Oleh: Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) – Dosen Universitas Brawijaya
Apakah Ibnu Arabi itu Wali Allah?
Jawaban pastinya tentu hanya Allah yang tahu.
Tapi apakah ada wali Allah yang MENGHALALKAN PERZINAAN?
Al-Żahabi menukil ucapan ‘Izzuddīn bin ‘Abdussalām sebagai berikut,
Artinya,
“Beliau (Izzuddīn bin ‘Abdussalām ) berkata tentang Ibnu ‘Arabī: Syaikh bejat, pendusta, berpendapat alam itu qadim dan tidak mengharamkan kemaluan wanita-ajnabi-” (Siyar A’lām al-Nubalā’, juz 23 hlm 49)
***
Anda mungkin bertanya, “Apa ada bukti tertulis dalam kitab-kitab Ibnu ‘Arabī yang menunjukkan ajaran itu?”
Saya berkata, “Tidak perlu, tidak wajib dan tidak harus.”
Informasi terkait tokoh semisal Ibnu ‘Arabī ini sudah cukup bertaklid kepada kritikus riwayat yang diakui ulama sebagai kritikus besar semisal al-Żahabī.
Menuntut dokumen tertulis terkait jarḥ (kritik negatif) kepada seorang tokoh itu sama saja seperti menuntut al-Bukhārī untuk melampirkan semua dokumen tertulis setiap beliau menyifati seorang tokoh dengan penilaian negatif.
Faktanya, kita bertaklid kepada al-Bukhārī pada setiap penilaian perawi tanpa menagih bukti dokumen apapun. Sebab, penilaian terkait tokoh itu sudah pasti berdasarkan data yang banyak, yang bisa jadi akan menjadi satu disertasi tersendiri sekedar untuk menderet bukti-bukti tidak kredibelnya seorang tokoh, baik kejadian hidup, peristiwa, persaksikan, argumentasi pembela, argumentasi pengkritik, sampai tarjihnya yang dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan sikap warak supaya tidak masuk hukum dusta, zalim, merobek kehormatan muslim, gibah haram dan semisalnya. Yang semacam ini mustahil dilakukan (yakni mengarang 1 kitab khusus untuk sekedar menunjukkan kualitas satu orang perawi) mengingat jumlah perawi yang dikaji itu puluhan ribu.
Oleh karena itu, kita cukup bertaklid kepada al-Bukhārī setelah melihat fakta bahwa penilaian beliau disetujui oleh pakar semisal. Beginilah cara kerja ulama Islam sepanjang masa dalam menilai tokoh.
***
Mendustakan al-Ẓahabī terkait penilaian Ibnu ‘Arabī sama saja dengan mendustakan al-Bukhārī saat beliau menilai kredibilitas seorang perawi. Secara konseptual silakan saja asalkan Anda punya karya dan kualitas keilmuan yang setara dengan al-Ẓahabī dan diakui oleh pakar semisal. Sebab al-Ẓahabī dalam sejarah itu seperti al-Bukhārī dalam hadis. Sangat ketat dalam menerima riwayat dan hanya menukil riwayat yang sahih atau hasan saja dalam penilaian beliau. Faktanya, hampir mustahil hari ini bisa menemukan orang yang sanggup mencapai levelnya al-Ẓahabī dalam sejarah.
Lebih dari itu, mendustakan al-Ẓahabī terkait Ibnu ‘Arabī ini sekaligus mendustakan Ibnu Abdissalām, seorang ulama besar yang telah mencapai derajat mujtahid!
Yang digelari Syaikhul islām dan Sultānul ‘Ulamā’!
Bayangkan jika kita mendustakan tokoh-tokoh seperti al-Bukhārī, Muslim, al-Syāfi‘ī, Ahmad dan semisalnya.
Jika seperti itu cara kita beragama, apa yang tersisa dari din ini selain hawa nafsu?
04 September 2024 / 30 Safar 1446 pada 09.42