Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Dalam sebuah hadis sahih, diriwayatkan Abū Bakar pernah memukul leher istrinya yang paling muda: Ḥabībah binti Khārijah (حبيبة بنت خارجة). Hal itu dilakukan karena sang istri meminta nafkah kepada Abu Bakar! Muslim meriwayatkan,
Artinya,
“Wahai Rasulullah ﷺ, andai saja engkau melihat (Ḥabībah) binti Kharijah memintaku nafkah lalu aku berdiri menghampirinya kemudian aku tampar lehernya’. Maka Rasulullah ﷺ tertawa” (H.R. Muslim)
Lafaz waja’a (وجأ) dalam riwayat di atas, biasanya diterjemahkan “memukul”.
Jika dalam riwayat di atas Abu Bakar dikatakan melakukan waja’a pada leher istrinya, pertanyaannya “Pukulan yang bagaimana yang dilakukan beliau?”
Al-Nawawī dalam syarah Sahih Muslim memaknai waja’a sebagai ṭa’ana (طعن). Diksi ini biasanya diterjemahkan “menusuk”. Al-Māziri menafsirkannya sebagai daqqa (menumbuk). Ibnu Qurqūl menafsirkannya dafa’a/mendorong. Adapun Mullā al-Qārī, beliau lebih memilih menafsirkannya dengan “pukulan memakai telapak” alias menampar.
Dengan demikian pukulan yang dilakukan Abu Bakar kepada istrinya, bisa dibayangkan sebagai tamparan terhadap leher atau semacam menekan keras memakai satu atau dua jari ke bagian otot leher yang biasa dipakai untuk memikul beban atau sekedar mendorong keras saja.
***
Tentu riwayat ini mengejutkan.
Bagaimana bisa seorang lelaki dengan reputasi saleh lalu memukul leher istrinya?
Bagaimana bisa seorang lelaki yang dikabarkan Rasulullah ﷺ pasti masuk surga lalu melakukan perbuatan yang di zaman sekarang mungkin digolongkan sebagai “KDRT”?
Lebih mengherankan lagi, mengapa pula hanya meminta nafkah terus dipukul?
Bukankah nafkah adalah hak istri?
Bukankah wajar jika istri meminta nafkah kepada suaminya?
Jika istri tidak meminta nafkah kepada suami, lalu kepada siapa lagi meminta nafkah?
Di mana salahnya istri Abu bakar?
Nafkah seperti apa sebenarnya sebenarnya diminta istri Abu Bakar?
Kalaupun salah, apa iya layak mendapatkan hukuman sampai level dipukul seperti itu?
Mengapa Rasulullah ﷺ tidak menyalahkan dan tidak menasihati, tapi justru malah tertawa seolah membenarkan?
***
Riwayat ini -diingkari atau tidak- sedikit banyak pasti akan menimbulkan keterkejutan bahkan mungkin “shocked” bagi sejumlah wanita.
Apalagi para wanita yang selama ini salah mendapatkan asupan informasi terkait kriteria suami idaman.
Yang senang melihat drama Korea atau semisalnya.
Yang membayangkan suami baik itu yang lembut, romantis, bertanggungjawab, memanjakan istri, menuruti keinginan istri, tidak pernah melakukan tindakan fisik, anti poligami dan lain-lain.
Pokoknya meratukan istri lah…
Bayangan (atau lebih tepatnya: khayalan) suami ideal semacam ini, mau tidak mau benar-benar akan runtuh saat mengetahui ada riwayat sahih bahwa Abu Bakar memukul leher istrinya.
Mau mencela Abu Bakar tidak mungkin. Karena Rasulullah ﷺ bersaksi beliau adalah lelaki saleh, pasti masuk surga dan menjadi lelaki yang paling dicintai Rasulullah ﷺ.
Tapi mau membenarkan perbuatan tersebut kok kesannya membenarkan “KDRT” yang sering didegung-dengungkan di zaman sekarang sebagai “kejahatan besar” bahkan “tak terampunkan” jika sampai dilakukan suami kepada istrinya.
Kalau begitu, bagaimana memahami riwayat ini dengan tepat?
Apa sebenarnya yang terjadi?
Suami saleh itu bagaimana definisinya?
***
Jika melihat reputasi Abu Bakar, maka mustahil jika istri meminta hak nafkah wajib lalu Abu Bakar sampai marah hingga memukul.
Yang logis adalah Abu Bakar sudah memenuhi kewajiban memberi nafkah istri, tapi istri masih meminta tambahan entah dipakai untuk apa.
Jadi nafkah yang diminta istri itu bukan nafkah wajib, tapi nafkah tambahan.
Inilah yang dijelaskan para ulama. ‘Ali al-Qārī berkata,
Artinya,
“yakni (meminta nafkah) tambahan dari biasanya atau melebihi kebutuhan.” (Mirqāt al-Mafātīḥ, juz 5 hlm 2122)
***
Tapi masih ada sedikit problem lagi.
Bukankah Abu Bakar orang kaya?
Saat masuk Islam saja diriwayatkan harta beliau mencapai 40.000 dinar yang kalau zaman sekarang kira-kira senilai 200 milyar.
Saat di Madinah beliau konon juga punya empat rumah.
Bukankah sangat mudah beliau meluluskan keinginan mubah istrinya?
Bukankah juga ada riwayat yang menunjukkan Rasulullah ﷺ membiarkan istri Sahabat yang lain memakai baju bagus, perhiasan mewah dan lain-lain.?
Mengapa Abu Bakar tidak “ngalah” sedikit, kemudian menuruti keinginan istrinya yang mungkin hanya meminta sedikit tambahan nafkah?
Nah inilah yang tidak dijelaskan detail oleh para ulama sejauh kajian yang saya tahu. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya akan menjelaskan dan berhipotesis sejauh informasi riwayat yang saya tahu.
***
Begini.
Kesalehan suami itu bertingkat-tingkat.
Suami dengan kesalehan level tinggi memiliki kriteria, cara pandang dan standar hidup yang tidak sama dengan suami yang kesalehannya di bawahnya.
Jadi, apa yang menjadi masalah bagi seorang suami bisa jadi bukan masalah bagi suami yang lain.
Sebuah perkara bisa menjadi kesalahan berat dalam pandangan seorang suami, sementara bagi suami yang lain itu ringan saja.
Ambil contoh Rasulullah ﷺ misalnya.
Sikap hidup beliau adalah memberikan contoh zuhud paling tinggi. Beliau bisa saja membangun rumah mewah yang mubah dan halal, bermarmer, ada tiang-tiang besar bergaya romawi, ada kolam renang, air mancur, kebun-kebun dan taman-taman bunga. Beliau sangat mampu itu. Tapi beliau memilih hidup super minimalis. Sampai-sampai sering keluarganya tidak masak selama 3 hari.
Sampai-sampai tempat tidurnya hanya tikar yang membekas pada lambungnya. Oleh karena itu, saat istrinya meminta standar hidupnya “dinaikkan sedikit” (tentu saja secara mubah), maka beliau memandang itu sudah kesalahan besar. Beliau sangat bersedih hingga hampir mencerai seluruh istrinya karena itu!
Padahal di sisi lain, sejumlah istri Sahabat memakai pakaian bagus dan perhiasan bagus juga tidak dicela oleh Rasulullah ﷺ. Ini menunjukkan apa yang menjadi masalah besar bagi seorang suami, bisa jadi biasa saja bagi suami yang lain.
***
Lihat juga kasusnya Umar bin Abdul Aziz. Begitu beliau diangkat menjadi khalifah, maka beliau meminta seluruh perhiasan istrinya disetorkan ke Baitul Mal atau sang istri dicerai baik-baik! Ini menunjukkan perkara yang sebenarnya hukum asalnya mubah, bisa menjadi masalah besar bagi seorang suami dengan kualitas kesalehan yang tinggi.
***
Oleh karena itu, kemarahan Abu Bakar terhadap istrinya bisa difahami dalam kerangka ini.
Abu Bakar itu prioritas utama hartanya adalah untuk beramal saleh. Sudah tidak perlu dipertanyakan lagi bagaimana pengorbanan beliau dalam menyumbangkan harta untuk perjuangan Rasulullah ﷺ semenjak di Mekah hingga ke Madinah. Beliau juga diketahui menjamin nafkah kerabatnya yang miskin seperti Misṭaḥ. Banyak juga riwayat beliau membebaskan budak yang nilainya kalau zamen sekarang mungkin puluhan atau ratusan juta.
Jadi, wajar jika beliau akan marah kepada istri yang sudah dipenuhi nafkah wajibnya, lalu meminta lebih dari biasanya untuk perkara yang mana Abu Bakar bisa menggunakannya pada pos yang lebih utama.
***
Kesimpulannya:
Definisi kesalehan tetap kembali pada penjelasan para ulama. Yakni memenuhi hak Allah dan hak hamba. Tiap orang bertingkat-tingkat kesalehannya. Selama seorang suami sudah memenuhi kewajiban utamanya terhadap istri, maka tidak ada celaan apapun jika setelah itu dia membelanjakan hartanya untuk perkara yang lebih urgen sesuai dengan sikap hidup dan tingkat kesalehannya.
Seorang suami tidak bisa dicela jika tidak selalu menuruti keinginan mubah isterinya, apalagi yang makruh atau yang haram.
Oleh karena itu, para istri perhatikan kualitas suami masing-masing. Satu rumah tangga bisa jadi berbeda dengan rumah tangga lainnya. Yang demikian itulah yang membedakan jenis masalah apa yang muncul dalam satu rumah tangga dibandingkan dengan rumah tangga yang lain.
7 Februari 2024/ 26 Rajab 1445 H pukul 14.14