Oleh: Ust. Muafa
Jika mengikuti lafaz asli bahasa Arab yang dipakai dalam hadis, seharusnya serapan yang lebih tepat dalam bahasa Indonesia adalah zakat fitri, bukan zakat fithroh.
Mengapa?
Karena hadis menyebutnya dengan istilah shodaqotul fithri (صَدَقَةِ الْفِطْرِ) atau zakatul fitri (زَكاَةُ الْفِطْرِ), bukan shodaqotul fithrah (صَدَقَةِ الْفِطْرِة) atau zakatul fithroh (زَكاَةُ الْفِطْرِة).
Al-Fithr sendiri adalah bentuk isim mashdar dari kata afthoro yang maknanya adalah berbuka. Dinamakan zakat fitri, karena zakat tersebut wajib dibayarkan karena seorang muslim hendak “berpisah” dengan Ramadhan, tidak berpuasa lagi, alias “berbuka” dari bulan Ramadhan. Karena itulah, zakat fitri dibayarkan menjelang datang Hari Raya Idul Fitri.
Istilah Idul Fitri itu sendiri juga terkait dengan makna berbuka ini. Ied bermakna hari raya, fitri bermakna berbuka. Jadi Iedul Fitri bermakna “Hari Raya Berbuka”. Maksudnya, Hari Raya karena telah selesai puasa bulan Ramadhan dan kembali makan-minum alias “berbuka” dari bulan Ramadhan.
Berbeda dengan fithroh. Kata fithroh dalam bahasa Arab bermakna sifat pembawaan atau ciptaan. Jika kita menyebutnya zakat fithroh, maka maknanya menjadi zakat sifat pembawaan atau zakat ciptaan. Makna seperti ini tidak ada dalam hadis-hadis yang menjelaskan syariat zakat fitri.
Al-Ba’li berkata:
المطلع على ألفاظ المقنع (ص: 137)
الفطر إسم مصدر من قولك افطر الصائم إفطارا والفطرة بالكسر الخلقة قاله الجوهري وقال المصنف رحمه الله في المغني وأضيفت هذه الزكاة إلى الفطر لأنها تجب بالفطر من رمضان
Al-Mutholi’ ‘Ala Alfadh Al-Muqni’ halaman 137
“Al-fithr adalah isim mashdar dari ucapan Anda “afthoro as-shoim ifthoron” (orang yang berpuasa itu telah berbuka). Al-Fithroh dengan mengkasrohkan fa bermakna ciptaan. Demikian yang dikatakan oleh Al-Jauhari. Pengarang rahimahullah mengatakan dalam Al-Mughni: Zakat ini diidhofahkan pada fithr karena zakat ini wajib (dibayarkan) setelah berbuka dari bulan Ramadhan.
An-Nawawi juga menyebut dalam Al-Majmu’ bahwa istilah yang tepat adalah zakat fitri. Semantara fithroh, kalaupun dikaitkan dengan zakat fitri maka istilah itu lebih tepat dipakai untuk menyebut benda yang dikeluarkan sebagai alat pembayar zakat fitri.
Beliau menulis:
المجموع شرح المهذب (6/ 103)
يُقَالُ زَكَاةُ الْفِطْرِ وَصَدَقَةُ الْفِطْرِ وَيُقَالُ لِلْمُخْرَجِ فِطْرَةٌ بِكَسْرِ الْفَاء لَا غَيْرُ
Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhaddzab juz 6 halaman 103
“Istilah yang dipakai adalah zakat fithri dan shodaqoh fithri, dan untuk benda yang dikeluarkan disebut fithroh dengan mengkasrohkan fa’, tidak ada yang lain.”
Adapun ucapan An-Nawawi berikut ini:
وكأنها من الفطرة التى هي الخلقة
“Seolah-olah diambil dari kata fithroh yang artinya adalah khilqoh.”
Ucapan di atas tidak bisa disimpulkan bahwa fitri bermakna sama fithroh dengan alasan bahwa khilqoh diartikan sebagai kondisi ketika manusia dilahirkan, yaitu bersih dan suci tanpa dosa sehingga zakat yang ditunaikan di bulan Ramadhan boleh dinamakan zakat fithroh sebagaimana boleh dinamakan zakat fitri.
Kesimpulan seperti itu bisa dijelaskan kekurang-tepatannya dari dua sisi.
Pertama: Menyamakan fitri dengan fithroh berdasarkan pernyataan An-Nawawi di atas mesti lahir dari kekeliruan memahami dhomir “haa” pada kata “ka-annaha” sehingga melahirkan kesimpulan yang salah pula. Dhomir “haa” dalam pernyataan An-Nawawi di atas bukan kembali pada lafaz fitri, sehingga makna fitri disamakan dengan fithroh, tetapi dhomir “haa” tersebut kembali pada lafaz fithroh yang bermakna mukhroj.
Bisa kita teliti kembali lafaz An-Nawawi:
المجموع شرح المهذب (6/ 103)
وَيُقَالُ لِلْمُخْرَجِ فِطْرَةٌ بِكَسْرِ الْفَاء لَا غَيْرُ وَهِيَ لَفْظَةٌ مُوَلَّدَةٌ لَا عَرَبِيَّةٌ وَلَا مُعَرَّبَةٌ بَلْ اصْطِلَاحِيَّةٌ لِلْفُقَهَاءِ وَكَأَنَّهَا مِنْ الْفِطْرَةِ التى هي الخلقة أي زكاة الخلقة
“Disebut juga fithroh dengan mengkasrohkan fa’, tidak ada lagi (variasi membaca) selainnya. (lafaz) ini adalah (lafaz) muwalladah, bukan arobiyyah (asli bahasa Arab) dan juga bukan mu’arrobah (mengalami arabisasi). Tetapi (lafaz tersebut adalah) istilah para Fuqoha’, seakan-akan (dipecah dari lafaz) fithroh yang bermakna khilqoh (asal penciptaan), yakni zakat khilqoh.”
Jadi, sebenarnya An-Nawawi ingin mengatakan: Fithroh yang bermakna mukhroj seakan-akan kandungan maknanya dipetik dari lafaz fithroh yang bermakna khilqoh/penciptaan asal.
Ini bahasan yang sebenarnya tidak terlalu mendalam dalam bahasa karena masuk pembahasan ‘audu adh-dhomir (arah merujuk dhomir). Kelihatan sederhana, tapi jika tidak jeli bisa menimbulkan salah paham.
Kedua: Kata-kata An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ tersebut ketika menjelaskan makna fithroh adalah dalam konteks menerangkan makna fithroh sebagai mukhroj (benda yang digunakan untuk membayar zakat fitri). Bisa kita teliti kembali lafaz An-Nawawi:
المجموع شرح المهذب (6/ 103(
وَيُقَالُ لِلْمُخْرَجِ فِطْرَةٌ بِكَسْرِ الْفَاء لَا غَيْرُ وَهِيَ لَفْظَةٌ مُوَلَّدَةٌ لَا عَرَبِيَّةٌ وَلَا مُعَرَّبَةٌ بَلْ اصْطِلَاحِيَّةٌ لِلْفُقَهَاءِ وَكَأَنَّهَا مِنْ الْفِطْرَةِ التى هي الخلقة أي زكاة الخلقة
“Disebut juga fithroh dengan mengkasrohkan fa’, tidak ada lagi (variasi membaca) selainnya. (lafaz) ini adalah (lafaz) muwalladah, bukan arobiyyah (asli bahasa Arab) dan juga bukan mu’arrobah (mengalami arabisasi). Tetapi (lafaz tersebut adalah) istilah para Fuqoha’, seakan-akan (dipecah dari lafaz) fithroh yang bermakna khilqoh (asal penciptaan), yakni zakat khilqoh”.
Jadi, Istilah zakatul khilqoh yang ditulis An-Nawawi disebut bukan dalam konteks menyebut lain istilah zakat fitri, tetapi disebut dalam konteks menerangkan fithroh yang bermakna mukhroj.
Lagi pula beliau memakai kata “wa ka-annahaa” yang mengesankan itu bukan makna jazm (pasti), tetapi hanya sekedar menduga. An-Nawawi juga menegaskan bahwa lafaz fithroh itu adalah lafaz muwalladah bukan lafaz Arab bahkan muarrobah pun juga bukan. Lafaz fithroh adalah lafaz muwalladah yang menjadi istilah sebagian fuqoha.
Adapun ucapan Al-Hishni berikut ini:
يقال لها زكاة الفطر لأنها تجب بالفطر ويقال لها زكاة الفطرة أي الخلقة يعني زكاة البدن لأنها تزكي النفس أي تطهرها وتنمي عملها
“Dinamakan zakat fitri karena wajib dibayarkan ketika fitri (usai puasa). Dinamakan juga zakat fithroh, yaitu khilqoh, atau zakat badan, karena dengan zakat itu jiwa akan dibersihkan atau disucikan serta dikembangkan amalnya.” (Kifayatul Akhyar, h.186)
Ucapan di atas tidak bisa disimpulkan bahwa fitri bermakna sama fithroh dengan alasan bahwa Al-Hishni menyebut zakatul fitri dan menyebut nama lainnya zakatul fithroh lalu disimpulkan lebih jauh bahwa Idul Fitri bisa diartikan “kembali berbuka” dan bisa juga diartikan “kembali suci (fithroh).
Kesimpulan di atas kurang tepat karena Al-Hishni tidak lebih menyebutkan adanya sebagian orang yang menyebut zakatul fithroh. Bukan sedang menjelaskan bahwa istilah zakat fithroh itu dinyatakan dalam dalil. Sekedar menyebut adanya yang mengistilahkan zakat fithroh tentu lebih jauh lagi jika dipahami fitri sama dengan fithroh. Al-Hishni justru malah membedakan makna fitri dengan fithroh.
Memang, jika diteliti ide yang ingin menyamakan lafaz fitri dengan lafaz fithroh, yang kemudian berdasaran pemikiran ini, ditariklah kesimpulan lain: Boleh menyebut Idul Fitri sebagaimana boleh menyebut Idul Fithroh sebagaimana zakat fitri juga boleh disebut zakat fithroh, jika diteliti sesungguhnya dasar pemikiran ini bukanlah Al-Qur’an, bukan hadis, juga bukan sya’ir fushoha’ (yang biasanya menjadi dalil dalam setiap pembahasan bahasa). Yang menjadi “dasar” ternyata tidak lebih adalah ucapan Al-Hishni yang disalah pahami yaitu:
يقال لها زكاة الفطر لأنها تجب بالفطر ويقال لها زكاة الفطرة أي الخلقة يعني زكاة البدن لأنها تزكي النفس أي تطهرها وتنمي عملها
“Dinamakan zakat fitri karena wajib dibayarkan karena aktivitas fitri/ berbuka. Dinamakan juga zakat fithroh, yaitu khilqoh/penciptaan, atau zakat badan, karena dengan zakat itu jiwa akan dibersihkan atau disucikan serta dikembangkan amalnya.” (Kifayatul Akhyar, h.186)
Penjelasan kekeliruan memahami ungkapan Al-Hishni di atas bisa dijelaskan dari dua sisi:
Pertama:
Al-Hishni dalam kutipan di atas jelas membedakan arti fitri dengan fithroh. Fitri diartikan berbuka sementara fithroh diartikan khilqoh/penciptaaan asal. Lalu dari mana disimpulkan fitri maknanya sama dengan fithroh?
Seandainya fitri dengan fithroh maknanya sama mestinya Al-Hishni mengatakan:
والفطر والفطرة بمعنى واحد
“fitri dan fithroh bermakna sama”
Atau ungkapan lain yang semakna dengan ini.
Jadi menyamakan fitri dengan fithroh berdasarkan kutipan Al-Hishni di atas Ini jelas adalah bentuk wahm (kesilapan), bahkan wahm yang fatal. Barangkali yang berusaha dibuktikan sebenarnya adalah menyamakan kebolehan penggunaan kedua istilah tersebut, bukan kesamaan artinya.
Kedua:
Pada saat membahas zakat fitri, Al-Hishni menyebut dua istilah yaitu zakatul fitri dan zakatu fithroh.
Beliau mengatakan:
يقال لها زكاة الفطر لأنها تجب بالفطر ويقال لها زكاة الفطرة
“Dinamakan zakat fitri karena wajib dibayarkan karena aktivitas fitri/ berbuka. Dinamakan juga zakat fithroh.”
Rupanya ini yang disalahpahami bahwa fitri maknanya sama dengan fithroh. “Hanya” karena Al-Hishni mengatakan ada orang yang menyebutnya zakat fitri dan ada orang yang menyebutnya zakat fithroh kemudian disimpulkan boleh menyebut zakat fitri sebagaimana boleh menyebut zakat fithroh, lalu diseret lebih jauh lagi dengan mengatakan fitri maknanya sama dengan fithroh!
Ini keliru.
Adanya orang yang menyebut istilah zakat fithroh itu tidak bermakna fitri sama dengan fithroh. Informasi dari Al-Hishni itu sebenarnya tidak lebih hanyalah washful waqi (deskripsi fakta).
Adapun terkait makna “apakah fitri sama dengan fithroh”, termasuk pembahasan “bolehkah menyebut dengan istilah zakat fithroh” itu adalah pembahasan lain yang tidak bisa dicampur-adukkan.
Istilah zakat fithroh itu keliru, karena lafaz fithroh tidak pernah digunakan dalam nash, baik Al-Qur’an maupun Hadis. Jadi, ketika ada yang memakai istilah itu, baik orang Indonesia maupun orang Arab, maka itu adalah istilah yang kurang tepat.
Antara An-Nawawi dan Al-Hishni, meskipun sama-sama bermadzhab Syafi’I, namun analisa An-Nawawi lebih tajam dan mendalam daripada tulisan Al-Hishni yang singkat dan berpotensi menimbulkan salah paham seperti dalam kasus ini. Hal ini wajar, karena kemampuan bahasa An-Nawawi memang lebih tinggi daripada Al-Hishni mengingat An-Nawawi adalah murid “raja” nahwu terkenal yang bernama Ibnu Malik (pengarang Alfiyyah Ibnu Malik).
An-Nawawi menegaskan dalam Al-Majmu’ bahwa istilah yang dipakai adalah dua yaitu zakat fitri atau shodaqoh fitri.
Beliau mengatakan:
: لمجموع شرح المهذب (6/ 103) يُقَالُ زَكَاةُ الْفِطْرِ وَصَدَقَةُ الْفِطْرِ
Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhaddzab juz 6 halaman 103
“Istilah yang dipakai adalah zakat fithri dan shodaqoh fithri”
Kemudian beliau secara brilian mendudukkan istilah fithroh yang sudah kadung berkembang di masyarakat waktu itu.
Beliau menulis:
: المجموع شرح المهذب (6/ 103) وَيُقَالُ لِلْمُخْرَجِ فِطْرَةٌ بِكَسْرِ الْفَاء لَا غَيْرُ
Al-Majmu’ Syarhu Al-Muhaddzab juz 6 halaman 103
“dan untuk benda yang dikeluarkan disebut fithroh dengan mengkasrohkan fa’, tidak ada yang lain”.
Jadi, istilah fithroh dalam penjelasan An-Nawawi adalah bermakna mukhroj (benda yang dipakai untuk membayar zakat fitri). Dengan kata lain, kurma, gandum, beras, keju dan semisalnya itulah makna fithroh.
Sampai di sini barangkali akan muncul pertanyaan: Mengapa fithroh diartikan mukhroj, tidak diartikan khilqoh/penciptaan asal/sifat pembawaan?
Di sinilah kemudian peran An-Nawawi menjelaskan keruwetan ini. Beliau menegaskan bahwa lafaz fithroh bermakna mukhroj adalah lafaz muwallad. Lafaz muwallad (neologism/neologisme) adalah lafaz baru yang diciptakan oleh selain Arab fasih yang tidak bisa dijadikan hujjah dalam bahasa apalagi dalam pembahasan dien.
An-Nawawi berkata:
لمجموع شرح المهذب (6/ 103)
وَهِيَ لَفْظَةٌ مُوَلَّدَةٌ لَا عَرَبِيَّةٌ وَلَا مُعَرَّبَةٌ
“(Lafaz fithroh) adalah lafaz muwallad, bukan lafaz arobiyyah dan bukan mu’arrobah.
Sudah diketahui di kalangan ulama bahwa lafaz muwallad itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Jadi ketika Al-Hishni medeskripsikan bahwa ada yang menyebutnya zakat fithroh, itu adalah istilah yang salah. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan fitri menjadi fithroh itu adalah bentuk lahn (kesalahan berbahasa) orang Ajam terhadap istilah Islam.
Kata kunci penting ini, yakni lafaz muwallad jika luput didalami akan berakibat kesalahpahaman terhadap pembahasan yang cukup halus seperti ini.
Hanya saja, dalam bahasa Indonesia istilah zakat fithroh sudah terlanjur populer dan akhirnya bisa diterima sebagai satu istilah tersendiri yang bermakna zakat fitri.
Dalam KBBI dinyatakan:
fit•rah [2] n Isl sedekah wajib berupa bahan makanan pokok (beras, gandum, dsb) yg harus diberikan pd akhir bulan Ramadan (malam sebelum satu Syawal sampai sebelum dimulai salat Idulfitri); zakat fithroh;
ber•fit•rah v memberikan fithroh: yg mampu wajib ~ , sedangkan yg tidak mampu berhak menerimanya;
mem•fit•rah•kan v membayarkan fithroh; berfithroh untuk: ia harus ~ dua orang kemenakan yg diasuhnya
Referensi
Rozikin, Mokhamad Rohma. 2016. Membayar Zakat Fithroh dengan Uang, Bolehkah?. Malang: UB Press