 5 tahun lagi harus dikembalikan. Niat Anda adalah nilai 100 juta itu nanti dalam 5 tahun sudah senilai 500 juta. Uang riil yang Anda terima tetap 100 juta, tapi karena perubahan situasi ekonomi, nilai uang Anda menjadi senilai 500 juta. Nah, niat seperti ini membuat penetapan syarat tersebut menjadi haram, akadnya batil, tidak sah dan tidak berlaku konsekuensi akad.
Contoh lain yang dipakai di kitab fikih,
Anda berada di zaman kerusuhan. Banyak perampokan. Lalu ada orang utang kepada Anda 20 juta. Anda khawatir uang Anda tidak kembali di zaman rusuh tersebut. Lalu Anda memberi syarat 3 bulan sudah harus dilunasi dan Anda yakin penerima utang sudah pasti bisa melunasinya karena dia kaya/mampu. Nah, upaya Anda mengamankan uang di zaman rusuh ini dipandang para fukaha sebagai penetapan keuntungan. Walaupun utang yang dibayarkan tidak berubah yakni 20 juta, tapi karena Anda minta jaminan kepastian 3 bulan apapun yang terjadi harus sudah dikembalikan, maka jaminan kepastian tersebut sudah dipandang keuntungan yang dinilai riba sehingga haram. Al-Syirbīnī berkata,
Artinya,
“Jika pemberi utang memiliki tujuan (memperoleh keuntungan) dalam penetapan waktu jatuh tempo, misalnya di zaman perampokan/kerusuhan sementara penerima utang dalam kondisi mampu (sebagaimana qaid ini dijelaskan al-syaikhān dalam kitab al-Syarh al-Kabir dan rauḍatu al-ṭālibīn), maka (hukumnya tidak boleh) seperti mensyaratkan (pengembalian) uang bagus untuk menggantikan uang jelak. Ini adalah pendapat mu’tamad. Sebab dalam akad tersebut ada unsur jarra manfa’ah/menyeret manfaat sehingga akadnya menjadi rusak/batil/tidak sah.” (Mugnī al-Muḥtāj juz 3 hlm 34)
Bagaimana jika tidak ada niat mencari keuntungan?
Jika tidak ada ya tidak apa-apa.
Karena kata kunci yang membuat tidak boleh adalah adalnya garaḍ/maksud/tujuan/niat (mendapatkan keuntungan/manfaat).
Poin penting juga adalah adanya qaid/batasan malī’ (mampu membayar) dalam teks al-Syirbīnī di atas. Mafhumnya, jika menetapkan syarat, niatnya mencari keuntungan, tapi tahu bahwa penerima utang kesulitan membayar, maka itu tidak merusak akad.
Ternyata untuk sampai pada kesimpulan TIDAK BOLEH MENETAPKAN WAKTU JATUH TEMPO dalam akad utang-piutang dalam mazhab al-Syāfi‘ī syaratnya banyak juga.
Oleh karena itu, berbahaya jika mengajarkan ke umat bahwa penetapan waktu pelunasan utang itu tidak boleh dalam mazhab al-Syāfi‘ī tanpa ada penjelasan kapan tidak boleh. Sebab ini bisa menimbulkan salah persepsi dan fitnah.
15 Jumadal Akhirah 1444 H/8 Januari 2022 M pukul 15.42