Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Kajian terhadap fikih risywah membuat saya menyimpulkan hikmahnya begini.
Yang dicegah sebenarnya adalah sarana yang bisa membuat kerusakan luas dan bersifat publik karena perbuatan individu. Oleh karena itu, Rasulullah ﷺ melarang Ibnu al-Lutbiyyah menerima hadiah. Sebab beliau adalah pejabat publik. Punya otoritas. Jika sampai kebijakan dan keputusannya dipengaruhi oleh hadiah itu, maka kerusakannya bersifat publik dan yang dirugikan banyak orang. Presiden, menteri anggota DPR, gubernur, bupati, camat dan semua orang yang punya otoritas jika sampai menerima hadiah, maka kerusakannya adalah pada level kebijakan yang akan menzalimi banyak orang.
***
Seorang ulama yang punya massa, atau keturunan Rasulullah ﷺ yang punya muhibbin, sebenarnya juga hampir sama potensi merusaknya dengan orang yang punya otoritas. Tetapi mereka dibolehkan menerima hadiah. Saya memahaminya yang demikian adalah karena kehormatan ilmu din yang ada pada mereka dan kehormatan darah Rasulullah ﷺ atau darah orang terhormat yang ada pada mereka.
Seorang ulama hukum asalnya akan membimbing umat sesuai dengan petunjuk Allah, bukan kepentingan politik praktis. Jadi, walaupun mereka menerima hadiah, maka ilmu dan ketakwaan mereka tetap akan mengajari umat untuk memilih pemimpin yang paling dekat dengan ketakwaan, bukan pemberi hadiah. Demikian pula keturunan Rasulullah ﷺ atau semisal. Mereka punya beban mental menjaga nama baik Rasulullah ﷺ. Jadi, akan berpikir berulang kali untuk menyesatkan umat demi kepentingan politik sesaat.
Tapi ini hanya hukum asal. Manusia-manusia menyimpang selalu ada, walau ulama dan keturunan Rasulullah ﷺ sekalipun. Mungkin karena itulah al-Gazzālī menyebut status menerima hadiah bagi ulama dan orang yang punya nasab itu hukumnya makruh, walaupun tidak bisa disebut sebagai risywah. Sebab, jika ulama tegas menolak pemberian politisi misalnya, maka lidahnya tidak akan pernah kelu menyampaikan kebenaran dan mengajari umat untuk memilih pemimpin berdasarkan dalil. Bukan kepentingan politik sesaat.
***
Adapun bagi individu-individu kecil yang tidak punya pengaruh dalam kehidupan publik,maka pemberian kepada mereka sama sekali tidak menimbulkan kerusakan apapun bagi kepentingan umum. Oleh karena itu, banyak sekali dalam riwayat kita temukan pemberian harta kepada individu yang “bernuansa suap” tapi tidak bisa dihukumi suap. Misalnya seperti pemberian harta kepada para mualaf. Pada hakikatnya itu pemberian harta karena ada kepentingan, yakni membujuk dia supaya tetap teguh dalam keislamannya. Demikian pula pemberian harta lelaki kepada wali wanita yang bukan termasuk bagian mahar. Pada hakikatnya itu juga untuk melunakkan hatinya supaya sehingga pernikahan itu menjadi “licin”. Bahkan ada ulama yang merekomendasikan untuk memberikan “risywah” kepada anak yang belum balig supaya mau salat!
Contoh-contoh ini menunjukkan pemberian kepada individu yang tidak memberikan dampak kerusakan publik, tidak dihukumi risywah dan dihukumi hanya hadiah atau hibah biasa.
***
Pemberian kepada individu dihukumi risywah hanya dalam kondisi menimbulkan kerusakan kepada orang lain. Yakni dalam dua kondisi:
- Pertama diminta untuk melakukan perbuatan haram
- Jika seorang lelaki diberi uang 10 juta untuk membunuh orang lain, maka uang tersebut jelas risywah. Dampak kerusakannya juga nyata.
Termasuk orang yang mestinya fardu ain melakukan sesuatu. Misalnya wanita wajib memenuhi ajakan suami, tapi dia hanya mau jika dibayar setiap melakukan. Ini termasuk risywah. Dampak kerusakannya bagi orang lain juga jelas, yakni membuat suami jadi terfitnah dan bisa timbul tindakan kriminal seperti pemerkosaan, pembunuhan atau minimal perzinaan. Orang-orang yang enggan melakukan kewajiban ainnya ini juga akan menjadi beban masyarakat, karena hanya mau melakukan kewajibannya jika dibayar.
Yang terakhir inipun sifatnya tidak mutlak.
Jika pertimbangannya adalah irtikab akhaff dararain, maka apa yang hukum asalnya disebut risywah, ia menjadi boleh jika tidak ada jalan lain untuk mencapai kemaslahan yang paling besar tersebut.
Oleh karena itu, para fukaha memfatwakan bolehnya MENGELUARKAN UANG demi memperoleh jabatan hakim, jika status menjadi hakim pada saat itu bagi dia sudah fardu ain, bukan lagi fardu kifayah. Walaupun dia sendiri sebenarnya juga khawatir tidak bisa jadi hakim yang lurus-lurus banget.
Belajar fikih risywah kalau ke ulama mazhab memang luar biasa.
9 Februari 2024/ 28 Rajab 1445 H pukul 11.01