Oleh; Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Pada sebagian kitab An-Nawawi, kadang-kadang kita mendapati lafaz (روينا) sebelum sebuah hadis disebutkan. Contohnya seperti yang ditulis An-Nawawi dalam muqoddimah kitab “Al-Arba’in” berikut ini,
“Sungguh, telah ‘rowaina/ruwwina’ dari Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin Jabal, Abu Ad-Darda’, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Abu Hurairah, dan Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhum dari jalur yang banyak dan riwayat yang beragam…” (muqoddimah “Al-Arba’in An-Nawawiyyah”)
Demikian pula seperti yang ditulis An-Nawawi dalam kitab “Al-Adzkar”, misalnya,
“Sungguh, telah ‘rowaina/ruwwina’ dalam sahih Al-Bukhari dari Ummu Kholid radhiyallahu ‘anha..” (Al-Adzkar, hlm 69)
Malahan, dalam kitab “Al-Adzkar” ini, banyak sekali An-Nawawi mencantumkan lafaz (روينا) ini. Di beberapa tempat dalam kitab “At-Tibyan fi Adabi Hamalati Al-Qur’an” beliau juga menggunakannya.
Kebiasaan ini ternyata juga dipakai oleh Al-Baihaqi dalam banyak kitabnya, Ath-Thohawi dalam “Syarh Musykil Al-Atsar”, Ibnu Al-Mundzir dalam “Al-Ausath” dan lain-lain.
Pertanyaannya, “Mana cara membaca yang benar, apakah dibaca “rowaina” (رَوَيْنَا) ataukah “ruwwina” (رُوِّيْنَا)”?
Perbedaan cara membaca lafaz ini akan memberi makna yang sedikit berbeda. Jika lafaz itu dibaca “rowaina” (رَوَيْنَا) maka maknanya adalah “kami meriwayatkan”, maksudnya “kami menukil berita dari seseorang apa adanya dengan tidak mengubah sedikitpun tanpa menambahi dan mengurangi untuk kami transmisikan kepada orang lain”.
Jika lafaz itu dibaca “ruwwina” (رُوِّيْنَا), yakni dengan redaksi “fi’il majhul” dan men”tasydid”kan “wawu”, maka maknanya adalah “ju’ilna wa shuyyirna ruwatan”. Maksudnya, “kami dijadikan sebagai perawi (oleh guru-guru kami) setelah guru-guru kami mengajarkan riwayat tersebut kepada kami, mentransmisikannya dan meriwayatkannya.”
Jika dibaca “ruwina” (رُوِيْنَا), yakni dengan redaksi “majhul” tetapi “wawu”nya tidak di”tasydid” maka maknanya adalah memposisikan “dhomir” “nahnu” sebagai “na-ib f’ail” dari kata “ruwiya”. Jadi maknanya adalah “kami diriwayatkan”.
Adapun “dhomir” “nahnu” pada lafaz (روينا) tersebut, maknanya bisa salah satu dari tiga kemungkinan,
Pertama, bermakna “kami”, maksudnya An-Nawawi atau ulama yang menulis lafaz (روينا) mendapatkan riwayat tersebut dari gurunya bersama-sama dengan murid yang lain.
Kedua, bermakna “saya” yang disertai impresi/tekanan, karena dalam bahasa Arab sudah diketahui bahwa “nahnu” bisa bermakna saya yang mengandung makna “ta’kid”.
Ketiga, bermakna “saya” tetapi sengaja memakai lafaz “nahnu” yang biasa dipakai untuk makna “al-mu’azhzhim nafsahu” (yang mengagungkan dirinya sendiri) dengan maksud mengungkapkan rasa syukur dan menampakkan nikmat mendapatkan ilmu dien yang sangat berharga.
Dengan segala variasi kemungkinan makna di atas, kita kembali ke pertanyaan, “Mana cara membaca yang benar, apakah dibaca “rowaina” (رَوَيْنَا) ataukah “ruwwina” (رُوِّيْنَا)?
Sebagian dari kita mungkin pernah mendengar dalam majelis ulama yang membacanya “rowaina” dan sebagian lagi mungkin perneh mendengar “ruwwina”. Penerbit yang mencetak kitab-kitab yang mengandung lafaz ini pun berbeda-beda. Ada yang mengharokatinya “rowaina” dan ada pula yang mengharokatinya “ruwwina”.
Kalau begitu, bagaimana sebenarnya yang lebih tepat?
Sesungguhnya, untuk lafaz (روينا) itu yang lebih masyhur adalah dibaca dengan memposisikan dhomir “nahnu” sebagai “fa’il” (pelaku). Jadi lafaz tersebut dibaca dengan “rowaina” (رَوَيْنَا), bukan “ruwwina” (رُوِّيْنَا). Cara membaca “rowaina” (رَوَيْنَا) adalah cara membaca yang paling populer dan paling banyak dipakai oleh para ulama. Informasi ini bisa kita dapatkan dari keterangan Ibnu Hajar Al-Haitami dalam “Al-Fathu Al-Mubin”, “Ath-Thufi’ dalam At-Ta’yin” dan Ibnu ‘Allan dalam “Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah”.
Ibnu Hajar Al-Haitami menulis,
“Lafaz (روينا) adalah dengan memfathahkan huruf pertama (yakni ro’) dengan men’takhfif’ ‘wawu’ (yakni tidak di’tasydid’) menurut cara membaca mayoritas- ulama- (Al-Fathu Al-Mubin, hlm 101)
Adapun cara membaca “ruwwina” (رُوِّيْنَا), maka cara ini banyak dipraktekkan mayoritas ahli hadis. Jika dikaitkan dengan informasi sebelumnya, berarti bisa disimpulkan bahwa cara membaca seperti ini (“ruwwina”) adalah pendapat minoritas. Informasi seperti ini ini bisa kita simpulkan dari pernyataan Ath-Thufi dalam “At-Ta’yin” dan Ibnu Al-Mulaqqin dalam “Al-Mu’in ‘ala Tafahhumi Al-Arba’in”. Penerbit manapun yang mengharokati dengan men”tasydid”kan “wawu” seraya menjadikannya “fi’il majhul” berarti mengikuti tarjih sebagian ahli hadis yang menguatkan pelafalan itu, atau minimal “muhaqqiq”nya-lah yang mengikuti pendapat tersebut.
Adapun cara membaca “ruwina” (رُوِيْنَا) yakni dengan redaksi “majhul” dan tanpa mentasydidkan “wawu”, maka menurut Ibnu ‘Allan dalam “Al-Futuhat Ar-Robbaniyyah” cara pelafalan tersebut adalah cara Al-Kazuruni. Hanya saja cara membaca ini terkesan “syadz” dan tidak didukung banyak ulama.
Kesimpulannya, lafaz (روينا) bisa dibaca dengan dua cara yaitu “rowaina” (رَوَيْنَا) atau “ruwwina” (رُوِّيْنَا). Membaca “rowaina” lebih masyhur dan lebih banyak dipakai ulama, sementara membaca “ruwwina” adalah pelafalan yang lebih banyak dikuatkan kebanyakan ahli hadis. Adapun membaca “ruwina” (رُوِيْنَا), pelafalan tersebut adalah cara membaca yang tidak populer. Wallahua’lam.