(Renungan Tentang Ijtihad Politik Islam)
Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Suatu saat, salah satu gembong munafik di zaman Nabi ﷺ yang bernama Abdullah bin Ubay mengucapkan kata-kata keji yang menghina Nabi. Dia berkata,
“Perhatikan, demi Allah, nanti kalau kita sudah pulang ke Madinah maka orang yang paling mulia pasti akan mengusir orang yang paling hina”
Dia memaksudkan orang yang paling mulia adalah dirinya sendiri sementara orang yang paling hina adalah Rasulullah ﷺ. Sejarah mencatat bahwa Abdullah bin Ubay ini adalah tokoh politik berpengaruh di Yatsrib yang nyaris menjadi “raja pemersatu” antara Aus dan Khozroj. Tapi begitu Rasulullah ﷺ hijrah ke Madinah, ketokohan politiknya langsung lenyap, pengaruhnya seperti habis tak berbekas dan semua manusia mengalihkan pandangan kepada Rasulullah ﷺ sebagai pemimpin baru. Hal ini membuat Abdullah bin Ubay menjadi dendam dan memutuskan untuk bersikap hipokrit, pura-pura masuk Islam sambil menunggu sewaktu-waktu Rasulullah ﷺ bisa disingkirkan.
Saat terjadi perang Bani Mushtholiq, datanglah momen yang diharapkannya. Sebagian kaum Muhajirin ada yang bertengkar dengan kaum Anshor masalah air. Dari situ Abdullah bin Ubay mengompor-ngompori dan mengingatkan bahwa perumpamaan orang Anshor dengan Muhajirin itu seperti orang yang memelihara anjing. Begitu anjingnya gemuk maka dia menyerang dan menyantap tuannya. Maksudnya; Kaum Anshor itu menolong kaum Muhajirin dengan diberi harta dan tumpangan, tapi setelah kaum Muhajirin nyaman dan enak hidupnya, mereka jadi tidak tahu diri dan malah menyerang orang yang berbuat baik kepadanya. Lalu Abdullah bin Ubay mengeluarkan kata-kata tadi,
“Perhatikan, demi Allah, nanti kalau kita sudah pulang ke Madinah maka orang yang paling mulia pasti akan mengusir orang yang paling hina”
Ucapan si Munafik ini kemudian dilaporkan kepada Rasulullah ﷺ. Umar bin Khotthob yang berada di dekat Rasulullah ﷺ sudah tidak bisa menahan kesabarannya dan menganjurkan Rasulullah ﷺ agar memerintahkan Abbad bin Bisyr supaya memenggal leher munafik bermulut kotor itu.
Apa komentar Rasulullah ﷺ?
Ibnu Hisyam menuliskan jawaban Nabi ﷺ sebagai berikut,
“Bagaimana Umar, jika nanti orang-orang malah membincangkan bahwa Muhammad telah membunuhi shahabat-shahabatnya?! Tidak (saya tidak akan menuruti saranmu), tapi umumkan agar orang-orang segera memulai perjalanan” (Siroh Ibnu Hisyam, juz 2 hlm 291)
Apa maknanya?
Coba perhatikan.
Jika sudut pandangnya hukum, sesungguhnya hukuman bunuh untuk Abdullah bin Ubay sudah benar, karena siapapun yang menghina Rasulullah ﷺ hukumannya adalah mati. Apalagi posisi Abdullah bin Ubay berada di bawah kekuasaan Rasulullah ﷺ. Situasi Rasulullah ﷺ saat itu juga sedang kuat, tidak ada satupun yang menghalangi hukuman tersebut. Dengan melihat realitas bahwa orang munafik di Madinah tidak hanya satu dan itu bisa membahayakan soliditas masyarakat bentukan Nabi, kiranya hukuman bunuh itu bisa menimbulkan efek jera juga. Dari satu sisi hukuman mati untuk Abdullah bin Ubay adalah keputusan yang sangat masuk akal.
Tetapi pandangan Rasulullah ﷺ ternyata sangat jauh ke depan dan lebih jitu. Beliau malah melihat efek yang tidak bisa dilihat Umar, yakni munculnya opini buruk tentang Nabi Muhammad yang akan berakibat rusaknya citra dakwah Islam. Rasulullah ﷺ memperkirakan, jika Abdullah bin Ubay dibunuh maka opini yang akan berkembang adalah bahwa Sang Nabi membunuhi shahabat-shahabatnya. Tentu saja opini ini bisa berakibat orang-orang menjadi takut dengan Islam sebelum mengenalnya. Akibatnya, orang lebih nyaman dengan kekufurannya daripada harus berkenalan dengan Islam. Rasulullah ﷺ tidak menjatuhkan hukuman mati, tetap mempergauli Abdullah bin Ubay dengan baik, dan hanya “menghukumnya” dengan opini luas bahwa dia adalah orang munafik. Rasulullah ﷺ hanya memberinya hukuman sosial, hukuman mental. Adapun terkait hawa perselisihan antara Muhajirin dan Anshor, cara bijaksana Rasulullah ﷺ dalam menyelesaikan adalah dengan memerintahkan melakukan perjalanan di luar jadual. Tujuannya agar kaum muslimin sibuk dengan safar dan segera melupakan pertengkaran.
Perhatikan, betapa tidak mudahnya membuat keputusan hukum yang terkait dengan strategi dakwah yang bernilai dan berkonsekuensi siyasah (politik) .
Mirip dengan kasus ini adalah fitnah yang terjadi di masa kekhilafahan Ali bin Abi Thalib. Setelah Ali diangkat menjadi Khalifah, Aisyah segera menuntut Ali mengejar dan menghukum para pembunuh Utsman dengan hukuman qishosh. Secara normatif, tuntutan Aisyah ini memang benar. Ali-pun tidak mengingkari hal tersebut. Hanya saja keputusan politik Ali adalah memprioritaskan stabilitas negara sebelum menegakkan hukum. Keputusan ini menimbulkan opini bahwa Ali melalaikan hukum Allah sehingga pantas diperangi. Akhirnya terjadilah fitnah perang Jamal, perang Shiffin, majelis Tahkim, pembunuhan Ali, munculnya Khawarij sampai munculnya Syiah. Entah ada berapa ribu darah tertumpah dan ada berapa kelompok yang akhirnya memecah umat.
Sungguh luar biasa konsekuensi politik Islam itu.
Keputusan menghukum, mengampuni, berunding, bekerjasama, melakukan kunjungan, berkoalisi, memerangi, melakukan gencatan senjata, mengangkat pemimpin, memecat pemimpin, menentukan siapa yang disebut ulil amri dan siapa yang bukan, menentukan siapa yang bughot dan siapa yang bukan dan semisalnya adalah keputusan politik yang sangat rawan dalam Islam. Bukan hanya perlu kefaqihan dien yang mendalam tetapi juga perlu penguasaan sempurna terhadap realitas dan fakta agar tidak salah menilai medan yang berakibat kerusakan besar. Kerusakan besar itu bisa saja buruknya citra Islam, dakwah Islam dan kaum muslimin, bisa juga semakin menghitamnya citra politik Islam, perpecahan umat, bahkan sampai pertumpahan darah!
Kalau begitu, apakah umat Islam tidak perlu bicara politik?
Blunder besar jika sampai disimpulkan begitu.
Secara alami, ajaran Islam mengharuskan pemeluknya bersentuhan dengan politik karena pelaksanaan Islam secara sempurna pastilah melibatkan kekuasaan. Pembahasan jihad, hudud, jinayat, qodho’ (peradilan) dan syahadah (persaksian) dalam fikih Islam adalah sejelas-jelas bukti bahwa ajaran Islam hanya mungkin dilaksanakan secara sempurna dengan kekuasaan.
Pesan tulisan ini bukan untuk membungkam umat Islam agar tidak berbicara politik, menjauh dari politik dan tidak mengurusnya. Tetapi mencegah orang-orang yang tidak kompeten berbicara politik yang hanya akan memecah umat, memperkeruh keadaan dan merusak citra Islam. Namun yang tampak hari ini, banyak sekali para ruwaibidhoh yang berbicara politik sementara dia tidak memahami kadar dirinya. Para ruwaibidhoh ini jahil fikih politik Islam dengan segala pelik-peliknya, juga tak cakap memahami fakta dan situasi politik. Tokoh-tokoh gerakan yang memutuskan untuk mengusung tema Islam politik semestinya serius mencegah kadernya berbicara di luar kadarnya. Harus ada batas yang jelas, tema apa yang bisa dibicarakan awam dan mana yang harus dibahas oleh pakarnya. Jadi, tidak boleh muncul para juhala’ yang memerankan diri sebagai mufti dadakan yang begitu serampangan dan mudah memberikan fatwa-fatwa politik, ini halal-ini haram, ini syirik-ini bukan, ini kufur-ini islami dan seterusnya, hanya bermodalkan baca berita dan pengetahuan satu-dua dalil.
Lantas, siapa tokoh di zaman sekarang, khususnya di Indonesia yang bisa didengarkan fatwa-fatwa politiknya, atau analisis-analisis politiknya yang bersifat membela kepentingan Islam dan kaum muslimin?
Terus terang ini pertanyaan berat, dan saya sampai hari ini masih terus mencari. Negeri kita insya Allah kaya ulama. Hanya saja ulama yang fokus betul dalam bidang politik dan memiliki pemahaman luas nan dalam terhadap tema itu sepertinya sampai hari ini masih belum muncul atau belum dimunculkan. Apalagi negarawan yang sekaligus ulama. Sejarah menunjukkan, jika kaum muslimin dipimpin oleh ulama yang sekaligus negarawan yang piawai, maka urusan umat Islam insya Allah akan menjadi baik, seruwet dan sebesar apapun masalah umat Islam itu. Lihatlah kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Al-Khotthob, Umar bin Abdul Aziz dan yang semisal dengan mereka. Kalaupun muncul negarawan yang kuat, tetapi kefaqihannya dalam dien tidak terlalu menonjol, maka selama mereka menjadikan ulama-ulama fakih nan ikhlash sebagai penasihatnya, insya Allah urusan umat Islam akan tertangani dengan baik meski mereka memiliki sejumlah kekurangan. Saya melihat pemimpin seperti Abdul Malik bin Marwan, Sholahuddin Al-Ayyubi dan Muhammad Al-Fatih adalah contoh pemimpin-pemimpin jenis terakhir.
Untuk kasus Indonesia, andai saja pada zaman sekarang ada negarawan semisal pak Natsir yang konsisten dengan prinsipnya dan memberikan teladan baik dalam cara hidup yang sederhana, barangkali saya akan menganjurkan mengikuti beliau. Andai saja pada zaman sekarang ada ulama yang ditaati semua kalangan yang memiliki keteguhan prinsip dan ketegasan fatwa seperti HAMKA yang rela melepaskan jabatan ketua MUI demi mempertahankan fatwa beliau, maka barangkali saya akan menyarankan mengikuti ulama seperti itu. Mungkin sudah ada, hanya saya belum tahu saja.
Kalaupun mencari ulama dan negarawan yang menjadi sosok panutan dalam politik sangat susah, saya membayangkan barangkali persoalan ini bisa sedikit diuraikan dengan mengembangkan musyawarah ulama dan negarawan lintas kelompok. Masing-masing tokoh melepaskan baju kelompoknya dan berbicara bersama-sama untuk kemaslahatan umat Islam. Tapi ini sangat sulit dan pasti sangat sulit. Lihatlah bagaimana ormas dan parpol Islam di Indonesia yang sampai hari ini tidak pernah bisa bersatu menyatukan visinya. Ada persoalan yang lebih mengakar yang sepertinya harus diselesaikan terlebih dahulu.
Proyek besar umat Islam dalam bidang politik adalah mengkader calon negarawan-negarawan level nasional-internasional yang kuat pembelaannya terhadap Allah dan Rasul-Nya. Syukur-syukur mencapai level mujtahid.
Kurikulumnya jelas, pembinanya kredibel, targetnya terukur, medan penggemblengannya berkualitas.
Saya belum tahu apakah ada elemen umat Islam hari ini yang serius ke arah sana. Menciptakan negarawan-negarawan yang kharismatik nan berkualitas yang bisa mempersatukan elemen-elemen umat Islam.
اللهم أصلح أمة محمد
اللهم ألف بين قلوب المؤمنين