Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Di antara cara mengukur level kedalaman fikih seseorang terhadap mazhab al-Syāfi‘ī adalah penguasaannya yang sempurna terhadap kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj karya Ibnu Ḥajar al-Haitamī.
Kitab ini memang tergolong kitab “berat”. Hanya orang yang mencapai level tertentu yang sanggup menguasainya.
Yang dimaksud menguasainya tentu saja tidak sekedar mampu memahami setiap kalimatnya. Tetapi lebih dari itu, beliau juga sanggup menganalisis hingga level kata-perkata baik aspek leksikon, sintaksis maupun morfologinya. Bahkan, pada level keilmuan tertentu, seseorang sanggup menganalisis kritis diksi apa yang semestinya lebih baik digunakan, atau penataaan kalimat dan paragraf bagaimana yang lebih komunikatif.
Setelah itu beliau juga sanggup mensyarahnya dengan baik dan meringkasnya dengan bahasa yang mudah dipahami. Bukan hanya itu saja, bukti yang menunjukkan penguasaannya adalah juga sanggup memberikan fawā’id tambahan terhadap kitab tersebut yang menunjukkan wawasannya yang luas terhadap mazhab al-Syāfi‘ī.
Orang yang level penguasaan kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj seperti ini sudah pasti ulama besar dan berpotensi mendidik murid-murid yang akan menjadi ulama besar juga.
Contoh ulama yang dekat dengan zaman kita yang sangat menguasai kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj adalah Umar al-Qarahdagī atau yang lebih populer dengan julukan Ibnu al-Qarahdagī. Karya terpenting beliau di antaranya adalah kitab al-Manhal al-Naḍḍākh fī Ikhtilāfi al-Asy-yākh.
Penguasaannya terhadap mazhab al-Syāfi‘ī mengagumkan.
Ada satu kisah menarik terkait hal ini. Begini kisahnya sebagaimana dituturkan salah satu murid beliau yang bernama al-Mullā ‘Abdurrahmān al-Barkhī .
Sudah menjadi kebiasaan sejumlah murid beliau, bahwa sebelum ngaji kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj, para murid ini akan belajar dulu malam sebelum kajian. Mereka berusaha memahami tema pertemuan berikutnya bahkan berusaha menghafalnya. Tujuannya nya agar saat ngaji, mereka tidak sampai terluput fawāid tambahan yang tak tertulis dalam kitab. Sebab Ibnu al-Qarahdagī itu jika mengisi kajian, ngajarnya cepat karena banyaknya santri yang harus diurus. Jadi, jika muridnya kurang sigap menangkap ilmu-ilmu yang beliau ajarkan, maka sudah pasti akan banyak informasi penting yang luput.
Suatu hari ada bagian pembahasan dalam kitab Tuḥfatu al-Muḥtāj tersebut yang sangat susah dipahami. Walaupun sudah konsentrasi penuh dan sangat serius berusaha memahami, mereka masih belum berhasil memecahkannya. Jadi, mereka menunda pertemuan kajian dengan sang guru. Lalu mereka semua bekerja keras berusaha memecahkannya.
Malam pertama mereka gagal memecahkan maknanya. Lalu mereka menunda pertemuan dengan Ibnu al-Qarahdagī lagi. Kemudian di malam kedua mereka mencoba memecahkannya lagi, tapi masih gagal. Begitu masuk malam ketiga barulah ada salah seorang yang berhasil memecahkannya kemudian mendiskusikannya dengan kawannya dan semua setuju dengan pemecahan tersebut.
Begitu merasa sudah paham, mereka minta kajian kepada Ibnu al-Qarahdagi. Mereka berharap sang guru bingung, ber-tawaqquf untuk pertama kalinya lalu para murid ingin mengejutkan beliau dengan pemecahan yang sudah mereka diskusikan. Tapi saat tiba hari kajian, ternyata sang guru dengan entengnya menjelaskan dengan sangat bagus apa yang didiskusikan sejumlah muridnya sampai 3 hari itu! Peristiwa ini semakin membuat mereka semakin percaya dengan kedalaman ilmu sang guru dan semakin memuliakannya.
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
22 Jumadal Akhirah 1444 H/15 Januari 2022 M pukul 10.27