Oleh: Ust. Muafa
Syarah Riwayat
Abu Al-Hasan memberitahu aku, beliau berkata: Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Yahya dan Abu Al-Abbas Muhammad bin Yazid memberitahu aku, Ahmad berkata; Salamah memberitahu aku, beliau berkata; Al-Farro’ berkata;
Syarah;
Ini adalah penjelasan sanad (mata rantai riwayat) yang darinya informasi peristiwa diterima. Umumnya mata rantai riwayat terdiri dari para perawi yang antara satu perawi dengan perawi yang lainnya ada hubungan guru-murid. Pembawa sanad ini adalah Az-Zajjajy, yakni sang pengarang kitab. Artinya, informasi riwayat ini diperoleh Az-Zajjajy dari gurunya Abu Al-Hasan, sementara Abu Al-Hasan mendapatkan info dari Abu Al-‘Abbas Ahmad bin Yahya dan Abu Al-Abbas Muhammad bin Yazid dst sampai kepada Al-Farro’. Jadi ujung penghabisan sanad adalah Al-Farro’, artinya Al-Farro’ adalah sumber pertama kisah ini disebarkan. Al-Farro’ sendiri adalah seorang pakar nahwu juga. Beliau beraliran Kufah. Jadi antara Al-Farro’ dengan Al-Kisa’i ada kesamaan aliran.
Sibawaih mendatangi orang-orang Barmaky.
Syarah;
Sibawaih adalah salah satu dari tokoh utama dalam kisah ini. Reputasinya dan kepakarannya dalam ilmu nahwu luarbiasa. Karyanya yang fenomenal adalah buku yang ditulisnya dalam bidang nahwu yang populer dengan nama Al-Kitab. Sibawaih sendiri ketika menulis buku tersebut, beliau belum memberi nama khusus untuknya. Lalu ketika Sibawaih wafat sementara karya tersebut juga belum diberi nama, maka orang-orang menyebutnya dengan “Kitab Sibawaih”. Akhirnya, nama inilah yang populer hingga hari ini. Demikian besar ide yang ada dalam kitab ini sampai-sampai ada yang mengatakan; “Barangsiapa yang ingin mengarang buku dalam ilmu nahwu setelah Al-Kitabnya Sibawaih, maka hendaknya dia merasa malu”.
Adapun orang-orang Barmaky, sejarah menjelaskan bahwa sebutan ini menunjuk pada sebuah keluarga asal Persia keturunan seorang lelaki bernama Barmak Al-Majusy. Keluarga ini memiliki pengaruh besar dalam Daulah ‘Abbasiyyah dan mereka menduduki jabatan-jabatan penting. Kebijakan-kebijakan negara banyak dipengaruhi oleh keluarga Barmak ini. Di zaman Sibawaih, tokoh keluarga Barmaky yang paling berpengaruh adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaky. Posisi politis Yahya bin Kholid Al-Barmaky adalah menjadi Wazir bagi Khalifah Harun Ar-Rosyid.
Dengan melihat posisi politis orang-orang Barmaky yang penting, maka kedatangan Sibawaih kepada mereka bisa difahami karena didorong oleh suatu kepentingan yang membutuhkan pengaruh atau wewenang mereka.
Maka Yahya bertekad untuk mempertemukan antara Sibawaih dengan Al-Kisa’i. Yahya menentukan hari khusus untuk forum tersebut.
Syarah;
Yahya yang disebut dalam kisah ini adalah Yahya bin Khalid Al-Barmaky, tokoh keluarga Barmaky yang paling berpengaruh sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Entah apa saja yang dibicarakan oleh Sibawaih dengan Yahya dalam pertemuan mereka. Yang jelas, dari pertemuan tersebut Yahya punya keinginan kuat untuk “mengadu” ilmu antara Sibawaih yang mewakili aliran Bashroh dengan Al-Kisa’i yang mewakili aliran Kufah. Keseriusan rencana mempertemukan dua “raja” nahwu ini diwujudkan dalam bentuk menggelar debat terbuka dalam forum antara mereka berdua.
Ketika hari itu telah tiba, maka aku (Al-Farro’) dan Al-Ahmar datang terlebih dulu. Kemudian kamipun masuk (forum).
Syarah;
Al-Ahmar yang dimaksud dalam kisah ini adalah Kholaf Al-Ahmar, seorang pakar bahasa juga yang dikenal banyak meriwayatkan Syair. Al-Farro’ sebagai sumber kisah ini menceritakan bahwa dirinya adalah salah satu diantara orang-orang yang hadir menyaksikan debat Sibawaih-Al-Kisa’i. Al-Farro’ datang bersama Kholaf Al-Ahmar sebelum Al-Kisa’i masuk ke dalam forum.
Ternyata, pada bagian depan forum terdapat kasur. Yahya duduk di atasnya dan di samping kasur tersebut ada Ja’far, Al-Fadhl, dan hadirin yang lainnya.
Syarah;
Al-Farro’ ingin menjelaskan bagaimana sebagian suasana forum debat tersebut. Digambarkan bahwa bagian depan forum ada kasurnya (barangkali sejenis kasur santai) yang diduduki oleh penyelenggara acara, Yahya bin Khalid Al-Barmaky. Di samping kasur tersebut, hadir juga dua putra Yahya yaitu Ja’far dan Al-Fadhl serta hadirin yang lainnya.
Lalu Sibawaih hadir. Maka Al-Ahmar menghadapinya lalu menanyainya tentang satu kasus (nahwu) yang dijawab oleh Sibawaih. Maka Al-Ahmar berkata kepadanya: Anda keliru.
Syarah;
Al-Farro’ menjelaskan bahwa ketika Sibawaih hadir, debat antara Sibawaih dengan Al-Kisa’i belum dimulai karena Al-Kisa’i belum hadir. Al-Ahmar yang datang terlebih dahulu bersama Al-Farro’ berinisiatif mendahului diskusi dengan Sibawaih. Maka Al-Ahmarpun menanyai Sibawaih tentang satu persoalan nahwu. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Sibawaih, namun dalam pendapat Al-Ahmar jawaban Sibawaih dipandang keliru.
Kemudian Al-Ahmar menanyainya dengan kasus kedua dan Sibawaih menjawabnya, maka Al-Ahmar berkata kepadanya; Anda keliru. Lalu Al-Ahmar menanyainya dengan kasus ketiga dan Sibawaih menjawabnya, maka Al-Ahmar berkata kepadanya; Anda keliru. Maka Sibawaih berkata kepadanya; Ini adalah adab yang buruk!
Syarah;
Setelah Al-Ahmar menguji Sibawaih dengan pertanyaan pertama yang menurut pendapatnya jawabannya salah, Al-Ahmar tidak berhenti tetapi melanjutkan pertanyaannya dengan pertanyaan kedua dan ketiga. Namun jawaban Sibawaih semuanya dalam pandangan Al-Ahmar adalah keliru. Sibawaih memandang cara debat seperti ini tidak baik dari segi akhlak sehingga menilainya hal tersebut termasuk adab yang buruk.
A-Farro’ berkata; maka aku menghadap kepadanya (Sibawaih) dan berkata; lelaki ini (Al-Ahmar) memiliki sifat temperamental dan tergesa-gesa. Begini: Apa pendapatmu terhadap orang yang mengatakan; هؤلاء أبون (orang-orang ini adalah para ayah) dan, مررت بأبين (aku melewati para ayah). Bagaimana pula engkau mengatakan yang semisal dengan itu pada kasus وأيت (aku berjanji/menjamin) atau أويت (aku berlindung)?
Syarah;
Ketika Al-Farro’ melihat suasana diskusi sudah mulai memanas, maka Al-Farro’ berinisiatif mengambil alih dialog. Al-Farro’ sendiri mengkritik sikap Al-Ahmar yang dipandang kurang bisa sabar dan cenderung tergesa-gesa ketika berdiskusi dengan Sibawaih. Kemudian Al-Farro’ mulai melempar pertanyaan dengan sebuah kasus kalimat yang berbunyi;
(orang-orang ini adalah para ayah dan aku melewati para ayah)
pertanyaan Al-Farro’ adalah berkaitan dengan struktur morfologis lafadz أبون. Lazimnya bahasa Arab yang dikenal, lafadz abun (ayah) dijamakkan menjadi aabaa’ آباء. Namun, pada kasus ini lafadz ayah dijamakkan dengan bentuk jamak mudzakkar salim (bentuk jamak yang menambahkan wawu yang disukun dan nun yang difathah pada ujung kata). Al-Farro’ ingin mengatahui pendapat Sibawaih tentang hal ini.
Al-Farro’ juga ingin tahu bagaimana pendapat Sibawaih terkait menjamakkan dengan jamak mudzakkar salim pada kasus fi’il mu’tal lafif mafruq (kata yang mengandung huruf semivokal pada dua tempat secara terpisah) seperti kata وأيت (aku berjanji/menjamin) atau fi’il mu’tal lafif maqrun (kata yang mengandung huruf semivokal pada dua tempat yang berdekatan) seperti kata أويت (aku berlindung). Artinya, dengan pertanyaan ini, Al-Farro’ ingin menguji Sibawaih dalam pengetahuan ilmu shorof/tashrifnya.
Al-Farro’ berkata; Maka beliau (Sibawaih) menjawab dengan teori taqdir (perkiraan) dan itu keliru. Maka aku berkata: Telitilah lagi. Maka beliau (Sibawaih) menjawab dengan teori taqdir (perkiraan) lagi dan itu keliru. Maka aku berkata: Telitilah lagi. Demikian sampai tiga kali beliau menjawab namun tidak benar. Al-Farro’ berkata: tatkala hal tersebut intensitasnya banyak, Sibawaih berkata: Saya tidak berdebat dengan kalian berdua (Al-Farro’ dan Al-Ahmar), saya mau sahabat kalian (yakni Al-Kisa’i) hadir hingga saya berdiskusi dengan beliau.
Syarah;
Mendengar pertanyaan Al-Farro’, maka Sibawaih menjawab sesuai dengan ilmunya. Namun menurut Al-Farro’ jawaban tersebut salah sehingga Al-Farro’ menyarankan diteliti lagi. Saran tersebut dilakukan sampai tiga kali sampai-sampai Sibawaih memutuskan tidak berdebat dengen Al-Farro’ dan Al-Ahmar, dan memilih berdebat dengan tokoh utama; Al-Kisa’i yang mungkin dipandang lebih representatif dalam hal ilmu.