Oleh : Ustaz Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Kadang-kadang, ketika kita membaca teks Arab, kita mendapati kalimat yang berbunyi “dhightsan ‘ala ibbalah” (ضِغْثًا عَلَى إِبَّالَةٍ). Misalnya apa yang ditulis oleh Ibnu ‘Asyur dalam kitab tafsir belau yang bernama “At-Tahrir wa At-Tanwir” berikut ini,
Kalimat ini agak jarang dipakai oleh para ulama terdahulu, tetapi lumayan sering dipakai oleh ulama-ulama kontemporer.
Kalau begitu, apa sebenarnya arti kalimat ini?
Kalimat “dhightsan ‘ala ibbalah” sebenarnya termasuk idiom, atau yang dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “al-‘ibarot al-ishthilahiyyah” (العبارات الاصطلاحية). Oleh karena ia idiom, maka tentu pemaknaannya tidak bisa diambil dari susunan makna bahasanya, tetapi harus diambil dari konteks dan “asbabul wurud” munculnya idiom itu. Mirip seperti idiom “kambing hitam” dalam bahasa Indonesia pada kalimat “Iwan adalah kambing hitam dalam kasus korupsi itu”. Kambing hitam dalam kalimat itu tidak mungkin dimaknai seekor kambing yang berwarna hitam, karena iwan bukan kambing. Makna idiom kambing hitam adalah “orang yang tidak bersalah tetapi dijadikan korban untuk dipersalahkan”.
Adapun idiom “dhightsan ‘ala ibbalah”, penjelasan makna bahasanya adalah sebagai berikut.
“Dhightsun” bermakna “Segenggam rumput kering yang bercampur dengan yang basah”. “Ibbalah” bermakna seikat kayu bakar. Dengan demikian makna harfiah “dhightsan ‘ala ibbalah” adalah “segenggam rumput yang berada di atas seikat kayu bakar”. Lafaz “Ibbalah” bisa dibaca dengan mentakhfif huruf ba’nya sehingga menjadi Ibalah (إِبَالَة).
Adapun makna istilahnya, idiom ini biasanya dimaksudkan untuk menyebut makna “Musibah tambahan yang yang memperparah musibah yang sudah ada”. Barang kali hal itu dipahami dari fungsi kayu bakar yang sifatnya menjadi bahan bakar api. Ketika di atas kayu bakar ditambahi rumput kering, maka semakin bertambahlah kobaran api itu sehingga suhupun semakin panas.
Asal-usul idiom ini adalah syair Asma’ binti Khorijah yang melukiskan serigala yang setiap hari ingin memangsa untanya. Ibnu Manzhur menuliskan syair Asma’ itu sebagai berikut,
“Setiap hari saya selalu bertemu Serigala (yang ingin memangsa untaku)”
(Yang mana bahaya yang semakin bertambah itu bagaikan) Segenggam rumput yang bertambah di atas setumpuk kayu bakar” (Lisan Al-‘Arob, juz 11 hlm 254)
Karenanya, dalam penggunaan, idiom “dhightsan ‘ala ibbalah” bisa diterjemahkan “beban tambahan”, “beban di atas beban”, “musibah di atas musibah”, “masalah di atas masalah”, “keruwetan di atas keruwetan”, “musibah kuadrat”, “persoalan yang semakin parah”, “masalah baru yang semakin membuat ruwet”, “masalah baru yang semakin membuat runyam”, “kesalahan yang memperparah kesalahan” atau terjemahan apapun yang semakna dengan ini.
Atas dasar ini, ucapan Ibnu Asyur di atas maknanya kira-kira adalah sebagai berikut,
“Perbuatannya itu telah menjadi kesalahan yang memperparah kesalahan” (At-Tahrir wa At-Tanwir)
Maksud Ibnu ‘Asyur, orang musyrik yang mengajak kafir orang lain yang telah masuk Islam dan berjanji menanggung dosanya di akhirat itu telah melakukan kesalahan yang memparah kesalahannya. Kemusyrikannya adalah kesalahan besar. Ketika dia mengajak orang lain murtad dan berjanji menanggung dosanya di akhirat, ini juga kesalahan baru yang memperparah kesalahan sebelumnya.
Taqiyyuddin An-Nabhani beberapa kali juga menggunakan idiom ini dalam kitab-kitab beliau. Di antaranya dalam kitab Ad-Daulah Al-Islamiyyah berikut ini,
“Harokah-Harokah ini telah membuat persoalan menjadi semakin runyam” (Ad-Daulah Al-Islamiyyah, hlm 175)
Taqiyyuddin An-Nabhani memaksudkan, gerakan-gerakan politik di zamannya, gerakan kebangsaan, gerakan sosialisme, gerakan nasionalisme, baik atas nama agama spiritual, akhlak maupun pendidikan semuanya itu hanya malah membuat persoalan semakin runyam karena semakin melemahkan umat Islam, bukan malah menguatkannya.
Nashiruddin Al-Albani juga lumayan sering menggunakan idiom ini dalam sejumlah kitab-kitab beliau.
Wallahua’lam
وزدنا هدى بوسيلتها