Oleh: Ustaz Muafa(Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin)
Ada berapa banyak di antara kita yang sanggup menahan emosi dan tetap tenang ketika disakiti orang lain, dihinakan pribadi kita, dan diupayakan untuk dihancurkan karakter kita?
Bersikap sabar dan tenang saat disakiti orang lain adalah perkara yang tidak gampang. Tidak heran banyak di antara kita yang gagal melakukannya, meskipun sempat berhasil beberapa kali. Umumnya orang yang diserang pribadinya langsung terbakar, tersulut emosi, lalu balik menyerang, menghina, merendahkan dan melukai kehormatan orang yang menyerangnya. Kadang, balasannya lebih buruk daripada itu, yakni sengaja mencari hal terbusuk dari orang yang menyakiti kita, lalu menyebarkannya, sambil menutupi semua kebaikannya. Dengan tindakan tersebut ada upaya untuk mencitrakan seolah-olah si jahat yang menyakiti itu adalah seorang Iblis yang tidak ada kebaikannya sama sekali.
Memang sifat sabar dan tenang itu mahal. Karena tidak mudah, maka wajar juga jika ia langka dalam kehidupan. Tidak mengherankan juga jika dua karekater ini dicintai Allah. Pada saat Rasulullah ﷺ bertemu Asyajj dari Bani Abdul Qois, Rasulullah ﷺ mengabarkan kepadanya bahwa Asyajj punya dua karakter yang dicintai Allah yaitu al-hilmu (kesabaran) dan al-anat (ketenangan).
Tenang dan sabar dipraktekkan dengan sangat baik oleh Rasulullah ﷺ dan dicontohkan beliau dalam banyak peristiwa.
Seorang Arab Badui tiba-tiba mengalungkan selendang berpinggir kasar ke leher Rasulullah ﷺ sambil berkata keras, “Hai Muhammad, beri aku harta yang diberikan Allah kepadamu!” Rasulullah ﷺ menoleh kepadanya dan tertawa, lalu memerintahkan supaya Badui tersebut diberi harta.
Saat beliau berdakwah ke Thoif, beliau disambut dengan lemparan batu yang membuat wajah beliau berdarah. Saat perang Uhud, wajah beliau juga dibuat berdarah oleh kafir Quraisy. Tapi, dengan pelan beliau hanya mengusap darah pada wajahnya itu sambil berdoa, “Ya Allah ampunilah kaumku, sebab mereka hanya tidak mengerti.”
Anas bin Malik yang waktu itu masih kecil pernah diperintahkan Rasulullah ﷺ keluar untuk suatu keperluan. Dengan ogah-ogahan Anas keluar, meski batinnya berniat melaksanakan perintah Rasulullah ﷺ. Di tengah jalan, Anas bertemu dengan sejumlah anak kecil yang bermain-main. Lupalah Anas dengan tugas dari Rasulullah ﷺ sehingga dia ikut bermain-main. Mungkin karena lama— tidak kembali, Rasulullah ﷺ menyusulnya dan melihat Anas malah asik bermain. Rasulullah ﷺ hanya memegang tengkuknya dari belakang, kemudian sambil tertawa berkata, “Hayo Anas sayang, dilaksanakan perintahku tadi”. Rasulullah ﷺ sama sekali tidak marah dan tidak jengkel.
Demikian pula para shahabat. Di antara shahabat yang sangat terkenal sifat ketenangan dan kesabarannya adalah Muawiyah bin Abu Sufyan. Salah satu contoh ketenangan dan kesabaran Muawiyah diceritakan As-Suhaili dalam Ar-Roudhu Al-Unuf. Begini cerita ringkasnya.
Suatu saat Muawiyah bertawaf mengelilingi Ka’bah dengan dikawal pasukannya. Waktu itu Mu’awiyah sudah menjadi Khalifah. Tidak sengaja Mu’awiyah dan tentaranya mendesak As-Saib bin Shoifi yang juga sedang Tawaf sampai beliau terjatuh. Dengan marah dan jengkel As-Saib berkata sewot, “Apa ini Mu’awiyah?! Apa kamu ingin bergulat denganku di sekitar Ka’bah?! Pingin rasanya kukawini mbokmu!”
Bayangkan, seorang rakyat jelata memanggil Khalifah, pemimpin tertinggi umat Islam langsung dengan namanya di depan bawahannya dengan nada merendahkan, lalu menghina pula dengan mengumpamakan dirinya menikahi ibu Muawiyah. Jelas, target As-Saib adalah membuat Muawiyah marah dan murka. Tapi apa respon Muawiyah? Dengan sabar dan tenang, ternyata beliau hanya berkomentar lembut, “Aduhai, andai saja engkau benar-benar menikahi ibuku, pastilah akan lahir anak seperti anakmu”
Bukannya marah, tapi Muawiyah malah mengiyakan kata-kata nylekit As-Saib, dan malah mengungkapkan kekaguman terhadap Abu As-Saib dan putranya. Dengan kesabaran dan pujian ini maka padamlah api amarah As-Saib bin Shoifi.
Demikian pula An-Nawawi.
Salah satu akhlak indah An-Nawawi adalah bersikap sabar, tenang, dan mengucapkan kata-kata baik kepada orang-orang yang menyakiti beliau.
Al-Lakhmi, jika An-Nawawi disakiti orang, beliau hanya berkomentar kepadanya, “Ya mubarokal hal—Wahai orang yang semoga senantiasai diberkahi keadaannya—”. As-Sakhowi menukil ucapan Al-Lakhmi yang memuji An-Nawawi sebagai berikut,
Artinya,
“Beliau indah sekali akhlaknya. Jika ada orang yang menyakitinya, maka beliau berkata kepadanya, “Ya mubarokal hal—Wahai orang yang semoga senantiasai diberkahi keadaannya—” (Al-Manhal, hlm 40)
Memang, kata Asy-Syafi’i hamba yang beriman itu seperti kayu gaharu (atau seperti dupa). Semakin dibakar semakin wangi!
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
***
SUMBER
Dikutip dan disadur dari buku saya; AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bab “Pujian Ulama terhadap An-Nawawi”
Resensi lengkap buku AN-NAWAWI SANG WALI DAN KARYA-KARYANYA bisa dibaca di tautan ini.